Innovation by Design

Ketika kreatifitas sulit bergeser jadi sebuah inovasi bisa jadi terdapat banyak aspek yang luput dari perhatian bahwa setelah kreatititas ada langkah lanjutan untuk memastikannya menjadi inovasi.

Sebuah inovasi memang perlu ditumbuhkan, kami menyebutnya sebagai Innovation by Design. Hal ini juga terkait kultur yang perlu dibangun, menghantarkan kreatifitas sampai hingga terwujdnya inovasi. Ada tiga tahap penting menggeser kreativitas menjadi inovasi, coba analisis ada gap dimanakah pergerakan kita hingga sulit menjadikan inovasi berkelanjutan?

Zana 1. Tempat Kerja
Mengapa perlu by design & apa kaitannya dengan kultur? Banyak Inovasi tidak dimulai karena justru wokspacenya tidak kreatif. Inovasi biasanya dimulai dari ruang tempat kita berkarya, apakah ruang-ruangnya berisi ambience krerativitas? Diamana inisiatif bisa tumbuh subur. Maka diruang-ruang itulah keterampilan kreatif, motivasi, mood, mindfulness, lingkungan & kompetensi bisa membuncah bebas. Apakah zona 1 ini sudah ada ditempat kamu bekerja?

Zona 2. Merawat.
Kreativitas perlu dirawat dalam perjalanannya agar kemudian menjadi kenyataan, terbangun monetisasinya.& terserap pasar. Nah pada zona ini kita perlu terampil menguatkan Why-nya, ritual & toolsnya. Memastikan proses validasinya dengan kerangka Design Thinkng, menguji pasarnya dengan Lean Startup, membumikannya dengan Design Sprint & memastikan gagasan tervalidasi dengan beragam iterasinya.

Zona 3. Mengembangkan
Gagasan yang berhasil divalidasi baik masalah & pasarnya tak berhenti disitu, karena dalam pengembangannya ada fase lain seperti founders-fit, market-fit & business model fit. Ini jadi tantangan selanjutnya bagaiman membuat gagasana berwujud, menjadi solusi, terserap pasar & memastikan kemandirian dan keberlanjutannya. Memonetisasinya & menjadikannya inovasi berkelanjutan.

Organisasi kita bisa saja organisasi yang kreatif tetapi tak sanggup memonetize di ujung karena Ia tak mampu merawatnya, tak adaptif & mengawalnya jadi inovasi. Begitu pula kebalikannya, bisa jadi kita menghasilkan inovasi, tapi bukan berasal dari kultur & skills yang dibangun, hingga inovasinya berasal dari satu pihak saja kemudian terancam keberlanjutannya.

Bagaimana, siap Going The Extra Miles?

Going extra miles. Bekerja di zona aman, tidak banyak dinamika, nyaman dan sentosa banyak jadi idaman karena tak banyak peluang terjadinya chaos. Namun dalam jangka panjang sering kali menjadi tantangan karena ternyata berada di zona nyaman lama kelamaan menjadikan kita menjauh dari eksplorasi, jauh dari momentum yang seharusnya terbangun dan melompatkan organisasi jadi lebih baik.

Going To The Extra Miles artinya melakukan sesuatu yang lebih, biasanya bentuk eksploratif demi tercapainya sebuah tujuan. Sering kali hal ini diluar jobdesc-nya tapi tentu ini akan membawa kita pada kondisi yang lebih baik, berhasil melakukan hal yang “lebih”, bukan karena cari muka ya! Agak sulit mengukur ini dengan KPI karena proses kualitatifnya tak tercatat dalam target. Hasilnya pun lebih sering berupa outcomes dari pada output yang seringkali organisasi tradisional lakukan.

Going the extra miles akan memacu kita untuk melakukan tanggung jawab & memompa kapasitas diri lebih besar lagi. Melakukannya secara konsisten akan menumbuhkan budaya baru, akan tercipta lingkungan kerja yang isinya bisa jadi saling dukung.

Dalam bidang psikologi & manajemen, ini disebut sebagai organizational citizenship behaviour (OCB), perilaku ini sangat menguntungkan dua pihak, baik individunya ataupun perusahaan. Individu yang go the extra mile cenderung mendapatkan outcomes yang lebih baik performanya dengan usaha lebih dalam bekerja sehingga Ia bisa melaju lebih depan daripada yang lain.

Bagaimana kita bersedia untuk melakukan hal-hal di arena baru yang konsekuensinya bisa mengeluarkan upaya lebih untuk bisa melaksanakannya yang “tidak biasa”

Tak banyak orang yang mau masuk ke wilayah ini, karena banyak tantangan & kemungkinan salah & risko yang tak bisa diantisipasi. Apalagi dengan bayangan akan banyak waktu, tenaga & biaya yang akan timbul.

Namun ketika kita berkata terkait hasil, maka tentu hasilnya akan sangat optimal dan berlipat dari sebelumnya. Akan banyak menemukan blind-area yang menantang, tapi memang banyak peluang yang bisa terbentuk. Gimana, siap Going The Extra Miles?

Mengapa Penting Memahami Design Thinking (DT) ?

Mengapa penting memahami Design Thinking (DT) ? Bagi kami framework ini membawa banyak kemajuan yang signifikan bagi cara pandang, budaya kerja & pola pikir yang membuat setiap individunya punya kapasitas kreativitas yang lebih tinggi, adaptif terhadap perubahan dan kemampuan berpikir kritsinya yang semakin baik.

Kemampuan empati yang diasah dalam kesehariannya mencipta ekosistem yang semakin matang dan membahagiakan. DT sesungguhnya bukan semata-mata framework, tapi ini adalah mindset penting yang mengawali inovasi.

Jika dikatakan mengapa penting kemudian banyak juga pihak yang masih ragu akan pentingnya memahami barang ini, coba kita lihat fakta dan data. Siapakah yang menggunakan pendekatan ini dan berhasil mencipta beragam inovasi bagi kemajuan masyarakatnya?

Singapura, contoh terkenal tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat dan pemikiran inovatif telah mendorong pertumbuhan ekonominya. Dengan menekankan & mengadopsi pendekatan yang “citizen-centric”, pemerintahnya menerapkan pendekatan desain dalam upayanya untuk meningkatkan kehidupan masyarakatnya.

Negara yang berawal dari serba keterbatasan, sejak tahun 2008, pemerintah Singapura datang ke IDEO, perusahan konsultan inovasi yang terkenal dengan pendekatan IDEO Design Thinking untuk menjadikan negaranya dengan pemerintahan yang Human-centered.

Beragam pendekatan DT kemudian diterapkan diberbagai bidang seperti pelayanan kesehatan  yang “patient-centric” untuk menekan subsidi kesehatan dengan membuat sistem prediksi biaya kesehatan& asuransinya yang menguntungkan bagi warganya. Juga pada bidang lainnya seperti di bidang ketenagakerjaan, SDM agar orang Singapura mau memiliki anak lebih banyak, perumahan, sistem hukum, pendidikan, kebun binatang, bandara bahkan tentara yang memiliki 1000 insinyur yang memahmai Design Thinking dengan baik.

Bukan cuma pemerintah, perusahaan swasta di Singapura menggunakan Design Thinking untuk mengerjakan strategi bisnisnya & mengembangkan organisasinya dengan pesat. Jadi tak heran bahwa negara kecil ini kemudian punya Creative Confidence yang sangat besar, secara konsisten mengembangkan Creative Musclenya & membuat the Red Dot ini cepat sekali berinovasi.

Merawat Organisasi dengan Kepemimpinan Kolektif

Merawat organisasi dengan kepemimpinan kolektif. Menjadi tantantan memang dalam merawat sebuah organisasi yang sehat menjadi ruang inovasi bagi setiap insannya.

Ada beberapa hal yang menjadi variabel apakah organisasi kita sudah cukup ideal menjadi wadah bagi tumbuhnya Collective Leadership. Ruang-ruang invasi ditumbuhkan dengan memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk tumbuh dan menumbuhkan hal-hal berikut, oh ya coba kamu berikan nilai 1-5 pada setiap poinnya, dan lakukan proses retrospektif setelahnya bersama tim kamu pada bagian mana yang perlu diperbaiki.

1.KEBERSAMAAN
-Berkontribusi
-Saling mendukung
-Berlatih kontekstualitas

2.KECERDASAN BERSAMA
-pembelajaran iteratif
-keragaman
-dialog berkualitas

3.KEMANUSIAAN
-Empati
-Keseimbangan
-Mindfulness

4.INOVASI
-Agility / ketangkasan
-Keunggulan
-Kreativitas

5.KETERIKATAN
-Aksi kolektif
-Keterhubungan
-Aksi bersama

6.PELUANG MASA DEPAN
-Ketegasan
-Pemberdayaan
-Berorientasi masa depan

Kepemimpinan di era kompleksitas ini, ada pergeseran yakni “a shift from thinking of a leader as a ‘hero’ to thinking of a leader as a ‘host’” Ketika seorang pemimpin adalah ‘pahlawan’, dia diharapkan memiliki semua jawaban, menyelesaikan semua masalah, dan memperbaiki segalanya untuk orang lain. ‘Pahlawan’ itu dinamis, karismatik, dan brilian. Tantangan dengan dengan pola pikir ini adalah bahwa model perintah & kontrol sering menggunakan solusi cepat yang dibuat oleh segelintir orang yang berkuasa & seringkali solusi ini tidak cocok untuk masalah kompleks yang dihadapi sekarang

Alih-alih menjadi ‘pahlawan’ kita membutuhkan pemimpin sebagai ‘tuan rumah’ yang memiliki keterampilan mempromosikan pembelajaran bersama, pengambilan keputusan kelompok yang efektif, refleksi, visi dan penetapan tujuan & akuntabilitas bersama.

Bagaimana tim bergerak menuju pendekatan kepemimpinan kolektif akan berbeda untuk setiap organisasi, tergantung pada seberapa mengakarnya pendekatan tradisional, seperti yang tercermin dalam struktur, prosedur pelaporan, praktik pengambilan keputusan & banyak lagi.

Saatnnya kita bisa bergerak menuju pola pikir kepemimpinan kolektif, kapan nih kita diskusi dan berbersamai shifting organisasimu?

Collective Leadership

Perbincangan menarik di sebuah tim yang membandingkan tim lain terkait leadershipnya. Ia berkata “Tim disana leadershipnya kuat, anggota timnya punya petunjuk & menurutinya, timmnya selalu tertib & berjalan sesuai kehendak pemimpinnya” Kemudian saya menjawab, “jika kamu berada di tim tsb, apakah kira-kira kamu berkenan mengikuti arahan leadernya hingga detail?”

Perbincangan ini mengarah pada pertanyaan, mana yang lebih baik? Keduanya baik, kita tak bisa memaksakan kultur yang sama pada organisasi yang beda, terlebih sejarah & kulturnya beda. Yang terbaik adalah dimana organisasi berjalan bahagia menuju visinya. Disinilah kita bisa memaknai mana organisasi yang memang baik menggunakan Traditional Leadership atau Collective Leadership.

Collective Leadership, ketika sekelompok individu bekerja bersama & berbagi tujuan. Anggota di dalamnya secara internal & eksternal termotivasi bekerja bersama menuju visi bersama dalam sebuah kelompok menggunakan talenta-talenta uniknya dengan beragam keterampilannya untuk saling berkontribusi bagi kesuksesannya. Kepempimpinan kolektif merekognisi bahwa kesuksesan yang langgeng tidak mungkin terjadi tanpa perspektif & kontribusi yang beragam.

Sebuah proses yang tergantung pada keterhubungan antarbagian yang saling bekerja sama.Bagaimana kelompok bisa bekerja bersama dengan keunikan tiap oranglah yang membedakannya dari kepemimpinan tradisional.

Ada pembagian tanggung jawab, pengambilan keputusan, akuntabilitas & ikatan otentik. Semua dilibatkan dalam mencipta visi & berkomitmen bekerja untuk mencapai visinya. Asumsinya bahwa tiap orang dapat & perlu memimpin. Hanya saja, jika kamu memilih tipe ini maka perlu kondisi khusus untuk memastikan keberhasilan secara keseluruhan, yakni membangun kepercayaan, shared power, komunikasi transparan, efektif, akuntabilitas & pembelajaran bersama. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa tanpa karunia, bakat, perspektif & upaya banyak pihak, perubahan berkelanjutan akan sulit dicapai.

-A key aspect of collective leadership is that the success depends on the leadership within the entire group rather than the skills of one person- -Follett-

Ekosistem Perubahan

Ada pergeseran yang signifikan peranan pemimpin masa kini dan masa lalu. Pemimpin punya urgensi penting untuk berperan sebagai sponsor bagi perubahan itu sendiri, perubahan yang didorong oleh peluang.

Ada kalanya pemimpin & ekosistem yang dipimpinnya terjebak paradigma masa lalu dimana Ia adalah si paling inovatif, si paling bisa dengan segala kehandalannya. Bahkan, jika bisa Ia menjadi sumber inovasi dari segala pergerakan barunya. Hal ini yang kemudian membawa angin ketergantungan anggota tim pada pemimpinnya.

Paradigma saat ini tentu beda, karena inovasi diberikan keleluasaan untuk tumbuh dari bawah. Setiap individu yang terlibat diberikan ruang untuk inovasi. Pemimpin hanya perlu memastikan bahwa Ia benar-benar punya imajinasi yang kuat akan masa depan yang dituangkannya dalam narasi & arah yang jelas, melakukannya dengan compasiion & caring serta jadi role model atas agilitasnya. Walk the Talk.

Pemimpin saat ini adalah pemimpin yang terbuka atas gagasan-gagasan yang tumbuh dari bawah, sehingga setiap anggotanya bisa menjadi penggerak perubahan. Pemimpin dan ekosistem membantu menemukan simpul perubahannya hingga dapat terinternalisasi dalam setiap anggota sebagai pelaku perubahannya.

Organisasi menjadi motor penggerakannya, pemimpin berperan mengorkestrasi arah, kecepatan dan memastikan kondisi kendaraannya tetap sehat. Menjaga agar inovasi yang terwujud tidak terluka, memfasilitasi penyelarasan dan akselerasinya agar tetap fokus pada tujuan, setiap prosesnya dipastikan setia pada cita-cita. Memastikan organisasinya tidak melenceng atau bahkan menjadi “Follow The Money Organization”, pastikan organisasi kita masih jadi organisasi yang “Follow The Dreams”

Hindari juga munculnya beragam inovator yang terluka, yakni individu-individu yang sempat berkarya baik, semangatnya tinggi namun tempatnya berkarya jadi tempat yang tak lagi ideal dalam bereksplorasi & atau tak bisa mewadahi mimpinya hingga meski rindu terpaksa Ia memilih berpetualang diluar.

Menjadi pemimpin yang terbuka, menjalankan manajemennya dengan penuh kesadaran situasional, berkelanjutan membuka peluang inisiatif, menghadirkan otonomi & fleksibilitas, bertanggung jawab dan percaya.

Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

Beberapa hari ini law attraction saya selalu tertuju pada individu / organisasi yang sedang berada pada titik terendah dalam fase hidupnya, mengingatkan konsep The Dip dari Seth Godin atau fase jurang kematian dalam proses kreatif. Fase belajar terberat dalam bagian hidupnya. Jika berhasil akan menjadikannya naik kelas. Saya lebih senang menyebut fase ini sebagai titik mula (kembali) menuju perubahan yang lebih baik, fase belajar banyak yang diuji dengan menyelami keadaan sulit & ditantang menghasilkan beragam keberhasilan dengan cara-cara baru serta konsistensinya.

The Dip adalah salah satu kurva yang menggmbarkan proses pembelajaran dalam hidup, bisnis atau jenis usaha lainnya, namun ini bukan satu-satunya kurva. Kita perlu lihat kurva lainnya dan belajar mengambil keputusan keputusan mana yang terbaik, kapan kita perlu berhenti & atau kapan kita perlu pecepat larinya. Coba lihat kurva permasalahan kamu dalam tiga tipe kurva berbeda, Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

1. The Dip, keadaan terendah yang direspon dengan kerja extra miles keluar dari beragam tantangan menuju untuk masa depan lebih baik dengan kosistensi, pandai mengurai energi, kesabaran.
2. Kuldesak, jika kamu melihat bahwa prosesnya “gini-gini aja” maka kamu perlu memutuskan berhenti & segera tentukan waktunya.
3. The Cliff. Jika kamu lihat trennya menukik bakal jadi jalan buntu, maka penting untuk diketahui kita memang harus berhenti. Kondisi di awal terlihat punya potensi baik namun berikutnya menunjukkan penurunan terus menerus, jika diteruskan maka akan jatuh.

Orang-orang yang sukses justru adalah orang yang tau kapan Ia harus berhenti, kapan harus bekerja keras & kematangan pengambilan keputusan. Tapi, jika berbicara boleh berhenti, bukan berati kamu boleh jadi Serial Quiter, yakni orang yang berhenti dan berganti-ganti wadah belajarnya. Jika kamu lakukan ini maka kita tak akan kemana-mana. Bisa melakukan banyak hal tapi tak ada hasil yang berarti. Kamu perlu istiqomah, bukan jadi Serial Quitter.

Coba analisa kekuatan sumberdaya, ilmu, tujuan, dampak jangka pendek-panjangnya & kesiapannya sebelum ambil keputusan. Jadi mau mengarungi Dip kamu?

Ada lima tipe seru menurut Cheryl Strauss Einhorn. founder & CEO of Decisive

Setiap orang punya karakter dalam pengambilan keputusan, berdasarkan kemampuan, pengalaman serta kapabilitasnya. Jika kita pernah bahas tentang enam topi berpikir, sekarang ada 5 persona pengambil keputusan coba, kira-kira kamu yang mana? Ada lima tipe seru menurut Cheryl Strauss Einhorn. founder & CEO of Decisive;

1. Petualang. si paling cepat & percaya atas keberaniannya. Jika dihadapkan pada tantangan besar atau kecil maka Ia akan memutuskan yang dirasakan benar daripada menghabiskan banyak waktu memikirkan banyak pilihan. Tipe ini juga dibilang sebagai si pantang takut! Cuma ada hal yang bias dengan tipe ini, sering kali Ia punya Optimism Bias & jika keterusan bisa membuatnya berbahaya!

2. Detektif. Kamu adalah tipe yang menghargai informasi, selalu meminta data & fakta, tak memutuskan basis perasaan. selalu merujuk pada kenyataan. Pecaya bahwa semakin Ia belajar makin semakin baiklah dia. Kurangnya tipe ini adalah Frame Blindness, yakni kurang punya pemahaman Big Picture, atau bahkan berlebih informasi. Kurangnya tipe ini adalah authority bias, suka bertentangan dengan inner voice dirinya.

3. Pendengar. Tipe ini paling dicintai penduduk bumi 🙂 Kala dihadapkan pada situasi kompleks, kita akan menyandarkan diri pada orang tipe ini & meminta pendapat & opini. Akan merasa nyaman bahwa kita tak perlu memutuskannya sendirian. Tapi tipe ini biasanya loss aversion, memilih jalan aman!

4. Pemikir. Banyak pertimbangan, menolak memutuskan cepat. Menimbang opsi, mempertimbangkan positif & negatifnya. Tak perlu banyak data, tapi perlu waktu &ruang berpikir & rasionalisasi mengapa ini perlu dilakukan. Cepat bukanlah tujuannya, tapi proseslah yang utama.

5. Visioner; Ia tak ingin yang biasa-biasa, lebih suka dengan caranya sendiri. Jika dihadapkan pada opsi yang jelas, Ia lebih suka memilih yang beda, yang belum pernah terjadi. Going Extra Miles! sering mengagetkan sekeliling dengan keputusannya! Tipe ini kekurangannya saliency bias, tendensi untuk fokus pada faktor paling mudah dikenalinya.

Ngga ada yang “sempurna” sih, tapi perlu keterampilan untuk menggabung-gabungkannya & membawa pada pemahaman yang lebih holistik & meramu kelima karakter diatas.

Pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya

Sehari-hari saya bersama mahasiswa, kebetulan mereka penikmat micin, sering kami menemukannya kesulitan menikmati makanan enak berbumbu alam asli. Anak-anak ini sepanjang pendidikannya memang mengenal mengunyah itu 30x, tapi sering kali makan dengan cepat (?).

Mengunyah lama memungkinkan tubuh mengekstrak nutrisi dalam jumlah paling besar dari makanan yang dilahap, itu isi materinya. Namun, dalam proses belajarnya tak mengajarkan cara menikmati 30x mengunyah intens, hingga Ia bisa tau beragam rasanya, menikmati bumbu & tekstur berbagai indera perasa & pengecapnya. Hal inilah yang jadi sebab mengapa mereka kehilangan mindfulnessnya dalam ritual makan.

Hal diatas adalah sebuah analogi, terkait mengapa kita perlu sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan yang orientasinya untuk membersamai pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya lengkap dengan cara pandang yang tepat dengan nilai-nilainya. Sering kali dunia pendidikan kita memang tersesat dengan ritual, entah itu dinamakan pembiasaan atau kewajiban-kewajiban formalistik yang diperkenalkan tanpa makna hingga kehilangan arti & nilainya.

Aktivitas belajar yang semestinya membawa pembelajar mencintai proses belajar justru terjebak pada aktivitas tanpa makna. Bisa jadi karena kita banyak belajar substansi tanpa konteks, membuat siswa kehilangan daya kritis & kemampuan adaptasi dengan keadaan yang berbeda hingga cukup menantang baginya untuk bisa tetap relevan.

Perlu kita renungkan apakah lembaga pendidikan kita kini tak lagi berani bicara lantang tentang substansi yang kontekstual di mimbar-mimbar akademiknya & kemudian terbawa pada ruang-ruang belajar? Jadi teringat sebuah grup WA akademisi yang lebih sering muncul adalah ucapan selamat dari pada berbicara gagasan atau substansi, jika muncul substansi malah tak terbahas lugas.

Mendampingi belajar cara menikmati & menginternalisasinya memang perlu proses, waktu & kesabaran (Kurikulum), beda dengan mewajibkannya ritualnya saja yang cepat. Tugas pendidikan justru bukan untuk semata-mata tahu & mengerjakan ritualnya, tapi justru menginternalisasi maknanya yang mendorongnya secara sukarela Ia melakukan aktivitasnya.

“Creating the Best Workplace on Earth”

Baca lagi artikelnya Rob Gofee & Gareth Jones, tentang “Creating the Best Workplace on Earth” ada satu ungkapan menarik bahwa ruang karya adalah ruang dimana individu-individunya diakmodasi oleh perusahaanya dengan beragam keanekaragamannya, mereka sering terjebak pada membatasi diri pada kategori keragaman tradisional seperti gender, ras, usia, etnis & sejenisnya.


Namun saat ini justu yang paling didamba adalah bagaimana ruang karya bisa mengakomodir perbedaan perspektif, kebiasaan berpikir & asumsi. Organisasinya jadi wadah dinamis menghasilkan banyak inovasi baru karena kaya gagasan.


“Let People Be Themselves”
Organisasi yang kaya gagasan berbeda & membiasakan diri menyatukannya akan berlari lebih kencang, dan ini lazim pada organisasi yang inovatif. Ruang karyanya memperkenankan beragam inisiatif berbeda namun dipastikan mereka mengarah pada hasil.

Organisasi bisa kita bentuk menjadi tempat dimana setiap orang menjadi dirinya sendiri & berbaur -Let People Be Themselves- , kegembiraan itu akan hadir, pemimpinnya pun akan membawa timnya untuk fokus pada kekuatan individunya, bergerak karena melihat aset yang dimiliki, bukan “deficit focused”.

Magnify People’s Strengths
Keleluasaan berkarya bisa jadi karena prinsip organisasi yang dianut adalah bagaimana melakukan upaya “Magnify People’s Strengths”, membuat karyawan terbaiknya menjadi lebih baik, paling tidak lebih baik dari yang pernah mereka bayangkan. Tiap orang tumbuh bersama.

Stand for More Than Shareholder Value.
Memberikan ruang agar individu didalamnya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, mendekati pada sesuatu yang dapat mereka percayai adalah perjalanan proses yang bermakna.

Sudah menjadi hal yang biasa untuk menegaskan bahwa organisasi membutuhkan makna bersama “shared meaning”, Tapi shared meaning ini lebih dari sekadar memenuhi keinginan individu/organisasinya, ini tentang bagaimana menempa & memelihara hubungan yang kuat antara nilai-nilai pribadi & organisasinya bersamaan.

Shared meaning is about more than fulfilling your mission statement—it’s about forging powerful connections between personal and organizational values – Gofee