ADKAR

Mengelola Perubahan Itu Tidak Mudah

Banyak organisasi terjebak dalam perubahan yang hanya bersifat sementara.
❌ Strategi diterapkan, tapi gagal bertahan.
❌ Resistensi muncul di setiap lini.
❌ Perubahan tidak memberikan dampak jangka panjang.

Apa yang Salah?
Seringkali, kegagalan bukan karena ide atau tujuan yang lemah, tapi karena strategi perubahan yang tidak terstruktur dan tidak berorientasi pada manusia.

Framework ADKAR hadir sebagai pendekatan strategis untuk memastikan perubahan:
✅ Lebih Mudah Diterima dan Dijalankan di seluruh organisasi.
✅ Mengurangi Resistensi dan meningkatkan keterlibatan tim.
✅ Berlangsung Lebih Lama dan menciptakan dampak yang berkelanjutan.

🔗 Pelajari lebih lanjut dalam eBook ADKAR dari The Local Enablers dan mulai bangun transformasi yang bertahan lama di organisasi Anda.

📥 Download sekarang melalui:
ebook.designthinkingacademy.id
atau
klik tautannya di bio kami!

Design Thinking Mencakup Apa Aja?

Pernah nggak merasa bahwa Design Thinking sering kali diajarkan sebagai proses tahap demi tahap yang kaku? Padahal, bukankah inovasi di dunia nyata justru penuh dengan eksperimen, iterasi, dan sering kali messy?

Kalo gitu, apakah kita perlu melihat Design Thinking bukan hanya sebagai framework, tapi sebagai mindset yang lebih adaptif dan kontekstual?

Kritik terhadap pendekatan linear dalam Design Thinking memang relevan, terutama ketika banyak orang hanya mengenal framework-nya sebagai proses tahap demi tahap yang kaku. Padahal, inti dari Design Thinking bukan hanya pada tahapan eksplisit seperti Empathize, Define, Ideate, Prototype, Test, tetapi lebih pada mindset yang adaptif, iteratif, dan berbasis eksplorasi.

Pendekatan yang biasa kami lakukan di @thelocalenablers ketimbang frameworknya justru lebih menekankan pemahaman akan non-linearity yang akan sangat menarik karena lebih sesuai dengan realitas inovasi. Proses inovasi memang sering kali tidak berjalan rapi atau mengikuti urutan tertentu. Justru, keberhasilan inovasi lebih banyak terjadi dalam lingkungan yang dinamis, penuh eksperimen, dan sering kali “messy.”

Poin tentang outcomes dan impact juga penting. Terlalu banyak yang fokus pada bagaimana menerapkan framework tanpa benar-benar memahami bagaimana ia menciptakan budaya inovasi. Padahal, yang lebih esensial adalah bagaimana mindset inovatif itu bisa diterapkan dalam berbagai konteks, mendorong agility, serta menghasilkan dampak nyata bagi organisasi atau ekosistem.

Kalau ada rencana untuk mendalami atau mendokumentasikan pendekatan ini lebih lanjut—mungkin dalam bentuk tulisan, workshop, atau konten digital—itu bisa jadi kontribusi penting dalam diskursus inovasi, terutama dalam mengedukasi bahwa Design Thinking bukan sekadar framework, tapi a way of thinking and doing innovation.🎉✨

Sertifikasi Design Thinking

🚀 Ciptakan Kebijakan Publik yang Lebih Inovatif, Kolaboratif, dan Berpusat pada Masyarakat! 🌍✨”

Apakah kebijakan publik saat ini sudah benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat? 🤔 Dengan Design Thinking, kita bisa merancang kebijakan yang lebih human-centered, berbasis data, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk solusi yang lebih inovatif dan berkelanjutan!

📍 Makassar | 19-20 Maret 2025
🎯 Untuk akademisi, pembuat kebijakan, birokrat, serta aktivis & LSM yang ingin menghadirkan perubahan nyata!

🔥 Daftar sekarang dan jadi bagian dari transformasi kebijakan publik! 🚀

Purpose Driven Innovation

“Mas, ini hand ilustration volunteer, merchandise nya dijual juga buat projek2 kebaikan” seorang sahabat memberikannya sebagai hadiah✨ istimewa sekali!

Kreativitas & ketaqwaan sering kali dianggap sebagai dua dunia yang berbeda—yang satu tentang kebebasan berekspresi, yang lain tentang ketundukan dan kesadaran spiritual. Namun, ketika keduanya bertemu, lahirlah sesuatu yang lebih bermakna: inovasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kebaikan, keberkahan, dan kemaslahatan.

Inovasi bukan cuma menciptakan sesuatu yang baru, tetapi juga memastikan bahwa yang diciptakan punya dampak positif & berkah buat banyak orang✨

Kreativitas yang berpijak pada nilai moral & etika tentu akan melahirkan solusi yang lebih dari sekadar produk atau layanan, tetapi juga jadi jawaban atas kebutuhan yang lebih besar—baik bagi manusia maupun lingkungan.

Dalam dunia bisnis, pendekatan ini melahirkan usaha yang ngga sekadar mengejar keuntungan materi, tetapi juga keberkahan. Sebuah usaha yang dijalankan dengan niat baik, integritas & kesadaran akan manfaatnya bagi banyak orang akan lebih kokoh, lebih bermakna & punya berdampak luas.

Dalam desain dan inovasi, pendekatan yang berpusat pada manusia jadi kunci untuk menciptakan solusi yang lebih bernilai.

Inovasi ngga lagi sekadar eksplorasi ide, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual—menghubungkan manusia dengan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kepedulian.

Kreativitas sering dikaitkan dengan kecerdasan intelektual, tetapi tanpa kebijaksanaan spiritual, ia bisa kehilangan arah. Ketajaman berpikir harus berjalan berdampingan dengan ketajaman hati nurani. Kreativitas yang dipandu oleh nilai-nilai ketaqwaan akan melahirkan keputusan yang lebih bijak, lebih manusiawi punya maknas dalam jangka panjang.

Ketika kreativitas bertemu dengan ketaqwaan, inovasi ga lagi sekadar tentang menemukan cara baru, tetapi juga tentang menghadirkan makna yang lebih dalam. Ia jadi ruang refleksi, jalan berbagi, dan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Karyanya bisa menggerakkan hati, menumbuhkan kesadaran & membawa kebaikan yang terus mengalir. Aamiin

Leader Ngga Punya Midsheet Design Thinking Nih

Dalam banyak sesi pelatihan Design Thinking, sering kali muncul pernyataan seperti, “Harusnya pimpinan saya yang ikut, karena beliau yang punya kewenangan!” Pernyataan ini mencerminkan anggapan bahwa kepemimpinan hanya terkait dengan jabatan tertentu. Padahal, kepemimpinan bukan sekadar soal hierarki, melainkan tentang bagaimana setiap individu mampu mengambil inisiatif, berempati, dan menggerakkan perubahan—itulah mengapa setiap orang adalah pemimpin.

Design Thinking bukan hanya alat inovasi, tetapi juga pendekatan kepemimpinan. Dengan prinsip dasarnya yang berfokus pada empati, kolaborasi, dan eksperimen, Design Thinking membentuk pemimpin yang lebih terbuka, adaptif, dan berorientasi pada solusi yang berdampak. Kepemimpinan dalam konteks ini tidak ditentukan oleh posisi, tetapi oleh cara seseorang berpikir, bertindak, dan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.

Bagi mereka yang saat ini berada dalam tim, kepemimpinan berarti memiliki kemampuan menerjemahkan kebijakan pimpinan ke dalam implementasi yang lebih relevan dan efektif. Dengan memahami prinsip Design Thinking, anggota tim tidak hanya menunggu arahan dari atas, tetapi juga proaktif dalam menjembatani visi strategis dengan realitas di lapangan. Mereka memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya dieksekusi, tetapi juga diperkaya dengan pendekatan yang berpusat pada kebutuhan pengguna atau pelanggan.

Pendekatan ini membentuk budaya everyday leaders—orang-orang yang tidak menunggu gelar atau jabatan untuk memimpin, tetapi berani mengambil peran dalam menciptakan perubahan, sekecil apa pun kontribusinya. Ketika pola pikir ini berkembang di seluruh organisasi, inovasi tidak lagi bergantung pada individu di puncak hierarki, melainkan menjadi energi kolektif yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan.

Maka, pertanyaan yang lebih relevan bukanlah, “Siapa yang seharusnya mengikuti pelatihan ini?” melainkan, “Bagaimana setiap individu dapat menerapkan pendekatan ini untuk memimpin perubahan dari posisinya masing-masing?”

Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang jabatan, tetapi tentang keberanian bertindak dan menciptakan dampak.

Sarnoff’s Law Vs Metcalve’s Law

Pernah ngga kamu ngalamin bimbingan sama Dosen yang isinya cuma nunggu giliran buat dapet jawaban dari dosen?

Udah datang, duduk, diem, terus nanya ke dosen aja dan nggak ada interaksi sama temen lain. Nah, jika semua orang cuma ngandalin satu sumber, ya wajar aja prosesnya jadi jadi lama dan nggak maksimal. Ini kayak Sarnoff’s Law, di mana nilai jaringan cuma sebanding dengan jumlah orang yang terhubung langsung ke satu pusat (dosen). Hasilnya? Belajar jadi antrian panjang yang bikin frustrasi. Dosennya juga jadi mumet (Curcol)

Padahal, kalau kita bisa memulai budaya untuk saling cerita, saling belajar, dan saling bantu, efeknya bisa jauh lebih besar! Bayangkan kalau mahasiswa bisa diskusi bareng, nyari solusi bareng, dan ngasih perspektif baru satu sama lain. Walau berbeda topik penelitian, berperilaku divergen dalam memperbaikinya. Hasil dari proses ini nggak lagi linear, tapi eksponensial (Metcalfe’s Law). Makin banyak yang aktif berkontribusi, makin kaya juga pembelajarannya, ya tiap orang jadi ikut pinter!

Dalam kasus ini, Dosen nggak perlu jadi satu-satunya sumber jawaban. Peran dosen berubah jadi orkestra yang mengarahkan, bukan jadi Google yang kasih jawaban instan. Mahasiswa bisa eksplorasi lebih luas, dapet lebih banyak sudut pandang, dan belajar dengan cara yang lebih seru.

Jadi, kenapa masih stuck di sistem ngantri bimbingan kalau bisa belajar dengan cara yang lebih powerful? Saatnya ubah pola pikir, bangun network effect, dan bikin pembelajaran bisa narik insight jauh lebih banyak!

Mengapa Pemilik Warung Lebih Layak Dibantu Daripada Warungnya

Simak deh ungkapan ini:
Saya mau bantu Warung Tegal memisahkan sampah,” lalu membawa 2 tempat sampah kuning & hijau. Tapi, masalah pemilahan sampah tetap tidak terselesaikan🥲

Membantu Warung Tegal adalah kesalahan dalam Design Thinking karena Warung Tegal adalah benda mati—tempat, fisik, atau sistem. Design Thinking berfokus pada manusia di balik masalah. Kalimat yang tepat adalah: “Saya mau bantu pemilik Warung Tegal.”

Dengan fokus ini, langkah berikutnya adalah berempati pada pemilik warung, individu yang menjalani rutinitas, menghadapi tantangan, dan memiliki kebiasaan tertentu. Mungkin pemilik merasa pemilahan sampah memakan waktu, merepotkan di tengah kesibukan, atau tidak memahami pentingnya pemilahan. Bisa jadi ada kendala lain, seperti tidak ada sistem pengangkutan sampah terpilah atau keterbatasan ruang yang membuat tempat sampah tambahan mempersempit area kerja.

Dengan berfokus pada pemilik warung, solusi tidak hanya sebatas menyediakan tempat sampah, tetapi juga memahami perilaku, motivasi, dan hambatan mereka. Solusinya bisa berupa edukasi, perubahan proses kerja yang lebih praktis, atau kemitraan dengan pengelola sampah terpilah.

Kalimat “Mau bantu siapa?” mencerminkan pola pikir Design Thinker sejati karena fokusnya pada orang yang dibantu. Ini selaras dengan prinsip User Centricity, di mana inovasi dimulai dari pemahaman mendalam tentang siapa pengguna atau orang yang menghadapi masalah. Pendekatan ini menempatkan empati di depan, mendorong pemahaman tentang kebutuhan, keinginan, dan tantangan pengguna sebelum mencari solusi.

Sebaliknya, pertanyaan “Mau dibantu apa?” menggeser fokus ke solusi yang mungkin tidak relevan dengan kebutuhan sebenarnya. Ini menunjukkan pendekatan reaktif dan solusi-sentris, bukan user-centric. Dengan langsung menanyakan “apa”, ada kecenderungan mengasumsikan masalah sudah jelas, padahal sering kali yang terlihat bukanlah akar masalah.

Inti Design Thinking adalah memahami bahwa inovasi bukan tentang menciptakan solusi canggih, tetapi membantu orang dengan cara yang bermakna dan relevan. Empati adalah langkah pertama yang krusial—tanpanya, solusi terasa dangkal dan tidak relevan, meskipun secara teknis benar🎉

Retrospective Canvas

Akuntabilitas vs Transparansi:
Mana yang Lebih Penting?

Dalam organisasi yang agile, transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting yang mendukung kelincahan dan efektivitas kerja. Keduanya saling melengkapi, tapi akuntabilitas menjadi faktor penentu keberhasilannya.

Agile bukan cuma tentang bekerja cepat dan fleksibel, tetapi juga memastikan setiap individu bertanggung jawab dengan perannya.

Agile juga memberikan kebebasan buat tim untuk bikin keputusan cepat dan menyesuaikan strategi sesuai kebutuhan. Tapi, kebebasan tanpa akuntabilitas bisa banget segalanya jadi tidak teratur. Tanpa rasa tanggung jawab, kerja sama jadi tidak efektif, prioritas mudah berubah tanpa arah, dan tujuan sulit tercapai. Akuntabilitas memastikan setiap individu memahami perannya, berkomitmen terhadap hasil, dan tidak sekadar menjalankan proses tanpa tanggung jawab.

Transparansi tetap penting dalam mendukung keberhasilan. Keterbukaan informasi memungkinkan tim bekerja lebih efektif, menghindari silo, dan mendorong komunikasi terbuka. Praktik seperti daily stand-up meetings, retrospective sessions, dan open backlog membantu menciptakan transparansi ini. Namun, transparansi tanpa akuntabilitas hanya menjadi formalitas. Informasi yang terbuka tidak berarti apa-apa jika tidak ada yang bertindak berdasarkan informasi tersebut.

Akhirnya, akuntabilitas jadi pondasi utama yang memastikan kebebasan dalam agile tetap terkendali dan berdampak nyata. Transparansi mendukung proses ini, tetapi tanpa akuntabilitas, keterbukaan hanya akan menjadi laporan tanpa eksekusi. Oleh karena itu, membangun budaya akuntabilitas perlu menjadi prioritas utama bagi organisasi yang ingin menerapkan agile secara efektif. Dengan akuntabilitas yang kuat, organisasi dapat bergerak lebih cepat, adaptif, dan tetap bertanggung jawab atas hasil yang dicapai🎉

Design Thinking Pintu Masuk Inovasi, Kenapa?

Design Thinking sering disalahpahami sebagai sekadar metode kreatif yang identik dengan penggunaan post-it atau hanya sebatas proses desain visual. Padahal, Design Thinking adalah pendekatan holistik yang melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan solusi yang tidak hanya berfungsi dengan baik, tetapi juga memberikan nilai bagi manusia dan menghasilkan keuntungan bagi bisnis🥳

Inti dari Design Thinking adalah menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap proses inovasi. Produk yang baik tidak cukup hanya berfungsi secara teknis; produk tersebut harus mampu menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi pengguna. Ketika sebuah produk memberikan nilai yang bermakna bagi manusia, hal ini akan mendorong keinginan untuk menggunakan atau memilikinya. Nilai inilah yang kemudian menjadi jembatan untuk menciptakan pendapatan bagi bisnis🤩

Namun, Design Thinking bukan berarti mengesampingkan aspek bisnis atau teknologi. Sebaliknya, pendekatan ini mengintegrasikan kebutuhan manusia dengan kelayakan teknis dan keberlanjutan bisnis. Produk yang hanya mengutamakan fungsi teknis tanpa mempertimbangkan pengalaman pengguna cenderung gagal di pasar. Di sisi lain, produk yang menarik secara estetika tetapi tidak fungsional juga tidak akan bertahan lama🧐

Design Thinking muncul sebagai respons terhadap dominasi pendekatan berbasis bisnis dan teknologi dalam pengembangan produk. Pendekatan ini tidak berusaha menggantikan logika bisnis atau teknologi, melainkan memperkaya proses inovasi dengan pemahaman mendalam tentang manusia sebagai pengguna. Dengan memahami konteks dan kebutuhan manusia secara menyeluruh, Design Thinking membantu menentukan masalah yang tepat untuk dipecahkan, metrik keberhasilan yang relevan, dan peluang bisnis yang muncul dari solusi tersebut😎

Dengan pemahaman yang benar, Design Thinking bukan hanya alat kreatif, tetapi juga strategi penting untuk menciptakan inovasi yang berdampak, relevan, dan berkelanjutan dalam jangka panjang🎉🎉

Design Thingking Untuk Apa?

Design Thinking bukan sekadar metode dengan tahapan sistematis—Empathize, Define, Ideate, Prototype, dan Test. Lebih dari itu, ia adalah cara berpikir yang menekankan eksplorasi dan empati. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mencari solusi teknis, tetapi juga memahami tantangan dengan lebih kreatif dan manusiawi.

Mindset ini mengajarkan bahwa inovasi bukan cuma tentang menciptakan produk baru, tetapi juga bagaimana kita melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. Empati menjadi landasan utama, memungkinkan kita memahami kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Ketidakpastian bukan hambatan, melainkan bagian dari proses menuju inovasi yang lebih baik. Berpikir non-linear juga penting, karena solusi terbaik sering kali muncul dari pendekatan yang tidak terduga.

🎯 Inovasi yang Berakar pada Purpose
Banyak inovasi gagal karena terlalu fokus pada teknologi atau keuntungan tanpa memahami esensi masalah. Design Thinking menekankan pentingnya memahami “mengapa” sebelum mencari solusi, sehingga inovasi memiliki dampak nyata dan relevan. Dalam pendidikan, misalnya, inovasi bukan sekadar menciptakan aplikasi canggih, tetapi juga memastikan metode yang lebih inklusif dan efektif.

⭐️ Visi sebagai Bahan Bakar Inovasi
Perubahan besar selalu dimulai dari mimpi dan imajinasi. Design Thinking mengajarkan bahwa mimpi adalah energi yang mendorong eksplorasi solusi baru. Para inovator seperti Elon Musk dan Steve Jobs tidak hanya mengandalkan keahlian teknis, tetapi juga keberanian untuk bermimpi besar dan menantang batasan.

⏰ Fleksibilitas dalam Menghadapi Perubahan
Banyak orang takut akan perubahan, tetapi dalam Design Thinking, perubahan adalah peluang. Eksperimen dan kegagalan adalah bagian dari inovasi. Dengan terus beradaptasi dan beriterasi berdasarkan umpan balik, solusi yang lebih baik dapat tercipta. Kolaborasi juga penting, karena perspektif yang beragam menghasilkan inovasi yang lebih kaya dan efektif.

Innovation is not just about creating something new, but about understanding, adapting, and daring to dream for meaningful change.🎉