Insight & Foresight

Nyari ilham! Kalimat yang sering muncul ketika kita melalukan proses eksplorasi. Dalam kata lain sering kita menuangkannya dalam proses pencarian insight atau foresight🤩

Insight dan foresight adalah dua konsep yang berbeda tapi saling terkait dalam konteks pemahaman & prediksi masa depan. Bedanya apa?

✔️Insight:
Insight mengacu pada pemahaman mendalam tentang suatu situasi atau peristiwa yang sudah terjadi atau sedang terjadi. Ini melibatkan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan pola-pola yang muncul dari pengalaman atau data yang ada. Insight membantu kita memahami mengapa sesuatu terjadi dan memberikan wawasan tentang situasi yang ada.

✔️Foresight:
Foresight adalah kemampuan kita untuk memprediksi atau melihat ke depan, berdasarkan pemahaman kita tentang tren, perkembangan, dan perubahan di masa depan. Foresight melibatkan menggunakan informasi yang ada untuk mengidentifikasi dan memahami kemungkinan masa depan, serta mengantisipasi potensi risiko, peluang, atau perubahan yang akan datang. Untuk memahaminya bisa melibatkan analisis, pemodelan, dan bahkan penalaran logis untuk menggambarkan atau meramalkan kejadian yang mungkin terjadi di masa depan.

Inget lagi, bedanya insight & foresight adalah bahwa insight berkaitan dengan pemahaman tentang apa yang telah terjadi atau sedang terjadi, sementara foresight berkaitan dengan pemahaman tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan. Penting banget buat jadi bahan lesson learned kita.

Insight membantu kita memahami masa lalu dan sekarang, sementara foresight membantu kita mengantisipasi dan merencanakan untuk masa depan😘

Keduanya, antara insight & foresight saling terkait dan saling mendukung loh yaa! Pemahaman yang mendalam tentang masa lalu dan sekarang (insight) dapat memberikan landasan yang kuat agar kita bisa membuat prediksi yang akurat tentang masa depan (foresight). 😎

Penting banget kita punya keterampilan mengkombinasokan insight & foresight, kita bisa punya pemahaman yang lebih komprehensif dan informasi yang lebih baik untuk membuat keputusan yang tepat di masa depan.

Ayoo belajar lagi yok😎😎😎

Proses Shadowing, “Andai Aku Menjadi”

Muter lagu Tukar Jiwa-nya Tulus dalam sesi workshop kali ini, ceritanya nyambung-nyambungin😀

Sebagai sebuah lagu, liriknya sangat mewakili bagaimana kita bisa belajar mengungkap empati, terutama dalam konteks hubungan romantis🤣 Eits tapi kita ngga akan bahas sisi ini, kita belajar bisnis kontekstualkan dalan kerangka bisnis ya, empati sama pelanggan🤗

Coba berlatih empati dengan liirik Tukar Jiwa ini, dengerin dulu lagunya, jadi paham kenapa Design Thinking memerlukan proses shadowing, “andai aku menjadi” bahkan bisa seharian atau periode yang lebih lama”

Jika kita ubah lirik “pasangan” dalam lagu ini jadi “pelanggan” kira-kira gini maksudnya;

Bagaimana cara merasakah kesulitan yang dirasakan oleh pelanggan. Bagaimana kita merasa ingin membantu dan mengambil beban pelanggannya itu tersebut dengan berkata “Tukar jiwa denganku, biar aku yang merasakan semua luka dan duka di hatimu”🤣🤣

Kemudian kita hadir dengan solusi, mengobati rasa cemas yang dirasakan pelangganya dan kita berjanji akan selalu ada di sisinya🤭

Ungkapan empati terhadap pelanggan di mana kita berusaha memahami dan merasakan perasaan dan pengalaman pelanggannya. Hal ini merupakan salah satu bentuk empati yang dapat membantu mempererat hubungan dan memberikan dukungan emosional kepada pelanggan. Diperlakukan begitu personal adalah hal yang special jadi value proposition berharga dimanta pasangan, eh pelanggan!😜

Empati jadi variable paling penting dalam menjalin hubungan dengan pelanggan, terutama dalam bisnis atau industri yang melibatkan layanan konsumen🤗

kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan, kebutuhan, dan harapan pelanggan. Jika kita memperlihatkan empati terhadap pelanggan, usaha kita bisa menciptakan hubungan yang lebih dekat dan membangun kepercayaan🤝

Pelanggan yang merasa dipahami akan lebih cenderung merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dan mungkin akan merekomendasikan produk atau layanan tersebut kepada orang lain👌

Gimana, kita mulai berlatih memahami lebih dalam pelanggan kita dengan mengasah kemampuan empati kita yaa! Gas!😘

Ecosystem Design dalam Design Thinking

Bagaimana pemahaman ecosystem design dalam design thinking?

adalah konsep yang fokus pada pembuatan sistem / lingkungan berkelanjutan & dapat mendukung interaksi yang kompleks antara berbagai elemen dalam sebuah sistem.

Dalam konteks desain, ecosystem design digunakan untuk membangun lingkungan yang lebih baik untuk pengguna & produk, mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi dari penggunaan produk & layanan terhadap lingkungan & masyarakat sekitarnya.

Konsep ini juga mengarah pada mempertimbangkan dampak yang lebih luas pada seluruh ekosistem, seperti keseimbangan alam, sosial, dan ekonomi.

Pemahamantentang ecosystem membantu para desainer untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari produk / layanan yang mereka rancang & menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan, mengurangi dampak lingkungan yang tidak diinginkan & memperkuat interaksi antara manusia, teknologi & lingkungan.

Salah satu yang cukup intens membahas terkait ini adalah Michael Lewrick, salah satu bukunya dalam bukunya “The Design Thinking Playbook: Mindful Digital Transformation of Teams, Products, Services, Businesses & Ecosystems” mengemukakan bahwa business growth dapat dicapai melalui pendekatan design thinking yang berfokus pada pengembangan inovasi secara sistematis & berkelanjutan.

Business growth terjadi ketika suatu perusahaan mampu menciptakan nilai yang lebih besar bagi pelanggan & lingkungannya dengan cara yang lebih efektif & efisien dibandingkan dengan pesaingnya.

Untuk mencapai hal ini,berfokus pada 4 faktor utama;

✔️Value proposition: mampu menawarkan nilai tambah yang unik yang berbeda dari pesaingnya, dengan memahami kebutuhan & keinginan pelanggan.

✔️Business model: memiliki model bisnis yang berkelanjutan & menguntungkan secara finansial, dengan mempertimbangkan bagaimana menghasilkan pendapatan & mengelola biaya.

✔️Inovasi:terus berinovasi & mengembangkan produk, layanan & proses bisnis baru untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang berubah

✔️Ekosistem: harus membangun ekosistem yang kuat dengan melibatkan beragam mitra bahkan bisa jadi pesaingnya.

Yok bareng2 bikin kuat ekosistem bersama yok!

Business Thinking & Design Thinking

Business thinking dan design thinking adalah dua pendekatan yang berbeda dalam memecahkan masalah dan mengembangkan ide.

✔️Business thinking fokus pada pengembangan dan pertumbuhan bisnis dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti biaya, keuntungan, dan pasar.

✔️Sedangkan design thinking fokus pada pemahaman mendalam tentang pengguna dan menemukan solusi kreatif yang menyelesaikan masalah pengguna dengan cara yang efektif.

Bedanya antara business thinking dan design thinking adalah:

✔️Tujuan utama: Business thinking bertujuan untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan bisnis, sedangkan design thinking bertujuan untuk menciptakan solusi inovatif untuk masalah pengguna.

✔️Proses yang digunakan: Business thinking menggunakan metode analisis data dan strategi bisnis untuk mengembangkan dan mengoptimalkan bisnis, sedangkan design thinking menggunakan pendekatan empiris untuk mengembangkan solusi kreatif untuk masalah pengguna.

✔️Fokus pada pengguna : Design thinking memprioritaskan kebutuhan pengguna dan berusaha memahami perspektif mereka secara mendalam, sementara business thinking lebih berfokus pada kepentingan bisnis.

✔️Pembuatan keputusan : Business thinking mengutamakan pengambilan keputusan berdasarkan analisis data dan strategi bisnis, sementara design thinking lebih mengutamakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman mendalam tentang pengguna dan berfokus pada solusi kreatif dan inovatif.

✔️Orientasi waktu : Business thinking lebih berorientasi pada jangka pendek, sementara design thinking lebih berorientasi pada jangka panjang dan keberlanjutan solusi.

Pastikan keduanya berjalan beriringan, business thinking maupun design thinking dapat saling melengkapi dalam pengembangan bisnis dan pengembangan produk yang sukses.

Keduanya bisa digunakan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan menciptakan solusi yang lebih inovatif. Ayoo latih lagi skillnya! #tleecosociopreneur

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Jangan hanya sekedar berpendidikan, karena yang terdidik belum tentu kemudian jadi pembelajar. Jadi ingat pembicaraan dengan sahabat saya, “kita belajar bukan untuk jadi pintar, tapi biar engga bego, Dwi!” Ungkapan terdengar shocking pasa mulanya, tapi ini semacam tamparan yang mengingatkan agar kita tetap relevan dengan jaman dan kondisinya, mau jadi pembelajar sepanjang hayat.

Kalimat menampar seperti “Sekolah biar ngga bego! bukan buat pintar” diungkapkan seorang teman, sahabat baik saya, sosok yang gemar sekali bersekolah. Kalimat ini begitu membekas, jadi selalu teringat mengapa kita perlu belajar?

Belajar bukan untuk menjadi pintar, tetapi justru agar kita tak menjadi bodoh! Adalah ungkapan yang penting, bahwa kecintaan belajar sepanjang hayat adalah untuk menjaga kita tetap relevan, adaptif dan tau tujuan kedepan dengan pasti. Tidak sebatas pada batasan-batasan gelar akademik yang menyatakan bahwa saya pernah bersekolah, tapi dari situlah bermula kemampuan pembelajar sepanjanghayatnya dikuatkan.

QS. Al-Baqarah Ayat 67; Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”

Tag sahabat terbaik @putiretno_

Subjektif Vs Objektif

Melatih objektivitas jadi sangat penting dalam organsiasi pembelajar, menumbuhkan sikap jujur yang tidak dipengaruhi pendapat & pertimbangan pribadi atau golongan dalam menilai sesuatu hasil 🎁

Objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran / persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan & perasaan🤔

Penilaiaan subjektif memang sah-sah saja selama didasarkan pada akal sehat, tahu konteksnya & kemudian memvalidasinya. Subjektivitas memang kerap dikaitkan dengan pandangan & perasaan seseorang, bisa bersifat jujur / tidak jujur, bisa sesuai / tak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Subjektifitas bisa membawa seseorang melihat bahwa pandangan & perasaannya kerap bertentangan dengan masyarakat disekitarnya, oleh karena itu, jika seseorang memiliki penilaian subjektif, maka Ia perlu memvalidasi pandangan & perasaannya🔍

Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya, hubungan kerja keduanya memiliki kelebihan & kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif🥁

Subjektivitas yang tidak diuji kerap menimbulkan chaos, terlebih budaya-budaya kolot yang melanggengkan budaya takut bertanya, validasi hingga berakibat fatal kemudian. Menilai orang akan lebih jernih dari karyanya, bukan dari Individunya sebagai persona. Persona akan sangat tergantung perspektif penilainya, basisnya akan sangat relatif. Namun jika melihat karyanya akan sangat berbeda akibatnya, karena melepaskan aspek relativitas dan didasarkan pada fakta✅

Nilai yang dihasilkan oleh upaya penelaahan objektif menghasilkan kebenaran tunggal, kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. Sedangkan penelitian subjektif cenderung majemuk, bergantung konteksnya🖼️

Melatih kebenaran subjektifitas memang perlu waktu, tapi akan lebih mudah hidup jika kita menilai orang dari karyanya, tak perlu pusing memikirkan personanya, jangan-jangan karena terlalu sibuk memikirkan persona orang lain, malah kita yang lebih urgent membenahi diri daripada orang tsb❤️

Design Thinking Dari Masa Ke Masa

Lima hari workshop di Bali, ngulik pesatnya perkembangan Design Thinking dari berbagai proses aplikasinya.

Era digital, terlebih masa pandemik, sangat terlihat bahwa setiap organisasi lebih memiliki kesadaran untuk melakukan proses transformasi. Bagaimana membuat organisasi menjadi lebih adaptif dengan resiliensinya yang kuat. Salah satu kerangka berpikir yang paling kuat dilakukan dalam proses transformasi adalah Design Thinking, terutama kerangka pikir yang digunakan untuk melakukan proses reframing beragam tantangan yang dihadapi😎

Mengeksplorasi beragam cara melihat permasalahan dari jaman ke jaman mengalami evolusinya. Bagaimana sesungguhnya evolusi Design Thinking?

Tahap I🥁
Dalam proses evolusinya, pada awalnya tahun 1960-1980an kerangka berpikir ini digunakan lebih banyak bagi pengembangan produk, jasa, model bisnis dan rekayasa pengalaman. 🚀Keberhasilanya diukur dari pengeluaran litbang, modal, intensifikasi teknologi, paten, jumlah publikasi & jumlah produk baru.

Tahap II🥁🥁
Pada tahun 2000 hingga 2020an saat ini, kerangka berpikir Design Thinking berkembang lebih banyak untuk digunakan sebagai Digital Platform Enablers, pengembangan ekosistem bisnis, mengembangkan perilaku baru organisasi, dan beragam pengalaman pengguna (UX). 🚀Keberhasilannya diukur dari seberapa banyak outcomes yang berhasil diciptakan, proses, portofolio, resiko, return, klaser, efek jaringan, kemampuan penguasaan Design & System Thinking dan performa tim.

Tahap III🥁🥁🥁
Dimasa yang datang, 2040an diperkirakan dimana dunia sudah sangat kompleks terhubung. DT berperan untuk merancang beragam pengalaman, bertemu dengan AI yang semakin canggih, otomasi & komunikasi masal yang akan memecahkan beraham masalah rumit dalam peradaban manusia kelak. 🚀Keberhasilannya akan diukur dari ekstensifitas sistem dinamknya, kolaborasi, keterampilan masa depan yang didukung AI, Big Data Analytic dan kemunculan beragam komunitas dan modal ekosistem lainnya.

Makin rumit & canggih pasti. Namun semua kembali kepada nilai-nilai yang paling hakiki dari seorang manusia. Design Thinking adalah tentang empati yang kemudian prosesnya melahirkan beragam solusi yang memanusiakan❤️

Belajar lagi🚀🚀🚀

Sudah Dekatkah dengan Tujuan?

Saat ini perkembangannya sangat luar biasa, mengarah bukan sekedar pada pengembangan produk dan jasa. Tahun 2000-2020an berkembang pesat ke arah IT, Digital Platforms, Social Engineering, kebijakan, model bisnis dan ke depan semakin diperlukan bagi pengembangan ekosistem bisnis, immersive experience AI dan automation.

Pengukurannya pun menjadi lebih menarik, karena tidak semata-mata pada keberhasilan sebuah produk diterima, tapi bagaimana DT melandasi culture sebuah organisasi dan ekosistem yang menggerakkannya pada inovasi. Ada sebuah Model yang dituliskan Lewrick tahun 2022, yang menyatakan bahwa ada empat tingkatan kematangan bahwa sebuah organisasi dalam penguasaan Design Thinking-nya yang melingkupi

1. Talenta baru / keterampilan masa depan
2. Pola pikir dan perangkat inovasi
3. Organisasi / kepemimpinan dan budaya.

Ke-tiga aspek diatas ternyata dapat dipetakan kapabilitasnya.

1. Untuk pilar talenta misalnya, Ia dipetakan kematangannya bedasarkan seberapa matang Ia memiliki penguasaan yang baik, punya team T-Shaped yang lengkap, sudahkan menjadi Team of Teams hingga sudahkan ia memiliki mindfulness dalam setiap prosesnya.
2. Untuk pilar mindset dan tools, seberapa paham Ia memahami dasar pemahaman cara kerja baru yang agile, seberapa transparan, melakukan proses DT secara konsisten, rasa kepemilikan yang tinggi, dipicu oleh hasil berupa outcomes dan diaplikasikan dalam beragam projectnya.
3. Untuk pilar organisasinya, sebera matang Ia sebagai organisasi pembelajar, strukturnya jejaring, apakah Ia sudah puya tim yang Self-organized yang berkontribusi kuat? inovatif, eksploratif dan membangkitkan rasa keingintahuan yang tinggi?

Mengukur seberapa jauh kita melangkah dan seberapa dekat lagi dengan tujuan menjadi penting. Apakah proses ini dibangun dengan sungguh-sungguh berorientasi keberlanjutan atau sesaat memastikan proses inovasinya melahirkan kemampuan adaptif, melompatkan pada kemajuan yang hakiki berkontribusi bagi peradaban.

Menemukan “Big Why”

Pernah ingat ngga ketika masa kecil, yang selalu kita utarakan adalah kalimat-kalimat tanya meminta penjelasan dengan awalan “Mengapa?” , saat beranjak dewasa bertanya mengapa kuantitasnya menjadi lebih sedikit, lebih banyak didominasi oleh asumsi.

Shosin, gabungan kata sho (bahasa Jepang: 初) yang berarti “pemula” atau “awal”, dan shin (bahasa Jepang: 心), yang berarti “pikiran”. Konsep Buddhisme Zen yang berarti “Beginers’ Mind” pikiran pemula. Mengacu pada sikap keterbukaan, keinginan. & minim prasangka ketika mempelajari suatu subjek, bahkan ketika belajar di tingkatan selanjutnya, berlaku seperti seorang pemula.

Istilah ini terutama digunakan dalam studi Buddhisme Zen dan seni bela diri Jepang, dipopulerkan di luar Jepang oleh buku tahun 1970 Shunryū Suzuki Zen Mind, Beginner’s Mind. Praktik ini adalah lawan dari keangkuhan & pemikiran tertutup yang sering dikaitkan dengan menganggap diri sendiri sebagai seorang ahli sehingga Ia bisa terjebak pada efek Einstellung, di mana seseorang menjadi begitu terbiasa dengan cara tertentu dalam melakukan sesuatu yang mereka lakukan. tidak mempertimbangkan atau mengakui ide / pendekatan baru.

Dalam Design Thinking, sangat penting mengasah kemampuan ini, memposisikan sebagai pemula selalu terdapat kemungkinan yang terbuka. Berbeda dengan asumsi, kerap menutup beragam kemungkinan yang bisa hadir membawa banyak alternatif solusi atau bahkan mimpi-mimpi baru. Proses Design Thinking memang sering bermula dari ambiguitas, disinilah kita belajar untuk mau dan mampu terbuka, bertanya mengapa berulang hingga mendalam. Memastikan ambiguitas berproses baik hingga memperoleh kejelasan (Clarity).

Shosin, akan membantu membukakan cakrawala untuk “Solving the right problem” karena Ia paham “Why-nya” lebih dalam paham akar masalahnya, kemudian kemampuan Shosinnya akan membawa para kemampuan “Solving the problem right” karena Ia membuka beragam kemungkinan gagasan baru memperoleh cara-cara kreatifnya.

Memelihara kemampuan Beginers Mind akan mempermudah mendapatkan banyak insight baru, bagian-bagian penting yang tak tersingkap karena terlalu banyak asumsi dan memungkinkan penjelasannya yang menyeluruh. Gimana dengan kamu?🤩

Team of Teams

Efek jejaring, baru saja kemarin membahas ini dengan beberapa kawan di ekosistem The Local Enablers, kali ini bersama Michael Lewrick penulis buku Design Thiking Playbook, salah satu penggunaan Design Thinking adalah memastikan proses perubahan sebuah organisasi bermuara pada sebuah ekosistem yang sehat sebagai muaranya.

Transformasi dari organisasi dengan struktur tradisional yang biasanya hierarkis-tersentralisasi menuju organisasi yang terdiri dari beberapa tim membentuk sebuah ko-kreasi, biasa disebut sebagai team of teams.

Bentuk ini melahirkan interaksi sebuah tim sebagai ekosistem yang terdiri dari tim-tim didalamnya, hanya saja ada nilai berbeda yang perlu dipahami yang sangat berbeda dengan tim hierarki tradisional yakni melakukan proses evolusi tim dengan cara;
1. Mau bekerja dengan aneka ambiguitas
2. Kolaborasi radikal dengan Design Thinking mindset
3. Pemimpin perlu menghubungkan beragam elemen organisasi

Proses ini menggerakan sebuah entitas bergerak dari struktur komando ke Team of Teams. Hal ini bermanfaat agar memiliki outcomes berupa network effects, dimana setiap elemen bergerak saling memperkaya dan menguatkan. Network effects adalah fenomena ketika suatu produk atau layanan menjadi lebih berharga ketika lebih banyak orang berinteraksi dan atau menggunakannya. Proses interaksi yang masih saling menguatkan menjadikan kondinya lebih berharga, sebuah ekosistem menjadi lebih kreatif karena tingkatan resourcefulnya menjadi tinggi.

Manfaat yang dirasakan memang signifikan untuk melakukan proses transformasi dari struktur komando tradisional jadi organisasi Team of Teams, tetapi ini tidak mudah. Hal yang mendasari bahwa pergerakan ini ditekankan karena sebuah purpose kuat daripada sekedar prosedur. Transformasi ditumbuhkan dengan cara;
1. Kesadaran bahwa ini adalah tim (Team Conciosness)
2. Menyemai rasa saling percaya,
3. Punya tujuan bersama,
4. Ikatan tim yang kuat dan komitmen untuk berbagi informasi secara real-time.
5. Setiap anggota tim harus paham sistem dari seluruh grup.

Proses ini bernama transformasi, maka tak boleh mencoba beralih langsung dari struktur komando-struktur langsung ke Team of Teams, lakukan bertahap ya!