Design Thinking : Mengapa Penting?

Design Thinking (DT) merupakan strategi berpikir kreatif,digunakan dalam proses merancang solusi. Saat ini digunakan oleh lebih banyak orang untuk menyelesaikan masalah dalam bisnis atau sosial.

Selama ini, kekhawatiran yang muncul karena DT lebih disukai teorinya ketimbang prakteknya. Makanya muncul istilah daripada “Design Thinking” mending “Design Action”! Hal ini karena sebagian besar kelompok yang melakukan DT memusatkan semua perhatian dengan “memikirkannya”, tapi sayangnya “berpikir” tak secara alamiah mengarahkan manusia ke bagian “doing”. Untuk mendapatkan hasil praktis dari DT, kita perlu menyeimbangkan proses berpikir & melakukannya.

DT digunakan di awal pekerjaan, masalahnya kemudian adalah terlalu banyak orang menggunakannya dengan harapan mendapatkan solusinya ke pasar, tetapi ternyata tidak. Padahal menghubungkan prinsip-prinsip DT dengan hasil praktis sesungguhnya sangat sederhana, tapi melibatkan proses bicara & komunikasi intensif dimana sebagian besar kesulitan melakukannya.

Pada dasarnya DT adalah perpanjangan metode ilmiah. Mengarah pada menemukan solusi dimulai pengamatan, membuat hipotesis & menguji validitasnya. Hasilnya menghasilkan teori untuk mencerminkan kenyataan yang jadi dasar untuk hampir semua penemuan ilmiah. Prosesnya tidak mengubah validasi jadi solusi praktis, justru DT meminjam dari ketelitian ilmiah tsb & memberi cara yang andal untuk beralih dari konsep yang belum terbukti ke solusi tervalidasi.

Oleh karena itu mengapa DT baik bagi pemecahan masalah. Secara organisasi pun membuat tim lebih matang, bekerja secara inklusif dalam tahapan sprint hingga akhirnya tidak hanya melahirkan artefak berupa luaran, tapi juga outcomes yang bermanfaat & memberikan pelanggannya nilai pembeda yang berharga.

DT layaknya seperti resep. Berisi panduan apa saja yang perlu dilakukan, bukan hasilnya. Resep ini berisi instruksi untuk menghasilkan outcomes & mengiterasinya. Ada analogi bagus dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Era Vuca atau Bani saat ini saat banyak keadaan makin cepat, tak jelas, kompleks dan ambigu. Jadi belajar banyak di era pandemik ini saat perubahan dilakukan diatas perubahan menjadi kebiasaan baru. Beberapa hal juga berubah, cara bekerja dan segala sesuatu terkaitnya berubah total. Coba deh DURT, frameworknya Jon Mertz di tahun 2014.
Direct, Understandable, Reliable, and Trustworthy

Be Direct.
Langsung dan berterusterang dalam situasi yang kompleks menjadi cara yang ampuh untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dalam situasi yang kompleks. Informasi dalam komunikasi yang transparan serta membangun mutual trust / rasa saling percaya dan membagun upaya yang kolaboratif. Ingat kata kuncinya, transparan, saling percaya dan upaya kolaboratif. Semuanya yaa bukan satu-satu 🙂

Be Understandable
Situasi yang ambigu, memang sangat banyak dimungkinkan untuk terjadi saat ini dan kedepan. Menjadi jelas itu adalah sesuatu yang penting, namun bukan jelas caranya ya, tapi jelas tujuanya, jelas purposenya. Karena cara justru senantiasa berubah, hingga dimungkinkan membuka inisiatif dengan cara-cara baru. Kejelasan akan purpose, arah, peran dan tanggung jawab akan memberdayakan setiap indvidu didalamya.
JIka tak paham, ruang gagasan yang frekwentif menjadi wadah baik mematangkan tim dengan pemahaman-pemahaman baru yang kompleks.

Be Reliable
Era yang serba cepat, menjadi reliable adalah sebuah tantangan lain. Ikuti sesuatu yang dikatakan dan disepakati, pegang nilai-nilai dasarnya akan mempercepat momentum positf untuk tumbuh. Situasi cepat menghadirkan kesempatan untuk belajar banyak, belajar banyak artinya mengalami kegagalan yang banyak pula yaa! Hanya jangan gagal pada lubang yang sama, kesalahanpun bisa belajar dari orang lain 🙂

Be Trustworthy
Dapat dipercaya di era yang tak jelas adalah hal penting. Bersandar pada nilai-nilai yang disepakati. Investasi pada manusia, memelihara tim agar tetap enggaged berpadu dan kompak, melibatkan mitra dan tetap mau belajar untuk mau memahami hal-hal baru hingga bertindak dengan tindakan yang saling menghargai.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Paradigma baru di era digital memang kerap kali membawa pada beragam kejutan yang luar biasa. Salah-satunya adalah semakin beragamnya bentuk-bentuk kolaborasi yang tumbuh, karena diera ini keterhubungan menjadi aspek paling berpengaruh terhadap sesuatu yang sebelumnya belum bisa terjadi.

Sifat dan kemampuan kolaborasi semakin menjadi-menjadi. Teknologi media sosial serta kecanggihan desain yang semakin tinggi ketika Ia dapat menarasikan secara tepat apa yang dibayangkan yang semula masih ide-ide dikepala, tersampaikan gagasannya pada banyak orang secara baik tervisualiasikan serta tersampaikan masif dengan media digital ke banyak pihak. Menyebabkan ide-ide gila yang sebelumnya sulit dinampakkan, digambarkan dan diwujudkan jadi lebih mudah terealisasikan!

Kolaborasi dulu hanya sebatas dua dimensi, menggabungkan satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu dimensi yang sama, misal; satu dua produk yang saling komplementer, satu dua organisasi yang saling melengkapi dalam rantai nilai atau pasoknya, atau satu atau dua hal yang secara logika tradisional tak mungkin dirangkai.

Era digital membuat ide gila muncul justru dari kolaborasi yang semakin multi dimensi, hal-hal yang dulu tak mungkin bersatu justru kini dinantikan bentuk-bentuk barunya. Meski dulu bisa jadi tabu, tak mungkin atau bahkan tak ada pasarnya. Salah satu contoh kolaborasi yang unik dilakukan Burgreens dan Green Rebel  @greenrebelfoods misalnya, sekarang usaha ini mendunia dengan Green Rebel, coba liat model bisnisnya deh.

Kolaborasinya unik sekali bersama bisnis lainnya. Mereka tidak membuat toko, mereka titipkan menunya pada banyak bisnis lain, termasuk di resto saingannya. Proses kolaborasinya ngga terbayangkan sebelumnya. Keren! Sebelumnya mereka mengembangkan Burgreens yang sukses mengenalkan flexitarian (flexible vegetarian) yang mengajak #TryVegan dengan #OneVeganMealADay buat kamu yang masih setengah-setengah jadi vegan. Uniknya, value ini justru jadi peluang kolaborasi dengan mitra lain yang justru tak menjadikan vegetarian jadi jualannya. Kolaborasi yang keren!

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Momentum yang “Life Changing”

Sepanjang perjalanan pulang bersama salah satu mahasiswa bimbingan bercerita panjang tentang kemana nanti kita setelah lulus?

Percakapan ini dimulai dengan begitu lazimnya menemukan lulusan-lulusan yang bingung setelah lulus, semestinya ini tak terjadi. Pasti ada sesuatu yang belum berhasil dalam proses pendidikannya, proses menemukan dirinya. Pendidikan memang kerap kali terperosok pada substansi yang tak kontekstual, prosesnya dipercepat untuk sekedar bisa, tanpa paham maksud, tujuan apalagi filosofinya. Membuat proses pendidikan jadi kehilangan makna, berakibat tak tumbuhnya energi yang membuncah dari dalam dirinya untuk mengaplikasikan ilmunya.

Kebingungan pasca kuliah kerap terjadi karena sepanjang pendidikannya, prosesnya tak kunjung mengerucut pada penemuan dirinya. Prosesnya jadi untaian kewajiban menuntaskan, hingga lupa menumbuhkan rasa cinta & maknanya. Tak heran kemudian mereka lulus & meninggalkan bidang yang dipelajarinya.

Lulus dengan keyakinan tujuan hidup yang jelas, adalah sebuah parameter penting sebuah pendidikan yang berhasil. Mahasiswa perlu makin yakin tentang arah tujuannya kelak. Seiring semakin menuanya mereka dikampus. “Tujuan” jadi penting ketimbang memilih “kamu mau jadi apa?”. “Menjadi sesuatu” adalah kendaraannya, jika meminjam istilah Comic Pandji, kamu boleh gonta-ganti angkotnya, asal kamu tau tujuannya. Saat ini yang terjadi kita jadi disibukkan mencari angkotnya, tanpa tau tujuannya.

Perjalanan pendidikan hendaknya jadi momentum yang “life changing” menjadikan dirinya individu baru. Proses empat tahun perlu benar-benar by-design menjadikan individu-individunya bertransformasi, bukan sekedar tergesa menghabiskan SKS.

Sore tadi, bersama 90an Dosen, mengingatkan kembali, bahwa kampus bukan hanya berkewajiban memberikan kredit semesternya, tapi juga menumbuhkan ekosistemnya yang hidup & positif. Membawa gairah pembaruan, inovasi & keberanian bereksperimen untuk melakukan beragam eksplorasi. Keberhasilan setiap individu memang adalah hasil yang dirancang dengan kesungguhan untuk melahirkan banyak individu berdampak kelak. Sudah sejauh mana kamu merasa bahwa kampus kamu benar-benar jadi wadah yang “life changing”?

Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita chaos

Era VUCA atau BANI, satu kata yang menggambarkannya “Ruwet”. Kata ini muncul dalam diskusi kami kemarin, hingga era ini memang sangat fundamental untuk memahaminya dengan cara berpikir yang baru dan relevan terhadap perkembangan yang serba cepat. Berubah menjadi ruwet ya memang karena konstelasi proses, sistem dan mekanisme menjadi baru yang tak bisa dipahami dengan paradigma tradisional.

Menjadi Agile, sebuah terminonologi yang sedang sering terkemukakan, namun memaknainya memang menantang. Apalagi jika populasi masyarakatnya mayoritas masih terkungkung dalam pola pikir tradisional yang menuntut berbagai kejelasan pada setiap langkah yang Ia ingin jalankan. Hal ini timbul karena memang Ia terbiasa dengan proses bisnis lama dan mendarah daging dalam kehidupannya dan membentuk pola pikirnya saat ini.

Era dimasa pandemik melandai ini juga menjadi penanda makin jelasnya sesuatu yang unclear atau tak jelas semakin banyak ditemui diberbagai ruang kehidupan, hingga hal ini membawa pada prasyarat yang juga tak jelas. Sementara masyarakat masih nyaman dengan sesuatu hal yang pasti dan jelas.

Menjadi Agile, tak lagi membawa pada hal-hal yang pasti dan jelas yang dapat dideskripsikan. Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita Chaos. Mengupayakannya untuk mengeksplorasi ruang antara clear dan unclear, antara simple dan chaotic, antara kompleksitas dan simplisitas. Memastikan outcomes dan dampaknya terwujud.

Dalam mencapai tujuan, maka ada upaya yang kompleks & unik dimana tak ada satu ukuran yang cocok untuk semua pendekatan, hingga dalam menyelesaikannya kita perlu menyesuaikan metodologi pada setiap tujuan yang berbeda.

Coba petakan permasalahan dan kondisinya, matriks Stacey ini mungkin bisa membantu kamu dimana kita menggunakan pendekatan Agile atau Waterfall. Petakan lagi kondisi, prasayarat dan kaitannya dengan teknologi. Ada dimana mereka. Agile memang berada pada kompleks, maka jalan bersolusinya adalah dengan ko-kreasi, bergagasan yang kolaboratif, visioning, eksplorasi, pengembangan yang iteratif hingga knowledge management.

Bereksplorasilah hingga kamu lebih dekat dengan tujuan!

Sudah sejauh mana dan seserius apa kita menyiapkan pendidikan masa depan?

Berbincang dengan mahasiswa dalam memulai penelitiannya, kami memulainya dengan pertanyaan, apa yang kamu inginkan dimasa depan? apa yang disukai & paling mendatangkan energi deras ketika kamu melakukannya? Jika belum tau masa depannya apa, eksplorasilah dulu, tak usah terburu-buru hingga kamu tau apa yang diinginkan.

Menuangkan kalimat diatas, nyatanya memang menantang kontekstualisasinya. Perlu keberanian ditabrakkan dengan kurikulum konvensional saat ini. Namun, merancang pendidikan bagi masa depan adalah hal yang tak bisa ditunda, perlu dipersiapkan & disegera-lakukan. Bagaimana memulai aksi-aksi nyata fundamental menuju inklusitiftas, ekosistem pengetahuan partisipatif. Terkait ini, sebuah konsep terkait Future of Eduction bertajuk “Near Future Education” menarik untuk disimak.

Masa depan memang belum nyata ada, tapi jadi sangat penting mencipta suspensi yang memungkinkan melakukan proses eksplorasi berbagai kemungkinan dimasa depan hingga dapat menarik beragam masyarakat dengan beragam latar belakang hingga memungkinkannya menjadi para performers masa datang, mengekspresikan dirinya bukan hanya pada hal-hal teknikal & teknologi, tapi juga dalam rangka menghadirkan masa depan yang Ia inginkan & disukainya.

Merancang pendidlikan masa depan perlu dimulai dengan memetakan dahulu peta masa depannya, kombinasikan aktivitas teknis, teknologi bersama hal-hal ethnografis lainnya agar kontekstual. Kemudian padukan dengan beragam kebaruan, tren, pola dan aspek-aspek lain seperti sosial, budaya, ekonomi dll. Penting juga untuk menggambarkan hal-hal yang tampak aneh hari ini, yakni hal-hal yang walau tak belum xdirasakan manfaatnya hari ini tapi dimasa depan hal-hal ini akan tampak jelas dan tumbuh.

Pendidikan masa depan tentu perlu mendapatkan redefinisi baru, karena variabel kontektualnya menjadi lebih kaya diera teknologi digital ini, yakni (RMIT, 2022)
1. Keterhubungan, kolaborasi, dan kreasi bersama
2. Di mana saja, kapan saja belajar
3. Kustomisasi untuk pendekatan yang mengutamakan pembelajar
4. Menguji coba, menitikberatkan pada proses dan perkembangan belajar.

Sudah sejauh mana dan seserius apa kita menyiapkan pendidikan masa depan?

Teoritis Vs Konkret

Selalu gemas dan tersenyum simpul dengan kawan-kawan yang bilang kongkretkan dong! Ah kamu kebanyakan konsep!

Ada sesuatu hal yang paling kami senangi dalam ekosistem ini, yakni bergagasan, kemudian merangkainya menjadi gambaran besarnya, melengkapi dengan strategi membangunnya dengan cara-cara baru serta menginventarisir simpul-simpul katalisatornya.

Sering kali juga kami dianggap teoritis, dan atau bahkan terlalu banyak nge-gas bereksperimen. Justru kami berupaya menyeimbangkan, menyandingkan gagasan dengan eksprimennya dengan segera.

Istilah kongkret justru sangat erat dengan ekosistem kaya gagasan ini. Namun yang membedakannya adalah, dibalik ini ada kerangka-kerangkan berpikir yang digunakan. Basis ilmu pengetahuan, pendekatan-pendekatan dan model yang teruji secara saintifik justru sangat bermanfaat untuk memastikan kerbehasilan sebuah implementasi gagasan.

Setiap eksperimen dibuatkan cakrawala waktunya, setiap kemenangan dirancang probabilitasnya agar semakin besar dengan memastikan simpul-simpul mana yang akan disentuh agar bisa tercapai percepatannya, serta yang paling penting juga dalam sebuah yang kongkret itu adalah kesungguhan merawat keberlanjutanya.

Kongkret itu bukan aktivitas tabrak lari atau langsung jadi, namun tertuang dalam konsistensi menjaga imajnasi hingga terwujud nyata. Ada proses membangun yang tak hadir dalam sekejap.

Satu hal lagi, proses & konsistensi itu penting dalam menghadirkan sebuah formulasi program kongkret, lebih penting lagi adalah memahami bahwa tak ada formulasi yang sama bagi setiap masalah yang berbeda. Kongkret itu adalah wujud nyata bahwa kita bersama-sama mewujudkan formulasi terbaik & mendekatkan dengan tujuannya masing-masing.

Kami tak suka mendikotomikan antara teori dan aksi, kami memilih memadukannya. Ilmu pengetahuan selalu menjadi bahan belajar terbaik diramu bersama dengan pengalaman. Agar proses dijalankan antara wisdom dan keberanian membuatnya bisa berakselerasi.

Bagaimana versi konkret kamu?

The Pygmalion Effect

Kami selalu yakin bahwa tiap orang terlahir jenius, artinya memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih baik. Dalam keseharian, kami menemukan banyak individu & mengikutkannya dalam banyak program nyaris tanpa seleksi karena ada selalu keyakinan bahwa terdapat potensi yang dapat dibangkitkan darinya. Walau di banyak tempat beberapa individu tak terwadahi karena aneka ragam kriteria tak fit dengannya.⁣

Tiap individu menjadi penting di-influence dengan hak dirinya untuk maju & berkembang, meyakinkan ada sesuatu luar biasa dalam dirinya. Memiliki pendekatannya berbeda-beda itu biasa, namun ada satu perlakuan yang sama perlu ditumbuhkan, yakni “harapan positif yang dilekatkan & dijaga untuk tumbuh pada setiap langkah memandirikannya”.


Efek Pygmalion. Fenomena psikologis yang menjelaskan kala harapan baik dilekatkan pada seseorang akan menyebabkan peningkatan performa. ⁣


Pygmalion berasal dari mitologi Yunani tentang pemahat yang mengukir patung wanita & jatuh cinta padanya. Karena tak mampu mencintai manusia, Ia mengimbau Aphrodite, Dewi Cinta yang menghidupkan patung tersebut, kemudian menikah & melahirkan seorang putri, Paphos.⁣

Efek ini menjelaskan siklus jika kita meyakini seseorang bisa berkemampuan positif, maka akan mempengaruhi sikap kita padanya. Sikap ini akan berdampak pada individu tersebut sehingga rasa percaya dirinya tumbuh & berdampak pada semakin baik kemampuannya. Perbaikan yang tampak tersebut menimbulkan efek pada diri kita yakni menguatnya validasi atas keyakinan awal, bahwa Ia benar memiliki mampu berkembang. Siklus ini penting dijaga keberlanjutannya sehingga terus menerus lebih baik.⁣

Dale Carnegie pun pernah merekomendasikan efek ini pada pembacanya dengan menuliskan “Giving others a great reputation to live up to” & “A wise man raise his expectations of others, and he will naturally do their best to satisfy those expectations”⁣

Menjadi semakin yakin, bahwa tiap orang berhak mendapatkan ekosistem yang mampu menguatkannya. Efek ini penting dipahami pada setiap orang melabeli dirinya sebagai enablers atau pemberdaya atau peranan lainnya sebagai bagian penting karakter leadership yang ditularkan.⁣

Meramu Purpose Personal dengan Organisasinya

kedatangan tamu istimewa, Agile Coach kami @putiretnoali menghabiskan tiga hari lamanya menemani proses retrospektif kami.

Jum’at siang selepas makan siang, kami berkumpul di ruang tengah. Ruang yang menjadi melting-pot setiap unit @thelocalenablers . Pembicaraan siang itu, dibuka dengan pertanyaan menarik yang ditujukan pada seluruh anggota tim kami, pertanyaannya adalah’: “Sebutkan dua hal yang paling urgent yang kamu inginkan!”

Kemudian setiap anggota tim mengemukalan dua hal yang penting bagi dirinya. Hal yang menarik dari jawaban-jawaban pada umumnya dalam menjawab kedua hal paling penting ternyata berpusat pada dirinya, seperti ingin kaya :D, segera mendapatkan pasangan, membeli kendaraan, membangun rumah, membahagiakan orang tua dan hal-hal lainnya yang self-centered.

Dua hal penting bagi dirinya adalah pertanyaan pemancing yang menarik! dimana pertanyaan ini diutarakan di tempat dimana mereka diberikan wadah untuk berkarya bersama tim dan ekosistemnya.

Hal ini bisa jadi terjadi ditempat lain dimana anggota tim lupa atau perlu disadarkan bahwa tempat mereka berkarya juga perlu menjadi diprioritaskan, tapi tak terucap jua.

Pertanyaan seperti ini membuat saya teringat pada sebuah model bernama Butterfly Model – Wolf Olins. Model ini menggambarkan bagaimana perlunya kita menyelaraskan Personal Purpose di sayap kiri dengan Organizational Purpose di sayap kanan, hingga munculah irisan purpose yang memang perlu kesadaran penuh dalam menyelaraskannya.

Jika kita terbang dengan satu sayap tentunya sulit, terbang sesaat kemudian jatuh. Organisasi menjadi wadah yang penting dalam membangun the ultimate purpose. Bagaimana pun sebagai makhluk sosial, kebutuhan berkelompok menjadi hal yang tak terhindarkan, sebuah naluri mendasar tak terelakkan. Mencari anggota tim yang homogen juga bukan jawaban yang tepat, karena akan membunuh kreativitas. Ekosistem yang baik adalah ekosistem yang menberikan ruang untuk meramu purpose personal dengan organisasinya, hingga kita bisa terbang jauh dan memastikan kerberlajutannya.

Gimana dengan kamu? Coba sebutkan dua hal yang paling urgent yang diinginkan! Adakah yang bisa kamu ungkap agar keduanya menjadi seimbang?

Awas! “Homogenous Teams Feel Easier, but Easy Is Bad for Performance”

Gimana rasanya punya tim kompak? Jika bertemu & berdiskusi makin cepat setuju , tak ada perlawanan/gagasan baru. Tim yang makin nyaman karena dirasakan semakin tak ada hingar bingar perselisihan lagi, sangat cepat setuju & lancar prosesnya, bukankah hal ini sangat didamba setiap tim?

Studi Personality & Social Psychology Bulletin,2009 mengungkap fakta terkait identitas kelompok yang homogen berakibat pada terciptanya rasa kesamaan/ketidaksamaan yang kuat dengan orang lain. Memang masuk akal jika tim yang kompak, aman & homogen maka orang-orang akan dengan mudah saling memahami , proses kolaborasi mengalir dengan lancar. Tapi, hati-hati ya, hal ini akan memberikan sensasi kemajuan semu. Karena beranggapan berurusan dengan beda yang akan menyebabkan gesekan, berasa kontraproduktif.

Awas! “Homogenous Teams Feel Easier, but Easy Is Bad for Performance”

Faktanya, bekerja dalam tim beragam akan menghasilkan hasil yang lebih baik, justru karena lebih sulit prosesnyalah yang bertentangan dengan intuisi banyak orang. Ada istilah Fluency Heuristic, dimana kita lebih suka informasi yang “diproses lebih mudah atau lancar” kemudian menilai hal ini lebih benar/indah”

Dampaknya tim jadi punya pemahaman bias atas proses pembelajaran yang dirasa benar. Kondisi ini mengarahkan apresiasi hanya ditujukan pada hal-hal yang semuanya menjadi lebih mudah diproses, tim jadi belajar dari proses yang kurang tepat. Menjadi lebih sering mengulang-ulang hal yang sama tanpa kebaruan, jadi lebih akrab tanpa banyak usaha, hingga merasa bahwa mereka berprogres.

Bekerja dengan tim yang heterogen justru akan berdampak dalam performa & inovasi yang lebih baik. Anggap aja seperti dalam berolahraga, no pain no gain. “Diversity Can Increase Conflict, but Not as Much as You Think”

Pastikan mempertahankan keberagaman ide, pengalaman, cara pandang & aspek lain. Belajar mengkapitalisasi perbedaan dalam tim. Kemampuan meramu perbedaan jadi racikan jitu adalah kreatifitas dalam tim. Harganya mahal, karena dinamikanya membawa pada iklim yang sehat dalam melahirkan berbagai kebaruan, baik cara maupun produk solusi.

“Capitalizing on Diversity Means Highlighting — Not Hiding from Differences”