How to Develop an Agile Team

Seseorang berkata; “Ah Agile! Ngga mungkin kalo leadernya ga Agile!” Pernyataan ini benar, memang “Agile comes from the top” Pe-ernya adalah bagaimana sebenarnya membangun & menerapkannya ke dalam budaya. Kunci sukses terletak pada pada kapasitas tim yang self-coordinating.

Menjadi “self-coordinating team” memang penting, tapi kabar buruknya, memang ga gampang, tapi sangat mungkin diwujudkan!
Tim yang Agile secara kolektif memikul tanggung jawab penuh atas kesuksesan memberikan hasil, bersifat multifungsi, paham bahwa tim ini akan bekerja secara kolaboratif, kohesif & bekomitmen sepanjang proyeknya.

Ada di tiga tingkat menurut Cooplexity Model dari Ricardo Zamora
1.Individu; sikap & bakat.
2.Lelompok; komitmen & keselarasan.
3.Organisasi; perubahan budaya.

Faktor kunci memfasilitasi integrasi & perubahan budaya adalah memecah silo, meningkatkan koordinasi antar & intra-tim, menyelaraskan tujuan, memfokuskan organisasi pada tujuan dengan cara;

1. Tujuan; Innovation & Efficiency.
Keberhasilan dalam dunia yang berubah-ubah artinya adalah beradaptasi dengan berinovasi & melakukan hal-hal baru dengan lebih efisien pada hal-hal yang sama kala sumberdaya menipis.

2. Kunci: Communication & Knowledge.
Memahami dengan proses interaktif dalam membangun realita yang baru. Pengetahuan dibangun melalui pengalaman & interaksinya.

3. Energi: Entrepreneurship & Proactivity.
Di era ketidakpastian, memang lebih beresiko jika tak melakukan apa-apa dari pada melangkah walau salah arah. Proaktivitas, adalah inisiatif & eskperimen yang akan menjaga pergerakan untuk terus beradaptasi.

4. Magnet: Teamwork & Commitment.
Proses keseluruhan dari penyelarasan tujuan bisnis diraih dari hasilnya dengan memastikan keterlibatan & fokus pada priorotas utama.

5. Pendekatan: Distributed Leadership & Coordination.
Kepemimpinan yang terdistribusi penting untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk munculnya desentralisasi self-coordination & koordinasi spontan

6. Kerangka Kerja: Complexity & Uncertainty. Masyarakat global yang saling terhubung jadi saling ketergantungan, hingga masalah mengelola kompleksitas menjadi perhatian utama.

Gimana tim kamu siap?🚀

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan

Jangan lupa, bahwa saat ini ga cuma model bisnis yang membuat sebuah organisasi menjadi pemenang dalam bidangnya. Atau bahkan kita perlu mendefinisikan kemenangan itu sendiri.

Model bisnis yang baik saat ini adalah yang mempu menginisasi ekosistemnya menjadi sebuah wadah dimana ia berakselerasi mencapai tujuannya. Nah, tujuan inilah yang menjadi kriteria kesuksesan, tidak lagi bermuara pada besaran, kecepatan / bahkan keunggulan. Kemenangan perlu didefinisikan sudah sejauh mana kita langkah mendekat pada tujuannya.

Setiap model bisnis organisasi memiliki tujuan masing-masing, namun dalam prakteknya setiap bisnis punya irisannya hingga membentuk ekosistem yang mewadahinya melakukan percepatan pencapaian tujuannya.

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan. Bahkan perusahaan besar dalam proses transformasinya Ia bergeser untuk menjadi pemberdaya bagi ekosistemnya, hingga Ia justru menjadi hub-nya. Contohnya, perusahaan listrik di Eropa misalnya, Ia tak lagi berlomba menjadi penghasil listrik. Tapi meng-engcourage masyarakat menghasilkan listrik paling ramah lingkungan & Ia menggeser kedudukannnya sebagai penghasil menjadi hub, orkesreator ekosistemnya menjadi inklusif.

Dalam ekosistem, memang perlu dibangun kesepahaman, ada nilai yang dibagi bersama. Peneliti Universitas Islam Azad Aghajani Hashjeen, dkk., menuliskan bahwa kreativitas & inovasi akan sangat bergantung pada struktur organisasinya.

1. Makin fleksibel suatu organisasi & makin bergerak menuju struktur organik, semakin banyak kreativitas yang dipupuk (& sebaliknya).
2. Makin formal suatu organisasi (penekanan pada aturan), makin banyak kreativitas terkubur
3. Makin kompleks organisasi, semakin tidak kreatif.
4. Semakin terpusat suatu oxrganisasi, semakin berkurang kreativitasnya.

Usaha-usaha yang agile, membentuk ekosistem & mengarah pada semakin banyaknya kreatifitas, makin inovatif meski mereka punya tujuan berbeda. Jangan lupa libatkan masyarakat. karena konsep shared value akan menghubungkan kesuksesan organisasi dengan keberhasilan masyarakat & mendorong gelombang inovasi sosial baru secara masif jadi titik temu orientasi bisnis & sosial.

Membangun Tim yang Adaptif

Membangun tim yang adaptif menjadi prasyarat usaha yang baik, apalagi diera digital saat ini menuntut tim bergerak cepat dan melakukan beragam trial & error untuk menemukan momentum disruptifnya kelak.

Tim yang layak, minimum memenuhi kriteria sebagai Minimum Viable Team, berikut :
1. Tujuan bersama (Common purpose )
Founders Fit & Shared Vision yang kuat. Visi bersama adalah perekat tim. Disinilah semuanya dimulai. Perlu sadar penuh Big Why, mengapa tim ini dibentuk sejak awal? Mau kemana bertujuan apa?
Tujuan-tujuan ini tidak selalu harus mudah. Bahkan lebih baik untuk membuat tujuan yang menantang, jauh & mengundang imajinasi. Tim perlu mendapatkan energi dari visi & purposenya yang BHAG! (Big Hairy Audacious Goal)

2. Peran yang Jelas (Clear roles)
Siapa yang memainkan peran apa dalam tim? Tim perlu memikirkan semua hal yang diperlukan untuk membuatnya sukses menjadi outcomes bersama. Kita bisa membagi peran menjadi Hacker (substansi teknologi), Hustler (Pemasaran) & Hipster (Kreatif) misalnya. Tetapkan tanggung jawab setiap peran sejelas mungkin.

3. Jumlah minimum karyawan
memang sebaiknya tidak kurang dari 3 anggota. Pastikan perannya terbagi dan saling mengisi. Masing-masing individu memastikan berkomunikasi dan bekerja dengan selaras bahwa setiap inisiatifnya menuju pada goals yang disepakati.

4. Kepribadian yang seimbang (Balanced personalities)
Ngga cuma tentang peranan, tapi ternyata personality individu didalamnya pun perlu keseimbangan kepribadian yang tepat. Ini juga penting untuk saling mengisi & saling melengkapi tim. Dari perbedaan ini kemudian diikat dengan Chemistry Team-nya, maka dalam timnya akan dibutuhkan personality sebagai 1) Pioneers, 2) Drivers, 3) Integrators dan 4) Guardians. ini ‘dijelaskan dalam konsep Beblin Team agar memiliki tim yang seimbang.

5. Tujuan Terukur (Measurable Objectives)
Kita memiliki tujuan dan/atau tujuan bersama. Tim perlu lengkap dan dijaga untuk mencapai tujuannya dengan cara terbaik. Jangan lupa mengukurnya, jika tak mengukurnya, satu saat akan bergerak justru menjauhi tujuan. Cara paling terkenal mengukur kesuksesan adalah menggunakan metode OKR (Objective Key Result).

Nah bagaimana tim kamu?

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal

Masih tentang Collective Genius. Membangun tim apalagi ekosistem memang menjadi penting untuk membinanya melalui proses yang memiliki proses yang mewadahinya bagi tempat tumbuhnya sense of purpose, shared value dan rules of engagement-nya. 

1. Purpose, mengapa kami hadir.
2.Shared Value, apa yang disepakati adalah hal penting
3.Rules of Engagement. Bagaimana kita bisa berinteraksi satu sama lainnya terkait masalah.

Seiring dengan itu, ekosistem ini akan sangat efektif dan melompat jika didorong untuk melakukan lompatan. Komunitas sangat bisa menumbuhkan kapabilitas inovasinya, bagaimana caranya? Linda Hill, mengungkapkan tiga hal penting membangun kapabilitas ekososistem Collective Genius;

1. Torehkan kreativitasnya (Creative Abrasion), kemampuan membangkitkan gagasan melalui berbagai diskursus dan perdebatannya. Apalagi jika kemudian Ia membangun kapabilitas inovasinya. Konflik ada dinamika, selesaikan dengan gagasan-gagasan gila yang sehat.

2. Tingkatkan ketangkasan kreativitasnya (Creative Agility) dimana mulai dibangun kekuatannya untuk melalukan eksperimen yang menghasilkan dengan cepat, merefleksikan kemudian memperbaikinya (Design Thinking)

3. Resolusi Kreatif. Kapabilitas untuk memiliki pengambilan keputusan yang integratif, yang menggabung-gabungkan gagasan dengan beragam cara serta memperluas perspektifnya hingga ia justru saling memperkaya.

Ketiga aspek ini penting dibangun untuk melakukan berbagai lompatan, dilakukan dengan serius dan konsisten. Jika ketiga hal ini dijalankan dengan konsisten, dengan innovative leadership yang sungguh-sungguh! Tak diragukan bahwa bersatu padu membangun kapasitas menjadi sebuah Collective Genius! 

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal. Culture, adalah minat yang kuat dalam melakukan upaya keras dan mengarah pada inovasi. Capabilities adalah kemampuan yang dimilikinya hingga Leadership terkait seni dan prakteknya dalam mencipta ragam inovasinya.

Selamat meracik Culture, Capabilities, Leadership di ekosistem kamu!

Melompat!

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift!

Perubahan dilakukan diatas perubahan, sebuah ungkapan yang tak lagi bisa dielakkan. Berbeda dengan masa lalu bahwa sering kali kita banyak mempersiapkan segala sesuatunya hingga sempurna kemudian mulai melangkah.

Era perubahan saat ini tak lagi cukup waktu untuk melakukannya secara serial, satu persatu karena momentum perubahan begitu cepat hingga diperlukan strategi berbeda. Apalagi saat ini cara kerja, tata kerja & bagaimana mengelola organisasi menjadi sangat berbeda. Karena model bisnis dan proses bisnisnya sangat jauh berbeda dengan kehadiran teknologi informasi dan digitalisasi yang makin kencang, menjadi sangat penting melakukan proses transformasi budaya.

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift, perlu merancang tangga perubahan yang terukur, membuat organisasi menjadi semakin lincah, matang dan pada setiap masanya akan semakin akseleratif. Setiap proejct atau program yang dilakukan idealnya akan membuat organisasi menjadi lebih paham dan lebih baik, selangkah lebih maju pada proses transformasinya.

Cultural shift menghasilkan layaknya gunung es yang membesar, semakin stabil. Semakin baik produk yang dihasilkan, semakin baik pula organisasinya, menyeimbangkan proses yang holistik, bahwa setiap perjalanan project membuahkan proses Cultural shift  semakin baik.

Untuk itu dalam memastikan proses transformasi, pendekatan & kerangka kerja yang digunakan pada setiap project perlu dipastikan relevan dengan zaman, memastikan proses pemberdayaan berjalan. Pendekatan masa lalu yang hierarkis misalnya, tak relevan lagi untuk melakukan Cultural shift karena perubahan tak tersebar pada semua lini organisasi, kunci inovasi hanya berada pada satu titik teratas, pimpinan. Pastikan kerangka kerja yang baik mampu secara perlahan membuat organisasi bergeser dari profit ke purpose, hierarki ke network, controlling ke empowering, planning ke eksperimentasi serta dari privasi ke transparansi.

Cultural shift adl sebuah proses, memulainya sesegera mungkin akan menjadi lebih baik ketimbang selalu merasa percaya diri atas keunggulannya saat ini sedangkan pihak lain berproses membenahinya sedikit demi sedikit, kemudian menemukan momentumnya & melesat🚀🚀

Culture Shifting

Perubahan adalah hal yang paling penting dilakukan organisasi-organisasi yang ingin tetap adaptif, tak bisa dipungkiri perubahan adalah keniscayaan.

Di perubahan era ini tak lagi kita bisa melakukannya secara serial, tapi secara paralel bagaimana organisasi bisa menjadi tangkas? Cultural Shift selalu menjadi isu penting dalam mengubah budaya jadi lebih baik. Kerap organisasi melakukan proses perubahannya dengan memperbanyak pelatihan, sosialisasi atau dengan beragam media yang Ia gunakan untuk melakukan propaganda perubahan budayanya.

Tak bisa tiba-tiba sebuah organisasi yang mengidamkan Cultural Shift dalam waktu singkat. Apa media terbaik untuk mengakselerasi perubahan? Tidak lain adalah dengan menjadikan organisasinya sebagai organisasi pembelajar. Cara-cara baru dilakukan melalui kegiatan-kegiatan nyata, proyek-proyek nyata yang semakin baik & semakin baik lagi.

Setiap kegiatan menjadi media belajar untuk menjadi makin baik dari segi produk dan manajemennya, begitu juga dengan organisasinya.

Jika pada setiap kegiatan kita merasakan selalu bermula dari nol, maka aktivitas & kegiatan yang telah terjadi bukan hanya tidak jadi bahan belajar serta produk yang tak sukses. Sesungguhnya yang menderita adalah organisasinya, menjadi lelah karena setiap pembelajaran tak terinstitusionalkan, pun jadi melelahkan tak berprogres.

Pastikan tiap project jadi wadah belajar, tersedia artefak, dibagi pengalamannya hingga dihindari kesalahan lalunya. Hingga membuahkan organisasi yang berhasil melalui Culture Shiftnya.

Tak ada yang instan, yang ada adalah proses yang terakselerasi dengan baik &bertahap. Komitmen kuat jadi fundamental tiap anggota untuk melakukan proses perbaikan terus menerus serta proses eksperimental terukur & dilakukan terus menerus.

Salah satu yang direkomendasikan untuk melakukan Culture Shifting dengan pendekatan proyek adalah dengan kerangka kerja Scrum.

Scrum sangat menekankan lingkungan kerja yang safe-to-fail karena inovasi berawal dari orang-orang yang tak takut untuk terus menerus belajar & mencoba hal yang baru. Sangat cocok untuk organisasi yang rendah-hati untuk terus belajar & menekankan budaya continuous learning mengedepankan inovasi.

Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar

Melesatkan kembali kapal oleng adalah pembelajaran mahal, namun prosesnya memunculkan banyak hal baru yang justru semakin dicintai karena prosesnya membuahkan banyak hal yang beyond! Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar.

Perjalanan bersama tim menuju Jakarta hari ini mengemukakan dinamika dalam sebuah organisasi adalah hal penting. Justru jika organisasi terasa dingin dan senyap bisa jadi Ia dalam keadaan genting, karena tak ada lagi yang perlu digagas dan dituju. Hipotesa yang menarik!

Dalam perjalanan membuahkan kebaruan kegagalan-kegagalan sudah pasti perlu dilewati, menjadikannya lesson learn berharga. Lihat saja usaha sekelas Google, begitu banyak kegagalan sebelum sebuah produk meluncur sukses. Hanya saja aktivitas mencari kesalahan itu mereka namai sebagai eksperimen.

Eksperimen tak mencari keberhasilan, juga tak mencari keberhasilan, Ia menuntun pada sesuatu yang baru, persistensi pengulangannya membuat hal menjadi beyond & luar biasa!

Eksperimen yang semakin terpola, mengarahkan pada “creative confidence” yang membesar. Jadi teringat kisah Thomas Alva Edison yang diundang berbicara dalam pertemuan para ilmuwan & bangsawan Inggirs, ia mendapat sindiran;

“Hai Thomas ku dengar engkau gagal sampai 1448 kali dalam mengadakan uji coba menemukan bola lampu listrik ya?” Tanya seorang bangsawan

“Tuan maaf saya tak pernah gagal ,saya hanya menemukan cara yang tak bisa menbuat bola lampu menyala lewat listrik sebanyak 1448 kali & hingga kali ke 1449 kali saya temukan cara untuk menyalakan bola lampu dengan listrik”

Dalam konsep inovasi, Alex Osterwalder menjelaskan untuk mendapatkan satu inovasi, ada explorasi yang intens dilakukan dibaliknya dalam jumlah yanh banyak. Bukan gagal, tapi eksperimen yang mendatangkan pembelajaran hingga hadir kesempurnaan inovasi yang semakin baik dan semakin baik lagi. Proses ini tak akan berakhir, ujungnya adalah keberlanjutan yang terpelihara.

Selamat bereksplorasi!

Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lain

Gagal paham lintas generasi, kerap terjadi karena era digital begitu cepat mengubah landscape kehidupan.  Setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya, apalagi di era ini dimana ledakan ketidaksepahaman sering terjadi dan menguras energi.

Dalam sesi diskusi hari ini bersama kawan-kawan calon-calon pemimpin sebuah BUMN, mengulas bagaimana organisasi kita sebaiknya menjadi wadah berpadunya perbedaan. Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lainnya. 

Golongan senior tentu membawa nilai-nilai berbeda, idealnya juga ia membawa big picture yang lebih kayak karena dengan pengalamannya Ia memiliki pemahaman tidak semata-mata di permukaan, tapi Ia bisa melihat yang tak tersembunyi dibawah permukaan sehingga ia kerap mengernyitkan dahinya jika Ia menemukan hal-hal yang tak sesuai dengannya.

Disisi lain adalah terkait generasi kekinian yang paham konteks kekinian, paham cara deliver yang paling pas dengan penguasaan teknologinya membawanya menguasai kebaruan-kebaruan andal yang bisa dijadikan alat kemajuan. 

Transformasi yang sering dilewati untuk beradaptasi dengan perubahan justru terletak pada wadahnya, karena wadah organisasi muncul tak berwujud fisik, tapi nyawa yang hadir di dalamnya. Kedua generasi ini perlu mencairkan diri bersama dalam melting pot yang sehat. Mencipta ruang-ruang diskusi yang penuh dengan ritual kreativitas yang inklusif, mewadahi berbagai ide dan tidak hadir sebagai blockers. 

Keterbukaan, umpan balik, perbaikan berkelanjutan menjadi penting. Dalam setiap fasenya memastikan keterlibatan juga sering kali menjadi kendala, membangunnya menjadi nyata adalah proses tumbuh. Artinya tak tiba-tiba ada, ada siklus berulang yang semakin baik dan matang.

Keterlibatan setiap pihak menjadi penting, menumbuhkannya menjadi semangat kepemilikan bersama. Melting pot ini menjadi wadah meluruhnya kesenjangan generasi, melakukan proses transformasi yang baik, melahirkan wadah yang transformatif membuka pintu-pintu perubahan dan melompatkan pada keberhasilan dimasa datang. Melting pot ini menjadi tempat-tempat gagasan didiskusikan, diracik dan dieksekusi hingga menjadi dampak yang terjaga keberlanjutannya.

Mengapa Sekolah itu Penting?

Seorang kolega bertemu dan berdiskusi tentang mengapa sekolah itu penting. Seperti sudah umum dialami oleh setiap pengajar, terlebih dosen, melanjutkan sekolah ke jenjang tertinggi adalah sebuah kewajiban. Hanya saja setiap individu yang memulainya memang memiliki latar belakang yang berbeda.

Kerap kali ditemui memulai sekolah lagi adalah karena sudah usianya yang mendekati tenggat waktu, atau karena kewajiban yang tak bisa dielakkan, untuk bekal naik pangkat atau agar kemudian bisa mencapai jabatan tertinggi sebagai Guru Besar nantinya. Lalu apa sebenarnya alasan kita melanjutkan sekolah? Sama seperti yang ditanyakan kolega saya diatas?

Tentu Big Why bersekolah penting berupa sesuatu yang positif & membangun energi untuk belajar sepajang prosesnya & kemudian menjadi pembelajar sepanjang hayatnya. Sekolah pada dasarnya bukan saja tentang mendalami ilmu tertentu, tapi juga memberikan pemahaman berpikir yang lebih baik. Kualitas berpkir akan melahirkan kualitas hidup yang lebih baik.

Oleh karena itu, pastikan bahwa keputusan melanjutkannya adalah karena “the healthy urgency”, karena dalam prosesnya bukan tentang bagaimana mengakhirinya dengan cepat. Namun bagaima prosesnya bisa membangun kualitas berpikir yang baik, menjadikan kualitas hidup menjadi lebih baik karena kemampuan menerjemahkan keilmuannya dalam peranan hidupnya masing-masing & memiliki dampak bagi sekeliling.

Dilain pihak, memilih sekolah juga perlu jeli, karena bukan tentang gelar atau akreditasinya saja, tapi apakah lembaganya memiliki nilai-nilai pendidikan yang unggul, apakah menghubungkan dengan ekosistem untuk tumbuh kembang bersama, apakah terbuka dengan beragam perubahan, apakah dipastikan ketika lulus kelak jadi individu dengan memiliki kualitas berpkir lebih baik serta keleluasaan akses pada ekosistem yang sehat?

Apakah kemudian kita bertransformasi menjadi individu yang memaknai setiap proses belajar adalah untaian aktifitas yang mindful? Idealnya, gelar yang didapat tercermin dari sikap hidupnya sehari-hari.

Sekolah yang baik memberikan kita wadah bertransformasi dengan memperbesar peluang untuk memiliki kualitas hidup baik dari hasil pemikiran berkualitas. Bgmn dengan kamu?

Digital Mindset

Ada 2 kasus, katakanlah Ibu Rita & Ibu Nina. ibu Rita adalah contoh kasus yang sering kali viral karena Ia adalah pengguna aplikasi penjualan Oranye yang digunakannya berbelanja. Suatu saat Ia menggunakan COD & komplain pada kurir karena pesanan tak sesuai usai membukanya. Ia pun marah & mengembalikan barangnya pada kurir pengantar.

Kasus 2. Ibu Nina tak kunjung bisa menggunakan aplikasi taksi online. Ia meminta bantuan secara rutin pada anaknya untuk memesankannya, hingga Ibu Nina berhasil hingga tujuannya.

Kedua contoh diatas kerap kita temukan dalam keseharian, diantara ibu Rita & ibu Nina yang memiliki Digital Mindset yang baik? Contoh ini adalah contoh sederhana ketika sering kali kita menidentikkan transformasi digital dengan hanya fokus pada digitasi atau digitalisasi, atau kemampuan yang lebih jauh seperti coding atau programming. Padahal transformasi digital itu titik beratnya adalah pada penguasaan individu untuk memiliki pergeseran perilaku atas dasar memiliki Digital Mindset.

Dua komponen utama Digital Mindset, komponen kognitif & tindakan. Komponen kognitif mengacu pada pengetahuan & komponen tindakan terkait penerimaan atau penolakan serta penggunaan teknologi digital.

Keputusan tersebut didasarkan pada komponen kognitif yang dimiliki individu tentang teknologi digital. Di dalam digital mindset, faktor keyakinan jadi salah satu faktor yang membuat seseorang mampu & mau belajar teknologi baru.

Ciri utama digital mindset ialah fleksibilitas & kemampuan mengadopsi teknologi dengan beragam cara kolaboratif agar tujuannya tercapai.

Contoh ke dua, walau sang Ibu tak bisa menggunakan teknologi Ia mampu melakukan proses kolaborasi hingga Ia dapat mencapai tujuannya.Ia bisa dikatakan sukses di era digital, sesuai dengan semangat Digital Mindset yakni individu/kelompok yang dapat menjalankan hidupnya dengan baik di era digital.

Sedangkan Ibu Rita, kita tak perlu ikut-ikutan menghujat kegagal-pahamannya memahami dunia digital meski Ia bisa menggunakan aplikasinya. Tugas kita adalah menjadi fasilitator perubahan, hadir untuk menemani proses transformasi sekeliling hingga kita bersama dapat beriringan bersama mengarungi keberhasilan era digital.