Membangun “Systemic Leadership with Purpose”

Memastikan kembali bahwa kita berada dalam satu wadah yang terdiri dari simpul-simpul yang terkoneksi. Bukan sekedar simpul-simpul mandiri tanpa koneksi. Memastikan kembali bahwa kita berada pada sebuah ekosistem dimana simpul-simpulnya terkoneksi nyata, walau garis-garis interaksinya tampak maya dalam kehidupan. Garis imajiner interaksi ini perlu disadari penuh, bahwa inilah yang membawa kekuatan eksponensial bernama Network Effect🙌

Ekosistem yang simpulnya saling terkoneksi adalah wahana terbaik pembelajaran. Menjadi organisasi pembelajar dimana orang per orangnya tak perlu menunggu waktu lama mengenali purposenya. Dalam organisasi konvensional, proses pergeseran dari level awal berpikir ke level tinggi kematangan berpikir. Tingkatan kepemimpinan seseorang dibagi menjadi 6 tingkat kematangan (Digital Leadership, 2022) 1) Self-oriented Impulfsif, 2) Group-centric conformist, 3) Rationalistic-funtional, 4) Self-determining confident, 5) Relativistic-indiviadualistic, 6) Systemic-autonomous. 🙌

Tak mungkin kita menunggu usia tua untuk menghadirkan kematangan berpikir, itu pun jika beruntung. Menghadirkan ekosistem pembelajar adalah hal terpenting proses akselerasi kematangan berpikir, menggeser kebutuhan atas security menjadi purpose, menggeser “Preassure” jadi “Co-creative”🥳

Bisa saja sebuah komunitas hadir tapi minim interaksi, atau membiarkannya ketergatungannya pada satu pihak. Kesalahan umumnya adalah tidak memelihara terjadinya keterhubungan yang masif & interaksi antar simpulnya yang frekwentif. Jika sebuah komunitas terdiri dari kehadiran beragam simpul tapi hanya tergantung pada 1-2 pengerak, indikasinya komunitas ini terjebak pada kematangan tingkat dua, yakni Group-centric conformist. Perlu segera mengakselerasi menumbuhkan budaya co-creativenya, menciptakan zona aman belajar, berinteraksi dengan masing-masing otonominya. Membangun “Systemic Leadership with Purpose”🤩

Pembelajaran dengan konsepsi Network melahirkan proses pembelajaran & pematangan cara berpikir, bekerja & bertindak yang eksponensial, jadi sekumpulan pembelajar yang saling memajukan.

“Being a great place to work is the difference between being a good company & a great company.”

The Unite Perspectives on Organizations

Mengawal tim menjalani prosesnya jadi tim yang inovatif memang tak bisa dijalankan sebagai sebuah keajaiban yang tiba-tiba muncul. Tapi sangat mungkin diakselerasi. Perubahan era industri jelas memerlukan perubahan paradigma mendasar, hingga kita punya strategi tepat yang relevan dengan jaman. Jangan lupa, dalam 1 abad terakhir perubahan dan perkembangannya sangat pesat dimulai dari
1. Budaya agraris (1.0)
2. Budaya industri (2.0)
3. Budaya informasi (3.0 – 4.0)
4. Budaya holistik (5.0)

Sangat jelas pergeserannya kala dulu budaya erat dengan struktur yang feodal, perbudakan yang kemudian bergeser pada budaya birokrasi & struktur autoritarian. Pada Industri 2.0 menekankan pada proses efisiensi & munculnya unit-unit bisnis yang process driven

Era 3.0 muncul orgranisasi-organisasi yang flat, meningkatnya fleksibilitas, hingga era Industri 4.0 dimana digital membawa ketangkasan yang lebih tinggi karena saling terkait hingga banyak bermunculan proses co-creation dimana-mana.

Sejak pandemik, era digital terjadi dimana-mana, bertemu dengan momentum bumi yang makin terdegradasi lingkungannya, muncul urgensi dimana terjadinya Circular Organization, dimana tiap organisasi memungkinkan berelaborasi membentuk Inovasi Terbuka, berkontribusi bersama membentuk budaya holistik.

Berkaca pada tim kita, dengan perkembangan ini apakah kita masih ingin mempertahankan kompetisi, kerjasama (co-operation) /Co-creation? Perkembangan budaya kini bergeser dari;
✅ continuity jd disruption
✅ consistency -> agility
✅ power OVER people homogeneity, exclusion -> power WITH people heterogeneity
✅ external -> determination

Paradigma yang membedakan kita saat ini lebih lanjut adalah;
✅ Value creation tak lagi diciptakan oleh mesin dengan produksi masal yang terstandarisasi, tapi oleh manusia itu sendiri
✅ Bukan lagi line management yang hierarkis, tapi project management dengan perannya yang jelas.
✅ Bukan lagi management by control dengan superioritas dan subordinatnya, tapi tentang kepemimpinan dengan trust yang dibangun.
✅ Bukan lagi work-life balace tapi work-life blend.
✅ Bukan lagi centralized management tapi collegial leadership.
✅ Top-down structure jadi value creation structure🚀

Ekosistem Pembelajar

Mencipta pembelajar sepanjang hayat tentu perlu ekosistem pembelajar, punya kawan yang saling menuntunnya pada tiap tahapan kematangan berpikirnya & mengakselerasinya dengan baik✅

Bagaimana sebenarnya proses tumbuh seseorang dalam berpikir? Dalam The Unite Innovation & Transformation Model, diungkapkan beberapa tahap bagaimana perkembangan proses berpikir dengan melihat bagaimana perspektif individu melihat dunia;

I. Self-centric. Tingkat kematangan ini terjadi ketika seorang individu masih fokus pada kepentingan individual, perlu pengembangan kemampuan asertif, masih Impulse Driven / bertindak berdasarkan instingnya, kebutuhan hidupnya masih berkutat pada bagaimana mendapatkan rasa aman (Security)🤯

II Group-centric. Ia mulai fokus pada kolektivitas ketimbang pada kebutuhan seseorang saja, kebutuhan hidupnya bergerak pada hal-hal yang menyangkut kepemilikan😱

III. Skill-centric. Caranya berpikir mulai difokuskan pada bagaimana Ia bisa melakukan hal-hal yang rasional & terkukur. Kebutuhan dirinya adalah bagaimana Ia mengembangkan personalitasnya. Kebutuhannya adalah bagaimana Ia bisa memastikannya secara terukur😚

IV. Self-determining. Mulai fokusnya memberdayakan dirinya. Pada tingkat ini kebutuhan dirinya adalah terkait status dirinya😎

V. Multi-perspective. Persepsi dirinya ditandai dengan kematangan yang lebih lanjut, Ia fokus pada beberapa sudut pandang yang berbeda atas kebutuhan & perasaan yang beragam. Ia mulai memaknai nilai-nilai penting hidupnya yang fundamental & digunakan sebagai landasan berpikirnya😎

VI. Systemic. Kematangan berpikirnya akan membawanya untuk fokus pada sistem, keseluruhan yang integral, berpatok pada purpose, tujuan, otonomi & keterkaitannya antar simpulnya. Kebutuhan di level ini adalah pemenuhan akan Purpose🤩

Kebutuhan mendesak untuk beranjak ke level 6, tak bisa ditawar lagi & dilakukan serial dengan proses waktu lama. Dunia sudah tak lagi berada sekedar di era Industrial 4.0, tapi Earth 5.0 yang masif dengan Circular Organization dengan Open Innovationnya. Tak bisa elak lagi atas kebutuhan dusrupsi, agility, power WITH people heterogeneity, inclusion & self-determination. Wujudkan dengan ekosistem pembelajar!🤠

Superstar & Rock Star

Menurut Kim Scott, dalam buku Radical Candor, ada dua jenis “bintang” dalam tim, Superstar & Rock Star.

Rock Star, golongan yang bisa diandalkan & tak benar-benar ingin bergerak ke atas / depan, tak tertarik dengan peran baru / tanggung jawab tambahan. Mereka terus melakukan pekerjaan dengan senang hati & sungguh-sungguh selama kita tak mengacaukannya.

Kesalahan umum dalam menganggapinya adalah dengan menanggapinya sebagai individu kurang ambisus. Padahal justru Ia akan membantu mendorong keunggulan & stabilitas tim. Mereka konsisten & bisa diandalkan & melakukan pekerjaan hebat & puas melakukan hal yang sama dalam wakatu lama dengan konsisten.

Lain dengan Superstar, senang tantangan baru, ambisius adalah kekuatan penting pertumbuhan tim. Ia banyak menantang status quo, punya jalur karir yang tajam karena terdorong untuk menambah tanggung jawab. Mereka berada pada lintasan pertumbuhan yang sangat dinamis, hingga mereka biasanya tak bertahan lama di tim kita.

Anggota tim kita bisa masuk & keluar dari kategori mana pun, bisa berubah. Keduanya sama-sama mampu bekerja hebat. Perbedaan utamanya ada di jalur perkembangan yang diinginkannya.

Untuk Rockstar, jangan langsung mempromosikannya. Bergantung pada situasi hidup mereka, mereka mungkin punya alasan yang benar-benar sahih untuk tidak menginginkan promosi, yang mereka butuhkan adalah bisa memperdalam keahliannya.

Jika organisasi terfokus pada promosi, Rockstar akan merasakan tekanan yang tidak perlu untuk pura-pura jadi superstar, bisa merasa malu / gagal karena ingin tetap dalam peranannya. Kita perlu pastikan bahwa Rock Star dihormati (& diberi kompensasi) sama seperti superstar. Bayar secara setara & ingatlah untuk memuji Rockstar sama seperti rekan superstarnya.

Untuk Superstar, tawarkan mereka tantangan yang lebih besar. Dorong mereka untuk berpikir besar & jadi kekuatan perubahan. Pastikan tidak menekan ide-idenya & ketika tiba waktunya untuk mempromosikan, buatlah beberapa alternatif layak, pastikan punya rencana suksesi untuknya

Keduanya berharga, coba bedakan & buatlah rencana pertumbuhannya. Cari peluang bagi superstar u/menghadapi tantangan baru & Rockstars u/ memperdalam keahliannya.

Complicated & complex

Sebuah tim perlu secara konstan dipandu, jika perlu dipaksa agar mencapai puncak tujuan. Anggap saja sedang mendaki sebuah bukit, menyusurinya ke atas berjalan mengarah pada tujuan ultimatenya di puncak. Jika kita berhenti atau stagnan disebuah titik, maka dunia akan berputar mundur di atas kita kemudian.

Tujuan dari tim bukan sekedar sampai, tapi bagaimana memeliharanya. Bukan hanya menjadi mesin yang diberikan oli dengan teratur, tapi jadi organisme yang kompleks & adaptif. Menjadi kompleks itu baik tapi bukan berarti complicated.

Ada perbedaan besar antara “complicated” & “complex”. Jika sesuatu kompleks, maka yang perlu dilakukan adalah memetakannya & diturunkan keterhubungannya dengan teratur, diurai, diaktifkan, dikelompokkan & diorkestrasi hingga bisa memprediksi dengan relatif-pasti dampaknya pada sistem yang lebih besar.

Kompleksitas biasa muncul dari sebuah kreatifitas. Seperti alamiahnya sistem yang kompleks memang akan menimbulkan hal-hal yang tak stabil, nonlinier & menghasilkan berbagai hasil saat salah satu variabelnya diubah. Banyak variabel yang kemudian bisa berubah secara bersamaan dalam sistem yang kompleks, sehingga akibatnya akan banyak hasil hampir tidak mungkin diprediksi akurat.

Dalam berkelompok, karena melibatkan multi individu berbeda tentu akan jadi sistem kompleks, dengan segala inisiatif, pengalaman & kontribusinya yang berbeda, maka menjadi penting tim ini untuk memiliki kemampuan beradaptasi & resiliensi hingga lahirnya keberhasilan.

Sesungguhnya kurang baik, jika sebuah tim memperlakukan kompleksitasnya dengan input & output yang rigid, dipaksakan dengan pasti terkait caranya, ini akan berbahaya & jadi resep gagal. Dalam memahami kompleksitas sistem, bisa jadi solusi yang well-engineered sekalipun bisa jadi tak cukup & tak relevan.

Manusia adalah sosok pengoptimal bawaan, terbiasa mencari cara untuk memecah sistem menjadi komponen yang lebih kecil, memahami input mana yang menghasilkan output tertinggi. Proses ini bekerja sangat baik dengan sistem yang kompleks, tetapi jika makin mengoptimalkan komponennya, membuatnya makin rigid & kurang fleksibel maka akan lebih mudah terganggu & gagal.Jauh dari adaptif.

Theory of Change

Memastikan kebermanfaatan. Pastikan sebuah tujuan yang dicanangkan berupa kalimat yang menunjukkan sebuah kebermanfaatan🤩

Dalam teori perubahan, tahapannya terdiri dari 1) Perumusan Masalah, 2) Input, 3) Kegiatan, 4) Output, 5) Outcomes & 6) Impact. Pastikan setiap kegiatan yang dilakukan mengarah pada Outcomes, bahasa lainnya adalah kebermanfaatan. Sesuatu yang bermanfaat akan mendatangkan dampak, dampak yang dihasilkan dari proses yang baik akan medatangkan keberlanjutan dikemudian hari🥁🥁

Kami sering menyebut outcomes sebagai tujuan yang perlu dicapai, kaya lainnya adalah manfaat (agar berkah)Jika sesuatu hal yang dilakukan bermanfaat, sudah dipastikan peluang keberkahananya jadi besar. Tapi mengapa masih berupa peluang? bukannya jika bermanfaat sudah pasti berkah?🤨

Dalam sebuah proses, memastikan tiap langkah proses dilakukan dengan baik sesuai dengan nilai-nilai integritas, menelusurinya dengan proses yang mindful, mengeksplorasinya dengan kesungguhan. Setiap prosesnya dipastikan baik, hingga probabilitas mencapai tujuan (keberkahan) meningkat😇

1. Jadikan outcomes sebagai tujuan, indikatornya menghasilkan kebermanfaatan. Jangan berhenti di output, karena indikator ini bisa mengelabui dengan angka-angka yang bias✔️
2. Menilai kinerja dengan ouput adalah sesuatu yang lazim, tapi memastikan mencapai outcomes adalah sesuatu yang beyond KPI. Sebuah perubahan perlu semangat beyond KPI✔️
3. Bisa saja kita mencapai output, namun tak mencapai kebermanfaatannya. Jika ini terjadi maka peluang terjadi kesia-siaan sangatlah besar, maka ini menimbulkan banyak ke-mubadziran✔️
5. Bisa juga kita mencapai output, tak peduli dengan prosesnya, maka ini akan menghasilkan keberuntungan (jika berhasil), percobaan selanjutnya belum tentu jadi lebih baik✔️
6. Sekedar mencapai output, tak menekuni proses maka rentan terjebak jalan pintas, yang dibutuhkan adalah akselerasi, bukan jalan pintas✔️
7. Keberkahan hadir karena sebuah inisiatif melahirkan kebermanfaatan, Ia juga hadir karena prosesnya dibangun baik, dilakukan dengan cara-cara yang etis & melakukan proses eksplorasi dengan niat yang tulus & keterbukaan✔️

Pastikan setiap hasil bermanfaat, yang lainnya mengikutinya🥳

Bagaimana Peranan CEO saat ini?

CEO, ungkapan ini ngga cuma mengungkap peranannya sebagai pihak yang mempimpin tim eksekutif. Dalam perjalanannya menuju visi perana CEO lebih banyak sebagai pemasok energi bagi anggota timnya. Karena Ia punya visi yang terpancar kuat dari dalam diri dan pikiarannya yang perlu disampaikan secara tepat bagi seluruh anggota timnya🤓

Perjalanan menuju visi kerap kali punya dinamika naik turun, maka peranan CEO juga adalah Chief of Energy bagi timnya. Tugas utama seorang pemimpin justru memberi energi dan memotivasi timnya. Jika di Google justru diperkenalkan Chief Mindfulness Officer atau bahkan beberapa perushaan mengganti nama peran-peran ini jadi Chief Inspiration Officer😇

Ini sangat jauh dari pandangan manajemen sebagai orang yang tidak berhubungan dengan tantangan anggota tim dalam kesehariannya, Ia juga adalah pencerminan dari perubahan sifat manajemen & lingkungan kerjanya🥳

Tantangan paling mendasar bagi para pemimpin adalah bagaimana Ia mampu memobilisasi, fokus, menginspirasi, serta mempertahankan energi dari mereka yang dipimpinnya. Dimulai dengan menjalankan apa yang dikatakan “Walk the Talk” serta berperan sebagai panutan pelaku dari “manajemen energi” yang terampil🚀

Tantangan inti kedua bagi para pemimpin adalah memberdayakan timnya untuk tumbuh, berkembang, dan berubah, “grow, develop & evolve”. 🦁

Banyak studi tentang leadership, hanya satu kualitas di antara para pemimpin yang ternyata memiliki dampak positif yang konsisten pada timnya, yakni “kapasitas untuk melihat potensi yang belum sepenuhnya dikenali dalam diri tim mereka. Ekspresi reguler dari energi positif bisa mengubah tempat kerja dalam waktu yang sangat singkat – the best leaders used their own positive energy to bolster their employees-😎

Leaders mempimpin bukan hanya dengan aksinya saja, tapi bagaimana bisa membuat timnya merasa bersama sepanjang perjalananusahanya, mengapresiasi & memandu dengan nilai-nilai positifnya☀️

Energy, after all, is contagious — especially so if you’re a leader, by virtue of your disproportionate position and power. The way you’re feeling at any given moment profoundly influences how the people who work for you feel- Tony Schwartz, 2010

Co-Creation, Radical Collaboration

Istilah Co-Creation tentu sudah familiar. Berkolaborasi bersama mitra & konsumen untuk menghadirkan solusi yang lebih kontekstual bagi kebutuhan pelanggan❤️

Dalam konteks bisnis, merujuk pada proses perancangan produk & jasa, proses ini melibatkan konsumen untuk mendapatkan input penting dari awal hingga akhir. Terminologi ini juga digunakan sebuah bisnis yang memperkenankan konsumennya memasukkan gagasan dalam desain & kontennya. Hingga usaha yang dibangun tak akan kehabisan ide produk yang ingin diciptakannya, mendekati masalah dari perspektif baru dan menghasilkan produk & proses yang lebih baik🥇

Beberapa jenis Co-creation yang sering dikemukakan antara lain ;
1. Collaborating: open contribution, customer-led selection
2. Tinkering: open contribution, firm-led selection
3. Co-designing: fixed contribution, customer-led selection
4. Submitting: fixed contribution, firm-led selection

Proses kolaborasi bukan hanya untuk mewujudkan sebuah produk yang dibuat bersama, namun lebih kompleks karena co-creation diwujudkan untuk melahirkan model bisnis baru yang diperlukan sebuah bisnis untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar dengan segala keterbatasan & kelebihan pihak-pihak yang akan bersinergi. Uniknya, kolaborasi model bisnis dilakukan pada bisnis-bisnis yang bisa saling berbeda, bertolak berakangan atau bahkan kompetitor sekalipun dimana dimasa lalu ini dirasa tak mungkin🤨

Semakin banyak model bisnis individual akan membentuk ekosistem yang saling berhubungan, membentuk proses baru & menghasilkan layanan yang benar-benar berbeda.

Lebih menarik bahwa dalam ekosistem bisnis sangat memungkinkan bahwa bisnis akan saling mengakselerasi, tak sikut-sikutan saling mematikan (idealnya). Lebih menarik lagi bahwa dalam sebuah ekosistem tak perlu memaksakan ada yang perlu tampil jadi pemimpin, Ia akan berlomba menuju visinya masing-masing dalam lingkungan keterhubungan yang saling menyehatkan🥳

Dimasa depan ini akan menjadi tren yang dinamakan Black Ocean, bukan lagi merah atau biru. Tempat dimana terjadinya beragam bentuk Radical Collaboration. Terhubungnya aktor-aktor yang semula tak berhubungan, jadi saling terkoneksi & melompatkan kemajuan eksponensial🚀

Proses Transformasi dari Ego-system ke Ecosystem

Komunikasi seringkali tak sungguh-sungguh menghasilkan makna & saling paham diantara pelakunya, karena aktor dalam proses komunikasinya hanya fokus pada bagaimana berbicara, lupa untuk fokus pada mendengar lebih dalam & menyimak.

Teori-teori perubahan banyak muncul dengan beragam tahapan. Untuk memulainya, hal fundamentalnya justru berasal dari kemampuan mendengar. Salah satu teori pentingnya adalah Theory U – Otto Scharmer dengan tahapan inisiasi proses transformasi dari Ego-system ke Ecosystem. Memberikan gambaran proses fundamental pengembangan leadership. Didalamnya banyak dialog dengan diri sendiri, membuka banyak sumber energi yang diperlukan untuk melakukan perubahan kolektif.

Pada intinya, teori U adalah terkait “presencing” yakni kombinasi antara Presence (kehadiran) & Sensing (merasakan). Dari sebelah kiri dimulainya Teori U adalah dengan tiga pilar keterbukaan yang kerap jadi blindspot dalam setiap upaya perubahan, yakni;

1. Open Mind (Meninggalkan kebiasaan lama & melakukan kebaruan)
2. Open Heart (Meningkatkan kapasistas untuk melihat masalah bukan dari kacamata diri sendiri tapi juga dari orang lain.
3. Open Will (Kapasitas untuk meninggalkan sesuatu yang lama & memberikan kesempatan baru untuk hadir dan tumbuh)

Tahapan teori ini bermula dari 1. Suspending, 2. observing & 3. sensing. Pada titik terendah U, adalah proses ke 4) Presensing, melepas banyak ego masa lalu, membuka beragam peluang terbaik dimasa datang. Pengalaman masa lalu & peluang masa depan beresonansi. Jika ini berhasil maka akan membuka banyak energi baru melompatkan banyak proses menuju perubahan.

Pada sisi kanan, tahapannya meliputi
5. Let Come. Lakukan proses eksplorasi nilai-nilai baru yang diinginkan masa depannya.
6. Crysrallizing. Proses kristalisasi dari niat & visinya, diterjemahkan dalam aksi nyata, fungsi & peran-peran yang ditumbuhkan dalam organisasi masa depannya dengan efisien
7. Embodying. Melakukan proses purwarupa dengan menghubungkan Head, Heart & Hands.

-When you as a change maker begin to see what you didn’t see before & at the same time, see your own part in maintaining and defending past patterns & thinking, real change can begin to occur.-Scharmer

Design Thinking Dari Masa Ke Masa

Lima hari workshop di Bali, ngulik pesatnya perkembangan Design Thinking dari berbagai proses aplikasinya.

Era digital, terlebih masa pandemik, sangat terlihat bahwa setiap organisasi lebih memiliki kesadaran untuk melakukan proses transformasi. Bagaimana membuat organisasi menjadi lebih adaptif dengan resiliensinya yang kuat. Salah satu kerangka berpikir yang paling kuat dilakukan dalam proses transformasi adalah Design Thinking, terutama kerangka pikir yang digunakan untuk melakukan proses reframing beragam tantangan yang dihadapi😎

Mengeksplorasi beragam cara melihat permasalahan dari jaman ke jaman mengalami evolusinya. Bagaimana sesungguhnya evolusi Design Thinking?

Tahap I🥁
Dalam proses evolusinya, pada awalnya tahun 1960-1980an kerangka berpikir ini digunakan lebih banyak bagi pengembangan produk, jasa, model bisnis dan rekayasa pengalaman. 🚀Keberhasilanya diukur dari pengeluaran litbang, modal, intensifikasi teknologi, paten, jumlah publikasi & jumlah produk baru.

Tahap II🥁🥁
Pada tahun 2000 hingga 2020an saat ini, kerangka berpikir Design Thinking berkembang lebih banyak untuk digunakan sebagai Digital Platform Enablers, pengembangan ekosistem bisnis, mengembangkan perilaku baru organisasi, dan beragam pengalaman pengguna (UX). 🚀Keberhasilannya diukur dari seberapa banyak outcomes yang berhasil diciptakan, proses, portofolio, resiko, return, klaser, efek jaringan, kemampuan penguasaan Design & System Thinking dan performa tim.

Tahap III🥁🥁🥁
Dimasa yang datang, 2040an diperkirakan dimana dunia sudah sangat kompleks terhubung. DT berperan untuk merancang beragam pengalaman, bertemu dengan AI yang semakin canggih, otomasi & komunikasi masal yang akan memecahkan beraham masalah rumit dalam peradaban manusia kelak. 🚀Keberhasilannya akan diukur dari ekstensifitas sistem dinamknya, kolaborasi, keterampilan masa depan yang didukung AI, Big Data Analytic dan kemunculan beragam komunitas dan modal ekosistem lainnya.

Makin rumit & canggih pasti. Namun semua kembali kepada nilai-nilai yang paling hakiki dari seorang manusia. Design Thinking adalah tentang empati yang kemudian prosesnya melahirkan beragam solusi yang memanusiakan❤️

Belajar lagi🚀🚀🚀