Buku Clayton Christensen, Innovator’s Dillema mengungkap banyak hal menarik. Jika dikisahkan dengan sebuah kisah anggaplah Budi, Product Engineer usaha besar & lama jadi pemimpin pasar. Tapi, pada satu masa, usaha ini terpaksa tutup & kehilangan pekerjaannya. Dalam 1 tahun terakhir, perusahaannya hampir kehilangan seluruh konsumennya karena kompetitornya hadir dengan Disruptive Innovation (DI). Tentu Budi sangat sedih, karena rasanya perusahaannya tidak melakukan kesalahan apapun, namun seketika kalah dalam kompetisi. Budi tak paham mengapa perusahaannya gagal karena RASANYA mereka melakukan segala sesuatunya dengan BENAR!
Jadi sebenarnya apa yang terjadi dengan perusahaan Budi?
Ada 2 tipe inovasi, Sustaining Innovation (SI) vs Disruption Innovation (DI). SI mengembangkan performa produk yang didasarkan pada fitur-fitur yang dinilai baik oleh konsumen mainstream yang mendominasi pasar, biasanya memaksanya untuk bergerak maju. Beda dengan DI yang kerap kali melibatkan hal-hal yang performanya awalnya lebih rendah terus melakukan trial & error, dilahirkan pada niche market & mengabaikan pasar mayoritas saat ini. Dititik-titik ceruk pasar yang sempit inilah kebanyakan pelaku DI memulai pergerakannya.
SI biasanya dipandu permintaan pasar eksisting, tapi perlahan dapat membuat usahanya gagal total dikemudian hari. Sedangkan usaha baru dengan pendekatan DI menggunakan peluang masa datang yang belum terbukti, tapi bisa jadi masa depan yang cerah. Inilah yang jadi inti dari dilema sang inovator.
Mengapa perusahaan besar pasar kehilangan peluang mendapatkan pasar DI-nya, walau selalu mengerjakan berbagai perbaikan & pengembangan, menyasar pangsa pasar besar & profit margin terbesar & memvalidasi konsumennya sebagai kriteria proyek-proyek terbaiknya? Mereka memang melakukannya dengan benar, tapi pada saat yang sama kompetitor justru melakukan DI.
DI hadir dengan presistensi trial & errornya. Strategi ini membuat produknya berkembang seiring waktu. Ketika kompetitor besar beralih ke pasar niche & basis kustomer baru, mereka terlambat! Di pasar yang baru, perusahaan besar jadi tak mampu mengejar ketertinggalan membangun keunggulan kompetitifnya!
No comment yet, add your voice below!