Kemampuan Critical Thinking

Terburu-buru menilai, memutuskan & menyimpulkan. Proses ini biasanya disebut sebagai fast thinking, menyebabkan seseorang kehilangan objektifitasnya & kemampuan berpikir kritisnya seketika jadi lenyap. Hal ini juga terjadi ketika ternyata mayoritas berkata sama hingga jadi ukuran kebenaran. Apalagi orang-orang ternama juga yang juga tergesa menyimpulkan menjadi rujukan pembenaran.

Kasus Baim mendaftarkan Haki Citayam Fasion Week menjadi menarik dari kacamata critical thinking apalagi dari kacamata proses bisnis, ketika sebagian besar tokoh justru terburu-buru menghakimi seperti “Created by the poor, stolen by the rich”, “serakah!” dan atau “tak beretika”. Komen-komen ini memenuhi jagad dunia maya ketika sebuah media membawa berita berita dengan judul “ Perusahaan Baim-Paula mendaftarkan Brand Citayam Fashion Week” .

Kemampuan critical thinking kita memang diuji, ketika media-media kita sering memberitakan hal-hal yang konteksnya hilang dari judul. Menghilangkan konteks dari judul tentunya akan membawa polemik besar karena memancing keributan karena menuai perdebatan, ya mereka berhasil sih karena tujuan media tsb ya itu. Dibaca banyak orang!

Sebagai pegiat kreatif tentunya kemampuan kita membaca konteks menjadi krusial. Apalagi manganalisis kejadian, keterhubungan simpul-simpul pelaku, meninggikan cakrawala jadi penting dalam menarik kesimpulan. Sesungguhnya trending topic Baim & CFW ini menarik dibahas dari sisi kolaborasinya, terlepas dari etika ya krn CFW sudah jadi milik umum.

Baim X Bonge adalah kasus menarik, kolaborasi jika boleh dibilang, bagaimana Baim berkomunikasi dengan Bonge CS, bagaimana Baim memvaluasinya dengan membayar 500juta pada inisiatornya, bagaimana mereka menangkap momentum dan bagaimana menjadikan Hak Kekayaan Intelektual menjadi nilai ekonomi serta mendistribusikan keuntungannya secara adil dalam model bisnisnya adalah tema menarik ketimbang tergesa menyimpulkan.

Bentuk-bentuk kolaborasi yang makin gila ini tentu makin banyak orang tak paham. Selalu ada 6 topi berpikir jika menurut Edward de Bono, jangan menyimpulkan dari sisi topi hitam, karena ada 5 topi lain untuk menyimpulkan lebih luas. Kapan nih kita bahas?

Bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Seseorang bercerita pada saya, suatu saat Ia pernah mengemukakan kegelisahannya pada pimpinan, yang pada awal asumsinya Ia akan didukung pimpinan dalam memegang teguh prinsip manjemen perubahan. Biasanya Pimpinan akan berperan jadi sponsor dalam perubahan, dan Ia sangat percaya itu.

Namun tampaknya realita tak sesuai dengan kenyataan, membukakan matanya ketika ternyata masih jadi peer panjang berharap seorang pemimpin yang menjadi bumper perubahan ketika ada dinamika hadir dalam prosesnya.

Budaya yang suportif memang menjadi tantangan masif terutama pada organisasi-organisasi konvensional yang masih mengharap zona nyaman dalam menghadapi era perubahan.

Pemimpin yang sadar betul bahwa proses perubahan itu penting maka Ia perlu melatih dirinya dengan sungguh-sungguh menjadi “Visionary Leaders”, punya mimpi yang kuat menghadirkan gagasan baru di masa datang. Dibalik proses tranformasi, agile leaders adalah salah satu kunci penting, Agile comes from the top. Mengarahkan Ia dan timnya menjadi “Being Agile” dengan memahamkan pentingnya;

1. Urgensi
2. Koalisi
3. Visi
4. Komunikasi
5. Aksi dan Pembedayaan
6. Kemenangan-kemenangan
7. Konsolidasi
8. Institusionalisasi
Membangun kedelapan hal ini adalah proses transformasi, dibangun dan dirawat yaa, karena ini bukan sulap.

Dalam prosesnya, yang terbaik adalah menumbuhkan budaya yang suportif, ini yang kerap kali tak ditumbuhkan tapi ingin segera menghasilkan. Pimpinan mendorong dukungan atas perubahan dengan menumbuhkan Awareness, Desire, Ability, Promote & Transfer. Ingat lagi bahwa ini transformasi, bukan sulap! Lakukan inspeksi pada setiap perubahan dan adaptasi secara terus menerus.

Setelah hal ini dilakukan, maka bantulah dengan perangkat-perangkat bantuan. Melengkapi Being Agile dengan Doing Agile dengan memandu tim untuk paham bahwa proses adopsi dipastikan berawal dari 1) Problem Driven, 2) Adopsi Praktek Agile dan 3) Memastikan increment2nya terwujud.

Perubahan dilakukan diatas perubahan memang memancing dinamika, disini perlu hadir para pemimpin yang menjadi sponsor perubahannya, bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Top 3 Barriers to Innovation in Higher Education

Dua hari bersama kawan-kawan Unsoed merancang kurilukum agar dapat menjadi wadah pembelajaran transformatif. Sesi-sesi ini selalu menjadi bahan retrospektif yang baik untuk menghasilkan beragam cara baru menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan jamannya.

Menyitir sebuah tulisan di Forbes, 2018 “Mengapa dibanyak institusi pendidikan dimana banyak diisi oleh para individu brilian yang bermotivasi tinggi dalam mengelola pendidikan tinggi justru menghambat inovasi yang semestinya tumbuh subur di institusi ini?”

Pada sebuah riset, ternyata jika institusi pendidikan mengalami kesulitan menggelorakan inovasi dilingkungannya disebabkan karena 1) sistem internal, struktur proses pengambilan keputusan, 2) organisasi silo, 3) budaya & startegi. Hasil ini menggambarkan situasi mengapa institusi pendidikan justru kerap kali menghambat proses inovasi?

Jika dipikirkan memang beberapa tipe universitas justru kerap bangga dengan aturan, persyaratan, politik & tradisinya sendiri ketimbang apakah institusinya melahirkan inovasi yang by-design.

Banyak juga perguruan tersesat dimana pendidikannya tak berpusat pada pembelajar, karena lebih menghargai penelitian daripada proses pembelajaran. Tantangan ini banyak memicu kegelisahan. Kala dunia industri ingin menjadi lebih inovatif & responsif, tapi kebanyakan universitas justru tak mengajarkan cara ini, atau menumbuhkan kualitas seperti ini pada siswanya.

Mengajarkan cara berinovasi kebanyakan tak mendapat tempat dalam kurikulum formal, kondisi ini memaksa mahasiswa harus mencari suatu tempat antara kuliah & aktualisasi diluar kuliah untuk mengembangkan kemampuannya berinovasinya secara “ajaib”. Pendidikan yang berpusat pada pembelajar perlu jadi prioritas, ini akan mengarahkan proses pada prevalensi yang lebih tinggi pada hadirnya inovasi dari praktek-praktek pembelajaran yang user-centric, membuat pembelajaran yang menyenangkan, menantang & memberi ruang eksplorasi yang membuahkan inovasi.

Sebuah kerinduan melihat lebih banyak contoh pemikiran inovatif di kampus-kampus, memberi siswa lebih banyak ruang mengembangkan kemampuan bawaannya, lebih banyak fleksibilitas untuk siap menghadapi dunia yang menanti mereka dimasa depan.

Big to Small Thinking Framework

Dalam postingan terdahulu ada sebuah analogi menarik terkait Design Thinking dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Ungkapan ini begitu relevan & bagaimana cara menurunkannya dalam sebuah strategi teknis bagi para pelanggan kita. Jika kita kaitkan lagi dengan framework Golden Circle-nya Simon Sinek yang mengungkapkan tahapan-tahapan Why-How-What. Analogi Banfield sesungguhnya merujuk pada pentingnya kita mengemukakan Why hingga seseorang tau mengapa Ia perlu menginisiasinya atau memulai sesuatu dengan mengetahaui kenapa hingga tumbuh pula energinya.

“Detail is important, but the big picture is what counts” Menyampaikan “resepnya” ketimbang “kuenya” pada pelanggan bisa bermula dengan menjelaskan dari Big Picture & kita mau kemana? Hal ini sering terlewati karena langsung terjerembab pada What, langsung menikmati “kue”nya.

Mengapa Big Picture?
-Memungkinkan untuk melihat peluang
-Membawa Big Picture untuk dikomunikasikan pada tim
-Memperkuat alasan sebenarnya untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari

“Having a big-picture perspective can help you prioritize effectively, set better goals & improve time management. By developing a complete perspective of a situation, making decisions that drive long-term results, which can help you advance in achieving your goals”

Hari ini,di Unsoed Purwokerto, saya menemani kawan-kawan bergagasan mencipta kurikulum transformatif. Melahirkan proses pembelajaran yang kaya. Biasanya lokakarya semacam ini langsung pada barangnya berupa kurikulum, namun kami biasa membawa kawan-kawan membaca gambar besarnya, menggambarkan masa depan & kesenjangannya dalam mencapainya.

Mendahuluinya dengan memberikan Big Picture memungkinkan mendapatkan cakrawala lebih luas & dalam prosesnya membantu pembelajar menemukan alasan positif untuk mulai mencari dan menginisiasi. Itu mengapa memberikan resep jadi penting, karena pembelajar mampu meracik kuenya yang kontekstual pada diri & lingkungannya. Tidak dapat kue yang sama untuk semua 🙂

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Ekosistem ini bagi kami adalah tempat yang menyenangkan berbicara terkait mimpi, salah satu perangkat membumikan gagasan adalah Design Thinking (DT).

Jauh sebelum mengenal DT, saya diajarkan terkait Visioning sebagai tahapan penting dalam melakukan sesuatu. Kala itu Dosen pembibing saya di Teknik Industri ITB, tahun 2004 Bapak Gatot Yudoko mengemukakan betapa pentingnya kekuatan Visi dari sebuah kebijakan yang ingin dilaksanakan.

Seiring waktu, mengenal DT yang berorientasi user & diperuntukkan bagi pengembangan produk. Sejalan dengan itu, justru saya sering kali dipertemukan dengan cita-cita masa depan yang sukar bagi orang-orang lain membayangkannya.

Vision First-Design Thinking, ternyata membantu membumikan imajinasi agar bisa masuk akal. Hal ini juga dilakukan banyak StartUp teknologi seperti iPhone yang mengenalkan cara baru berkomunikasi, Uber dengan cara baru betransportasi, atau Tesla yang menginspirasi solusi energi dari science-fiction.

Dengan memvisualisasikan mimpi masa depan kemudian memvalidasinya dengan temuan-temuan baru, sebuah tim dapat meracik sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Hal ini secara pribadi sering kali kami lakukan terutama dalam meracik kurikulum-kurikulum pendidikan atau produk bagi proses transformasi organisasi.

Sangat menarik kemudian membicarakan Vision First – Design Thinking, agak beda dengan yang biasa kita lakukan dengan pendekatan User First – Design Thinking. Kira-kira begini urutannya;

1. Petakan Big Picture-nya.
2. Petakan masalah yang menjadi kendala dalam mewujudkan mimpi tsb.
3. Cari ragam potensi solusi dengan membuka peluang secara divergen.
4. Racik gagasan dalam produk solusi dan mengujicobanya (MVP).
5. Uji berulang hingga mencapai outcomesnya
6. Validasi bersama konsumennya apa memecahkan masalahnya.
7. Pastikan struktur tim cross-functional collaboration
8. Buat peta jalan, untuk menunjukkan skala ekonominya
9. Rawat dengan umpan balik & skilus ujinya.

Tahapan ini perlu kaya dengan komunikasi & perbincangan tim dengan konsumennya. “Without those conversations, they are designing in a bubble”-Banfield, 2017.

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Design Thinking : Mengapa Penting?

Design Thinking (DT) merupakan strategi berpikir kreatif,digunakan dalam proses merancang solusi. Saat ini digunakan oleh lebih banyak orang untuk menyelesaikan masalah dalam bisnis atau sosial.

Selama ini, kekhawatiran yang muncul karena DT lebih disukai teorinya ketimbang prakteknya. Makanya muncul istilah daripada “Design Thinking” mending “Design Action”! Hal ini karena sebagian besar kelompok yang melakukan DT memusatkan semua perhatian dengan “memikirkannya”, tapi sayangnya “berpikir” tak secara alamiah mengarahkan manusia ke bagian “doing”. Untuk mendapatkan hasil praktis dari DT, kita perlu menyeimbangkan proses berpikir & melakukannya.

DT digunakan di awal pekerjaan, masalahnya kemudian adalah terlalu banyak orang menggunakannya dengan harapan mendapatkan solusinya ke pasar, tetapi ternyata tidak. Padahal menghubungkan prinsip-prinsip DT dengan hasil praktis sesungguhnya sangat sederhana, tapi melibatkan proses bicara & komunikasi intensif dimana sebagian besar kesulitan melakukannya.

Pada dasarnya DT adalah perpanjangan metode ilmiah. Mengarah pada menemukan solusi dimulai pengamatan, membuat hipotesis & menguji validitasnya. Hasilnya menghasilkan teori untuk mencerminkan kenyataan yang jadi dasar untuk hampir semua penemuan ilmiah. Prosesnya tidak mengubah validasi jadi solusi praktis, justru DT meminjam dari ketelitian ilmiah tsb & memberi cara yang andal untuk beralih dari konsep yang belum terbukti ke solusi tervalidasi.

Oleh karena itu mengapa DT baik bagi pemecahan masalah. Secara organisasi pun membuat tim lebih matang, bekerja secara inklusif dalam tahapan sprint hingga akhirnya tidak hanya melahirkan artefak berupa luaran, tapi juga outcomes yang bermanfaat & memberikan pelanggannya nilai pembeda yang berharga.

DT layaknya seperti resep. Berisi panduan apa saja yang perlu dilakukan, bukan hasilnya. Resep ini berisi instruksi untuk menghasilkan outcomes & mengiterasinya. Ada analogi bagus dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Era Vuca atau Bani saat ini saat banyak keadaan makin cepat, tak jelas, kompleks dan ambigu. Jadi belajar banyak di era pandemik ini saat perubahan dilakukan diatas perubahan menjadi kebiasaan baru. Beberapa hal juga berubah, cara bekerja dan segala sesuatu terkaitnya berubah total. Coba deh DURT, frameworknya Jon Mertz di tahun 2014.
Direct, Understandable, Reliable, and Trustworthy

Be Direct.
Langsung dan berterusterang dalam situasi yang kompleks menjadi cara yang ampuh untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dalam situasi yang kompleks. Informasi dalam komunikasi yang transparan serta membangun mutual trust / rasa saling percaya dan membagun upaya yang kolaboratif. Ingat kata kuncinya, transparan, saling percaya dan upaya kolaboratif. Semuanya yaa bukan satu-satu 🙂

Be Understandable
Situasi yang ambigu, memang sangat banyak dimungkinkan untuk terjadi saat ini dan kedepan. Menjadi jelas itu adalah sesuatu yang penting, namun bukan jelas caranya ya, tapi jelas tujuanya, jelas purposenya. Karena cara justru senantiasa berubah, hingga dimungkinkan membuka inisiatif dengan cara-cara baru. Kejelasan akan purpose, arah, peran dan tanggung jawab akan memberdayakan setiap indvidu didalamya.
JIka tak paham, ruang gagasan yang frekwentif menjadi wadah baik mematangkan tim dengan pemahaman-pemahaman baru yang kompleks.

Be Reliable
Era yang serba cepat, menjadi reliable adalah sebuah tantangan lain. Ikuti sesuatu yang dikatakan dan disepakati, pegang nilai-nilai dasarnya akan mempercepat momentum positf untuk tumbuh. Situasi cepat menghadirkan kesempatan untuk belajar banyak, belajar banyak artinya mengalami kegagalan yang banyak pula yaa! Hanya jangan gagal pada lubang yang sama, kesalahanpun bisa belajar dari orang lain 🙂

Be Trustworthy
Dapat dipercaya di era yang tak jelas adalah hal penting. Bersandar pada nilai-nilai yang disepakati. Investasi pada manusia, memelihara tim agar tetap enggaged berpadu dan kompak, melibatkan mitra dan tetap mau belajar untuk mau memahami hal-hal baru hingga bertindak dengan tindakan yang saling menghargai.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Paradigma baru di era digital memang kerap kali membawa pada beragam kejutan yang luar biasa. Salah-satunya adalah semakin beragamnya bentuk-bentuk kolaborasi yang tumbuh, karena diera ini keterhubungan menjadi aspek paling berpengaruh terhadap sesuatu yang sebelumnya belum bisa terjadi.

Sifat dan kemampuan kolaborasi semakin menjadi-menjadi. Teknologi media sosial serta kecanggihan desain yang semakin tinggi ketika Ia dapat menarasikan secara tepat apa yang dibayangkan yang semula masih ide-ide dikepala, tersampaikan gagasannya pada banyak orang secara baik tervisualiasikan serta tersampaikan masif dengan media digital ke banyak pihak. Menyebabkan ide-ide gila yang sebelumnya sulit dinampakkan, digambarkan dan diwujudkan jadi lebih mudah terealisasikan!

Kolaborasi dulu hanya sebatas dua dimensi, menggabungkan satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu dimensi yang sama, misal; satu dua produk yang saling komplementer, satu dua organisasi yang saling melengkapi dalam rantai nilai atau pasoknya, atau satu atau dua hal yang secara logika tradisional tak mungkin dirangkai.

Era digital membuat ide gila muncul justru dari kolaborasi yang semakin multi dimensi, hal-hal yang dulu tak mungkin bersatu justru kini dinantikan bentuk-bentuk barunya. Meski dulu bisa jadi tabu, tak mungkin atau bahkan tak ada pasarnya. Salah satu contoh kolaborasi yang unik dilakukan Burgreens dan Green Rebel  @greenrebelfoods misalnya, sekarang usaha ini mendunia dengan Green Rebel, coba liat model bisnisnya deh.

Kolaborasinya unik sekali bersama bisnis lainnya. Mereka tidak membuat toko, mereka titipkan menunya pada banyak bisnis lain, termasuk di resto saingannya. Proses kolaborasinya ngga terbayangkan sebelumnya. Keren! Sebelumnya mereka mengembangkan Burgreens yang sukses mengenalkan flexitarian (flexible vegetarian) yang mengajak #TryVegan dengan #OneVeganMealADay buat kamu yang masih setengah-setengah jadi vegan. Uniknya, value ini justru jadi peluang kolaborasi dengan mitra lain yang justru tak menjadikan vegetarian jadi jualannya. Kolaborasi yang keren!

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Momentum yang “Life Changing”

Sepanjang perjalanan pulang bersama salah satu mahasiswa bimbingan bercerita panjang tentang kemana nanti kita setelah lulus?

Percakapan ini dimulai dengan begitu lazimnya menemukan lulusan-lulusan yang bingung setelah lulus, semestinya ini tak terjadi. Pasti ada sesuatu yang belum berhasil dalam proses pendidikannya, proses menemukan dirinya. Pendidikan memang kerap kali terperosok pada substansi yang tak kontekstual, prosesnya dipercepat untuk sekedar bisa, tanpa paham maksud, tujuan apalagi filosofinya. Membuat proses pendidikan jadi kehilangan makna, berakibat tak tumbuhnya energi yang membuncah dari dalam dirinya untuk mengaplikasikan ilmunya.

Kebingungan pasca kuliah kerap terjadi karena sepanjang pendidikannya, prosesnya tak kunjung mengerucut pada penemuan dirinya. Prosesnya jadi untaian kewajiban menuntaskan, hingga lupa menumbuhkan rasa cinta & maknanya. Tak heran kemudian mereka lulus & meninggalkan bidang yang dipelajarinya.

Lulus dengan keyakinan tujuan hidup yang jelas, adalah sebuah parameter penting sebuah pendidikan yang berhasil. Mahasiswa perlu makin yakin tentang arah tujuannya kelak. Seiring semakin menuanya mereka dikampus. “Tujuan” jadi penting ketimbang memilih “kamu mau jadi apa?”. “Menjadi sesuatu” adalah kendaraannya, jika meminjam istilah Comic Pandji, kamu boleh gonta-ganti angkotnya, asal kamu tau tujuannya. Saat ini yang terjadi kita jadi disibukkan mencari angkotnya, tanpa tau tujuannya.

Perjalanan pendidikan hendaknya jadi momentum yang “life changing” menjadikan dirinya individu baru. Proses empat tahun perlu benar-benar by-design menjadikan individu-individunya bertransformasi, bukan sekedar tergesa menghabiskan SKS.

Sore tadi, bersama 90an Dosen, mengingatkan kembali, bahwa kampus bukan hanya berkewajiban memberikan kredit semesternya, tapi juga menumbuhkan ekosistemnya yang hidup & positif. Membawa gairah pembaruan, inovasi & keberanian bereksperimen untuk melakukan beragam eksplorasi. Keberhasilan setiap individu memang adalah hasil yang dirancang dengan kesungguhan untuk melahirkan banyak individu berdampak kelak. Sudah sejauh mana kamu merasa bahwa kampus kamu benar-benar jadi wadah yang “life changing”?

Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita chaos

Era VUCA atau BANI, satu kata yang menggambarkannya “Ruwet”. Kata ini muncul dalam diskusi kami kemarin, hingga era ini memang sangat fundamental untuk memahaminya dengan cara berpikir yang baru dan relevan terhadap perkembangan yang serba cepat. Berubah menjadi ruwet ya memang karena konstelasi proses, sistem dan mekanisme menjadi baru yang tak bisa dipahami dengan paradigma tradisional.

Menjadi Agile, sebuah terminonologi yang sedang sering terkemukakan, namun memaknainya memang menantang. Apalagi jika populasi masyarakatnya mayoritas masih terkungkung dalam pola pikir tradisional yang menuntut berbagai kejelasan pada setiap langkah yang Ia ingin jalankan. Hal ini timbul karena memang Ia terbiasa dengan proses bisnis lama dan mendarah daging dalam kehidupannya dan membentuk pola pikirnya saat ini.

Era dimasa pandemik melandai ini juga menjadi penanda makin jelasnya sesuatu yang unclear atau tak jelas semakin banyak ditemui diberbagai ruang kehidupan, hingga hal ini membawa pada prasyarat yang juga tak jelas. Sementara masyarakat masih nyaman dengan sesuatu hal yang pasti dan jelas.

Menjadi Agile, tak lagi membawa pada hal-hal yang pasti dan jelas yang dapat dideskripsikan. Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita Chaos. Mengupayakannya untuk mengeksplorasi ruang antara clear dan unclear, antara simple dan chaotic, antara kompleksitas dan simplisitas. Memastikan outcomes dan dampaknya terwujud.

Dalam mencapai tujuan, maka ada upaya yang kompleks & unik dimana tak ada satu ukuran yang cocok untuk semua pendekatan, hingga dalam menyelesaikannya kita perlu menyesuaikan metodologi pada setiap tujuan yang berbeda.

Coba petakan permasalahan dan kondisinya, matriks Stacey ini mungkin bisa membantu kamu dimana kita menggunakan pendekatan Agile atau Waterfall. Petakan lagi kondisi, prasayarat dan kaitannya dengan teknologi. Ada dimana mereka. Agile memang berada pada kompleks, maka jalan bersolusinya adalah dengan ko-kreasi, bergagasan yang kolaboratif, visioning, eksplorasi, pengembangan yang iteratif hingga knowledge management.

Bereksplorasilah hingga kamu lebih dekat dengan tujuan!