Kapitalisasi Kapabilitas Organisasi

Membangun kesadaran terkait rasa kepemilikan pada organisasi, terlebih pada usaha yang dibangun memang menjadi tantangan lain selain bagaimana menciptakan sebuah produk yang laku dipasaran. Tantangan ini tak tampak urgent tapi sering dialami dalam keseharian timnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana setiap tim merasa memiliki organisasinya sebagai wadahnya, tak hanya sekedar bekerja & kemudian dibayar atas kerjanya.

Organisasi adalah entitas yang perlu diperhitungkan, dianggap penting sebagai satu entitas yang hidup tak terpisahkan dalam perjalanan usaha, sifatnya imajiner, tak tampak secara fisik seperti anggota tim yang terdiri dari individu manusia.

Karena Ia dianggap sebagai entitas hidup & berperan sebagai kendaraan menuju visi, maka Ia memiliki hak untuk dihidupi, dipelihara & disehatkan. Konsekwensinya adalah setiap individu yang hidup didalamnya perlu tau dan paham bagaimana Ia berkontribusi bagi kendaraannya 🥳

Pada fase-fase awal pembuatan usaha, fokus atensi kita adalah pada bagaimana menguatkan organisasinya, maka yang diberikan asupan penyehatan yang utama tentunya organisasinya. Karena ini akan jadi wadah keberlanjutannya. Namun yang kerap terjadi adalah individunya fokus pada bagaimana membagi keuntungan baginya🤨

Karena organisasi bersifat imajiner maka sering kali terlupakan mendapatkan haknya, disehatkan dan dikuatkan. Setelah sehat & kuatlah baru individu-individu didalamnya menikmati beragam hak keuntungannya😎

Menyehatkan organisasi hingga memiliki kemampuan kolektif untuk berinovasi menjamin keberlanjutannya. Beberapa kekuatan organisasi diantaranya ditandai dengan hadirnya beberapa indikator organisasi yang sehat (Norm Smallwood and Dave Ulrich, 2004);

1. Commiterd Talent:
2. Speed;
3. Shared Mind-Set and Coherent Brand Identity;
4. Accountability:
5. Collaboration:
6. Learning:
7. Leadership:
8. Customer Connectivity:
9. Strategic Unity:
10. Innovation:
11. Efficiency:

Kesebelas hal diatas adalah gambaran dari kualitas organizational capabilities , intangible assets kunci. Kita tak bisa menyentuhnya, tapi mendatangkan banyak perbedaan untuk menghasilkan nilai-nilai keunggulan. Banyak ya PRnya?

The Johari Window

Mendampingi beragam ekosistem untuk memiliki kultur kolaboratif & melompatkanya pada inovasi yang berkelanjutan adalah hal menantang!

Membangun budaya inovasi, prosesnya dibangun dengan konsisten, melakukan transformasi yang diarahkan untuk jadi ekosistem yang inovatif. Memastikan setiap tim & anggotanya mau berinteraksi, bersinergi satu sama lainnya serta menggerakkannya pada kemajuan. Meyakinkannya berjalan beriringan juga sebuah hal yang menantang.

Salah satu hal yang bisa mendorong ekosistem mengakselerasi proses inovasinya adalah dengan memumbuhkan keberanian untuk membuka wahana-wahana baru, mengeksplorasi dunia yang belum dikenalinya.

Mengupas lagi Jendela Johari, mengkotekstualisasinya kedalam ekosistem organisasi yang ingin lebih inovatif ternyata sangat bisa. Dalam kultur konvesional, kenyataannya kita lebih banyak dihadang dengan area-area ketidaktahuan. Bahkan lebih kompleks, karena bisa jadi ketidaktahuan ini sama-sama tidak terungkap oleh orang lain dalam tim.

Membiasakan setiap individu mendapatkan ruang aman, bebas dan terdorong untuk dapat berinteraksi akan membawa probabilitas lebih besar pada terwujudnya inovasi alih-alih Ia terjebak pada paradoks kreatif.

Inovasi selalu memerlukan umpan balik atas setiap gagasan atau temuannya. Mencipta kebiasaan untuk berani & mau meminta umpan balik adalah hal yang penting dimulai. Keterbukaan juga akan lebih akseleratif jika setiap orang mau berterusterang tentang dirinya – Self Disclosure, memudahkan sekelilingnya menjadi paham. Nah gimana agar bisa berani dong?

Secara tim, sebuah ekosistem akan menjadi Resourceful jika didalamnya dibiasakan untuk mau saling berbagi temuan (Shared-Discovery) hingga membukanya pada hal-hal yang belum diketahui bersama. Hal ini akan menembus kuadran yang paling inovatif, tentunya akan lebih cepat dengan mendorongnya bahwa setiap orang perlu punya semangat berani berpetualang, menemukan hal-hal baru membawa banyak kebaruan dan energi-energi baru yang meletup secara terus-menerus.

Jadi ekosistem yang terbuka, dimana banyak Radical Honesty terjadi memberanikan dirinya bereksplorasi dan menemukan peluang-peluang baru yang jadi energi buat bergerak maju dan adaptif.

Memahami Point Of View (POV) System

Dalam industri & bisnis sangat kental dengan perspektif pelanggan, kunci apakah kita dapat memberikan jawaban atas kebutuhannya/tidak. Perspektif ini sangat mudah terungkap jika kita memiliki kemampuan empati.Perspektif ini dinamakan Point Of View (POV) personal.

Jika persona yang terlibat banyak & saling berinteraksi maka akan hadirlah sebuah ekosistem dalam sebuah lingkungan yang menyelimutinya. Nah disini akan hadir sebuah POV baru, yakni POV System. Berbeda dengan sudut pandang personal, POV System membawa kita melihat dari level yang lebih tinggi atau Helicopter View.

Jika POV persona punya sifat, begitu juga ketika bermacam persona berinteraksi dalam sistem. Sistemnya pun akan memiliki perilaku. Bayangkan saja jika kita berada dalam sebuah lingkungan & berinteraksi. Ada yang memberikan aksi positif melahirkan reaksi positif dan kebalikannya. Atau memberikan aksi negatif malah menuai reaksi positif.

Jika kita memetakannya, kita jadi tau akan kemana ekosistem ini berakhir kelak, positif atau negatif? jatuh atau melesat?

Memahami perspektif dari sistem akan bermanfaat, menjadi bekal berpikir kritis yang penting. Penting karena dalam keseharian kita berinteraksi dengan banyak pihak & beragam keputusan pun diambil. Hal ini akan berdampak pada ekosistem kerja, baik jangka panjang atau pendek, baik atau buruknya.

POV sistem dibutuhkan untuk melihat gambaran keseluruhan & bukan hanya sebagian, memahami konteks yang lebih luas, merekognisi interaksi antar tingkat & mengambil pendekatan interdisipliner. Menjadi penting karena kegunaannya memastikan kita punya opsi terbaik yang bisa menjamin keberlanjutan jangka pendek/panjangnya.

Sistem yang baik melahirkan interaksi yang sehat, dalam jangka panjang pun membawa pada kemajuan. Lebih seru sebenarnya menggabungkannya dengan POV persona & system, jadi Human-Centered Systems Thinking. Sebuah sistem yang dirancang bagi kesejahteraan penghuninya.

“Systems thinking is a discipline for seeing wholes. It is a framework for seeing interrelationships rather than things, for seeing ‘patterns of change’ rather than ‘static snapshots.”– Peter Senge

Kapan kita belajar bareng lagi?

The Sustainability

Memastikan keberlanjutan menjadi penting dalam sebuah inisiasi pergerakan, apalagi sebuah organisasi bisnis. Variable keberhasilannya bukan hanya pada besaran keuntungan semata, tapi seberapa besar peluang sebuah visi dituangkan dalam pergerakan & dimungkinkan berhasil berkembang berkelanjutan🫰

Dalam jangka pendek pemenuhan “Sustainability” ini akan terlihat sebagai cost, jadi musuh berat sebuah organisasi. Sering dijadikan pertimbangan beban pembiayaan ketimbang melakukan pertimbangan apakah cost ini akan memberikan manfaat dalam jangka pendek atau panjang kelak✍️

Sustainability sering kali terlihat tidak menguntungkan karena terlihat membebani organisasi dengan biaya yang besar. Keberlanjutan mempertimbangkan tiga hal sbb;
1. Economic growth,
2. Environmental protection,
3. Social justice 

3 hal diatas dilakukan secara bersamaan, sama-sama penting & sama-sama berjalan beriringan. Variable keberhasilannya bukan hanya para terletak besaran hasil / keuntungan semata, namun seberapa besar sebuah visi yang dituangkan dalam pergerakan dapat dimungkinkan berhasil berkembang & berkelanjutan🙌

Sustainability memang beyond dari sekedar “financial outperformance” dan dianggap sebagai cost dibandingkan sebagai value bahkan kerap “undervalued” atau sekedar kepentingan tambahan sebagai faktor additif bagi efisiensi operasional, marketing/PR bukan sebagai penciptaan nilai strategis. Coba pilih dari kedua tipe bisnis ini, mana yang kamu banget;

1. COST-CENTRE RATIONALE🧐
📌Fokus pada compliance, value protection, cost saving
📌Investasi pada staff & initiatif terbatas
📌Kecil kemungkinan mengintegrasikannya dgn strategi inti
📌Cenderung meninggalkan Value
📌Belum baik mengelola resiko
📌Kurang fokus pada “Opportunity Cost” memilih “business as usual”

2. VALUE-CENTRE RATIONALE🤩
🍭Fokus pada value & opportunity
🍭Menggunakan sustainability bagi value creation, menyediakan solusi saat ini & masa datang bagi konsumen.
🍭Sadar akan konteks sustainability, jadi pendorong & nilai untuk dituangkan dalam pengembangan & perencanaan bisnisnya.
🍭Lebih besar berinvestasi pada staff & inisiatif
🍭Pendekatan jangka panjang
🍭Pengelolaan resiko yang matang

Kamu yang mana?😜

Beyond Function

Percakapan bersama para bimbingan, membahas perubahan perilaku & pola konsumen di era digital. Membahas sebuah produk minuman teh X Vs teh Y. Salah satu kalimat yang paling diingat dari salah satu teh tersebut adalah slogannya yang menyebutkan apapun makanannya, maka teh X-lah minumannya.

Kemudian saya jelaskan konsep “The Jobs To Be Done” sebuah konsep bagaimana sebuah produk dikonsumsi dan dinikmati pelanggannya. Kalimat “dinikmati” disini menjadi penting karena berupa “experince yang dialami & outcomes yang konsumen ingin-dapatkan setelah Ia mengkonsumsinya”. Bukan semata-mata aspek fungsional, tapi bisa juga tentang dimensi personal, dimensi sosial dan relasi sosial.

Secara mudahnya konsep TJTBD ini adalah hal yang merujuk pada hal-hal yang “Beyond Functions”. Lebih mudah lagi dengan contoh Teh X dan Teh Y, dengan mengajukan pertanyaan ini; “Seberapa lama kamu mengkonsumsi teh X, bandingkan dengan teh Y” Teh X dipromosikan sebagai minuman yang enak dikonsumsi sehabis makan, biasanya semenit juga habis. Enak!

Namun jika dibandingkan dengan kompetitormya teh Y, teh ini bisa dikonsumsi sedikit-sedikit, bahkan lama konsumsinya bisa 1 sd 2 jam. Nikmat!

Enak Vs Nikmat. Perbedaannya ada di waktu konsumsi sudah pasti, outcomesnya juga beda. Teh X hanya menyegarkan selepas makan, dan Teh Y bisa membuat segala aktivitas jadi “mood banget”. Hal ini sesuai dengan kebutuhan produk saat ini yakni memberikan “experience” hal ini mengapa produk perlu hadir “beyond function” karena yang dituju adalah outcomes berupa “Ketika menggunakan dan seusai menggunakannya, konsumen bisa & jadi apa?” Biasanya konsumennya jadi merasa upgrade!

Istilah terkini dalam membuat produk, pastikan produk yang dibuat dan proses marketing merujuk pada konsepsi ini “Upgrade your user, not your product. Don’t build better product”

Teh X kali ini jauh merosot penjualannya, karena perilaku konsumen yang berubah tak bisa Ia tangkap, meski Ia adalah legenda yang iklan-iklannya hanya muncul pada saat bulan Ramadhan, kalah telak dengan produk-produk yang diimajikan dapat mengupgrade konsumennya, karena ia tak sekedar memberikan fungsi, tapi pengalaman menyenangkannya.

Gimana dengan produk kamu?

Menjadi Organisasi yang Lebih Adaptif

Tahun 2023 dikabarkan kurang sedap, ramalannya tahun depan akan terjadi resesi ekonomi besar di dunia, termasuk Indonesia! Tak bisa dipungkiri berita ini sangat membuat kita berdebar, baru saja Covid mereda, tahun depan apa lagi? Namun yang terbaik adalah kita bersiap sungguh-sungguh menyiapkan bahwa kita bisa adaptif💪

Cara yang konvensional bertransformasi seringkali menemui kesulitan karena tak jua relevan & semakin tertinggal. Perlu cara transformatif, radikal yang memaksa perubahan hadir & melesat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi ditambah variable krisis masa di masa depan.

Saat ini banyak juga organisasi yang berhasil melakukan transformasi & ada benang merahnya. Jika terdapat kegagalan produk sebuah usaha, tidak melulu bermuara pada perbaikan produk, yang sering dilupakan adalah kita bisa rombak timnya, petakan kembali kemampuannya & telusuri lagi peluang-peluang barunya☝️

Jika produknya gagal, jangan dulu bubarkan timnya, tapi restrukturisasi timnya, buat squad-squad kecil / spin-off jadi unit-unit kecil jadi ekosistem yang berpadu berelaborasi satu sama lainnya. Saat ini organisasi tak semata-mata bertransformasi, tapi justru bagaimana untuk lebih banyak melakukan perubahan strukturalnya👊

Martec’s Law mengungkapkan peroses ini dilakukan dengan mereorganisasi bisnisnya. Hal revolusioner adalah dengan cara mereset ulang, spin-off / merelokasi sumberdaya untuk menghadirkan inovasi baru yang relevan dengan lompatan teknologi yang eksponensial🙌

Perubahan teknologi yang eksponensial jelas mengakibatkan perilaku konsumen yang sangat berbeda. Tak dipungkiri saat ini menyeimbangkan kemampuan kreativitas dengan teknologi✌️

3 Poin penting perubahan yang signifikan dalam perilaku konsumen antara lain (Gladly report, Stren, j. 2019)
👐Experience Matter More Than Channel
🫶Personalised dan personal,
🤝The Best Marketing is Service

Untuk mengakselerasi tiga pilar tsb ada hal penting jadi fundamental, yakni pola pikir & budaya organisasinya yang mudah beradaptasi jadi tombak utama perubahan. Menjadi organisasi yang lebih adaptif, agile melakukan praktek-manajemen yang ramping (lean) hingga koefisien perubahan organisasi melesat lebih cepat👏👏👏

Saatnya Shifting!

Dalam sesi para calon pemimpin BNI kemarin, beberapa hal yang perlu dipahami terkait paradigma yang relevan sangat berbeda dengan era lalu. Beberapa hal yang shifting misalnya berada pada istilah-istilah berikut ;

Ada -> Connected👋
Ini muncul karena era ini adalah era dimana kita perlu merasa connected, banyak terjadi, meski ada kita tak connected, jadi zombie. Secara fisik ada, hati dan pikiran dialam lain.

Jauh -> Terhubung🫶
Tidak semua yang jauh perlu didekatkan, apalagi jika menimbulkan banyak kebutuhan sumberdaya baru. Pastikan terkoneksi, era digital membuat kita bisa terhubung dengan konsumen seolah-olah kita melayaninya personal

Lama -> Dipastikan👌
Jika dulu istilah lama obatnya cepet, tapi tidak lagi dengan saat ini. Konsumen tidak melulu minta cepat, tapi minta kepastian. Memastikan kapan datang, kapan selesai, seberapa lama menunggu atau seberala cepat tuntas.

Lelah -> Eksplorasi👐
Gladly report 2019 mengungkapkan “Experience Matter More Than Channel” orang justru senang berlelah-lelah, berkeringat demi sesuatu. Orang tak melulu mencari santai, dekat / mudah, Produk yang membawanya bereksplorasi justru membawanya bersedia membayar lebih mahal karena membawanya pada banyak value & insight baru👏

Selain hal di atas, banyak sekali redefinisi baru hasil reevaluasi perjalanan konsumen di era digital yang merubah beragam perilaku hidupnya. Redefinisi ini juga diungkap banyak tokoh bisnis dunia seperti;

🍧Data yang bernilai adalah data yang dimonetisasi (MIT IDE 2018 Platform Strategy Summit);

🍧Jangan habiskan waktumu ditempat dimana informasi yang kamu dapat dikontrol oleh algoritma (Ian Myers, CEO, NewsPicks)

🍧Inovasi adalah hasil dari arsitektur & organisasi yang mengamplifikasi kekuatan mekanisme & budaya. (Dirk Didascalou, Amazon)

🍧Walau bisa kita jualan via telpon, chart, email / sekedar bersua sesaat. Ada konteks fisik, mental-emosional yang dibentuk dimata client yang menentukan kita berhasil atau tidaknya.
(Megan Burns, Experience Enterprises)

🍧Pastikan connected! Keterhubungan antara kreator & konsumen. Keterlibatan antar komunitas konsumen & kreator yang kemudian berdampak pada bisnis & societynya (Kotler-Sarkar, 2019)👌

Pastikan Redefinisinya Valid Ya!

Era Digital, era dimana banyak miskonsepsi karena semua tiba-tiba menjadi “Si Paling Aplikasi” atau beragam pertanyaan terkait bagaimana “mengakselerasi ads melalui proses marketing online?”

Sesungguhnya, ngga sesederhana itu, ada hal fundamental penting dipahami bahwa adalah bahwa:
1. Bagaimana sesungguhnya proses bisnis barunya?
2. Realita kondisi di lapangan bagaimana simpul-simpulnya terkoneksi?
3. Perubahan apa yang terjadi pada perilaku konsumennya?
4. Definisikan ulang kebutuhan konsumen yang relevan dengan jamannya.

Perubahan era akan berdampak pada perubahan banyak hal, apalagi era digital segala sesuatunya jadi terhubung. Bahkan banyak hal berbeda parameter keterhubungannya. Seperti contohnya
1. Jika dahulu “jauh” solusinya “didekatkan”, saat ini jadi “terhubung”.
2. Jika dahulu “lama” solusinya “dipercepat” , jadi “dipastikan”.
3. Jika dahulu “lelah” solusinya berikan waktu, saat ini dijawab dengan “eksplorasi”
4. Jika dahulu “bertemu, saat ini “connected”

Banyak hal perlu didefinisikan, era berubah dibersamai dengan perilaku yang juga berbeda, karena keterhubungan menjadikan segala sesuatu perlu dimaknai dengan cara barunya.

Perbicangan kemarin dengan @mashakmal Program Director di @thelocalenablers Bercerita tentang Cloud Kitchen pertama di Indonesia. Pizza Hut Delivery (PHD).

Mengapa Pizza Hut bertransformasi menjadi PHD bahkan jauh sebelum pandemik terjadi? Karena PHD berhasil meredefinisikan kebutuhan pelanggan saat ini, “Bahwa Pizza bukan lagi makanan yang enak dinikmati dengan cara Dine-in di restoran, tetapi Pizza adalah makanan teman kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman, menemaminya nonton bersama di rumah atau acara-acara yang menitikberatkan bagaimana meningkatkan mood, kebahagiaan & kebersamaan pada pertemuan-pertemuan tsb”

Keberhasilan PHD dalam memahami perubahan konsumen inilah yang membuat mereka bisa melesat dengan proses transformasinya & berhasil merajai pasar Pizza dengan perubahan perilaku konsumennya.

Yang lebih penting saat ini adalah paham dulu bagaimana konsumen melakukan shiftingnya, lalu pastikan hadir dengan inovasi proses bisnsnya, baru lakukan digitalisasinya.

Pastikan redefinisinya valid ya!

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Seberapa resourceful tim kamu?

Kekuatan berkelompok bisa jadi kekuatan yang sangat besar. Namun, bisa jadi sangat kecil jika hanya fokus pada individu & egonya masing-masing. Dalam pekerjaan juga begitu, ketika terputus oleh cubical-cubical kecil atas nama privacy di ruang-ruang kerja.

Satu sesi sederhana di Surabaya bersama-kawan-kawan Ubaya kami meminta kawan-kawan untuk berkelompok berdasarkan kategori Minimum Viable Team yang terdiri dari 1) Semar (Sang Pemimpin), 2) Petruk (Sang Hacker/Technologist), 3) Gareng (Hustler / sang Marketer) & 4) Bagong (Hipster/si paling kreatif). Kelompok dibuat divergen, sebelumnya mereka diminta berkelompok sesuai dengan peranannya yang homogen dan meminta saling bercerita “kesombongannya” pada kelompoknya masing-masing.

“Kesombongan” in a positive way ya! Bercerita terkait apa saja kekayaan keterampilan / intangible asset yang dimiliki masing-masing. Kekuatan pengetahuan & kapasistas dirinya yang bisa saling memperkaya satu sama lainnya. Memastikan satu sama lainnya kenal dengan kekuatan lain. Hal ini kerap kali tak terlihat karena merasa tak perlu diperlihatkan.

Dalam sebuah tim yang kuat, dikenal istilah “Resourceful, sekelompok individu yang penuh dengan solusi yang dapat beradaptasi dengan kesulitan-kesulitan baru dengan solusi-solusi baru. Dapat berpikir secara kreatif. Kondisi ini akan lebih cepat terwujud jika satu sama lainnya mengenal potensi & kekuatan tiap individunya, terbuka atas kolaborasi yang saling memperkaya hingga mudah mendapatkan jalan keluar jika mendapatkan tantangan-tantangan baru.

Bagaimana cara memulai kondisi yang Resourceful? (Baldoni, 2010)
1. Berpkir terbuka, Redefine the Possible. “Being open-minded about new possibilities is critical to putting resourcefulness into action”-Nilekani
2. Turn innovation inward.  Resourceful bukan hanya menciptakan kebaruan, tapi membuat susuatu yang lama bekerja lebih baik.
3. Choose Specifics. Temukan lagi bagaimana cara kita berusaha, pilih sesuatu yang lebih realistik.
4. Lean on Your Staff. Rampingkan tim dengan membuat squad-squad lincah saling berinteraksi.
5. Celebrate the Lesson. Mendorong resourcefulness, pastikan bahwa tiap pencapaian dirayakan.

Seberapa resourceful tim kamu?