Enam Langkah Kolaborasi Penuh

Memfasilitasi perubahan kerap menjadi dilema kala melakukan proses pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan dengan cara tradisional biasanya mendominasi kegagalan proses perubahan. Caranya kerap kali mengacu pada keteraturan, stabilitas, dan kepastian.

Hal yang sering menjebak para organisasi tradisional diantaranya adalah pemimpin yang kerap kali tak terlatih dan atau tak terbiasa menghadapi peristiwa & kondisi yang tidak terduga. Padahal era VUCA inilah, dimana ketidak-terdugaan adalah makanan sehari-hari.

Kondisi ini memang sering mengarah pada kecemasan & kebingungan yang datang dengan kondisi ketidakpastian dan kompleksitas membuat serba bingung bahkan menghambat. Mendorong perubahan di era ketidakpastian memang membuahkan urgensi untuk paham framework perubahan untuk mendorong perubahan yang lebih baik.

Untuk pada agen perubahan, memfasilitasi penerapan budaya yang agile & kolaboratif bisa dilakukan melalui enam langkah di tingkat individu, kelompok dan organisasi. Langkah-langkah ini saling terkait erat dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain.

Bagaimana mengeser interes individu ke kesadaran berkelompok serta dari kompetisi ke kolaborasi, dari distrust ke trust? ini langkah-langkahnya (Zamora, 2018);

1. BELAJAR; pada fase ini kita perlu toleran terhadap kesalahan-kesalahan baru
2. INTERAKSI; peragakan dan berlatih untuk mampu menyimak secara aktif
3. INTEGRASI; wadah belajar yang paling efektif adalah dengan memiliki proyek bersama;
4. PERCAYA; pandu pergerakan dengan nilai-nilai budayanya, karena kondisi tak dapat diprediksi, maka TRUST adalah kunci kemajuan.
5. MENGHARGAI; setiap inisiatif dan respon akan berbeda-beda, maka disini kita belajar menerima setiap perbedaan;
6. DESENTRALISASI; melakukan proses delegasi pada tim atau squad yang dibentuk.

Untuk punya tim yang Self Coordinating tahapan diatas memang perlu dilakukan, jangan lupa dituntaskan. Hal ini didukung dengan kebijakan dan prosedur yang dilakukan secara konsisten satu sama lain di seluruh tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Jangan tergesa dalam melakukan perubahan, ikuti prosesnya. Ketika polanya mulai terbentuk prosesnya bisa diakselerasi. Ayo mulai sekarang!

How to Develop an Agile Team

Seseorang berkata; ā€œAh Agile! Ngga mungkin kalo leadernya ga Agile!ā€ Pernyataan ini benar, memang “Agile comes from the top” Pe-ernya adalah bagaimana sebenarnya membangun & menerapkannya ke dalam budaya. Kunci sukses terletak pada pada kapasitas tim yang self-coordinating.

Menjadi “self-coordinatingĀ team” memang penting, tapi kabar buruknya, memang ga gampang, tapi sangat mungkin diwujudkan!
Tim yang Agile secara kolektif memikul tanggung jawab penuh atas kesuksesan memberikan hasil, bersifat multifungsi, paham bahwa tim ini akan bekerja secara kolaboratif, kohesif & bekomitmen sepanjang proyeknya.

Ada di tiga tingkat menurut Cooplexity Model dariĀ Ricardo Zamora
1.Individu; sikap & bakat.
2.Lelompok; komitmen & keselarasan.
3.Organisasi; perubahan budaya.

Faktor kunci memfasilitasi integrasi & perubahan budaya adalah memecah silo, meningkatkan koordinasi antar & intra-tim, menyelaraskan tujuan, memfokuskan organisasi pada tujuan dengan cara;

1. Tujuan; Innovation & Efficiency.
Keberhasilan dalam dunia yang berubah-ubah artinya adalah beradaptasi dengan berinovasi & melakukan hal-hal baru dengan lebih efisien pada hal-hal yang sama kala sumberdaya menipis.

2. Kunci: Communication & Knowledge.
Memahami dengan proses interaktif dalam membangun realita yang baru. Pengetahuan dibangun melalui pengalaman & interaksinya.

3. Energi: Entrepreneurship & Proactivity.
Di era ketidakpastian, memang lebih beresiko jika tak melakukan apa-apa dari pada melangkah walau salah arah. Proaktivitas, adalah inisiatif & eskperimen yang akan menjaga pergerakan untuk terus beradaptasi.

4. Magnet: Teamwork & Commitment.
Proses keseluruhan dari penyelarasan tujuan bisnis diraih dari hasilnya dengan memastikan keterlibatan & fokus pada priorotas utama.

5. Pendekatan: Distributed Leadership & Coordination.
Kepemimpinan yang terdistribusi penting untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk munculnya desentralisasi self-coordination & koordinasi spontan

6. Kerangka Kerja: Complexity & Uncertainty. Masyarakat global yang saling terhubung jadi saling ketergantungan, hingga masalah mengelola kompleksitas menjadi perhatian utama.

Gimana tim kamu siap?šŸš€

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan

Jangan lupa, bahwa saat ini ga cuma model bisnis yang membuat sebuah organisasi menjadi pemenang dalam bidangnya. Atau bahkan kita perlu mendefinisikan kemenangan itu sendiri.

Model bisnis yang baik saat ini adalah yang mempu menginisasi ekosistemnya menjadi sebuah wadah dimana ia berakselerasi mencapai tujuannya. Nah, tujuan inilah yang menjadi kriteria kesuksesan, tidak lagi bermuara pada besaran, kecepatan / bahkan keunggulan. Kemenangan perlu didefinisikan sudah sejauh mana kita langkah mendekat pada tujuannya.

Setiap model bisnis organisasi memiliki tujuan masing-masing, namun dalam prakteknya setiap bisnis punya irisannya hingga membentuk ekosistem yang mewadahinya melakukan percepatan pencapaian tujuannya.

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan. Bahkan perusahaan besar dalam proses transformasinya Ia bergeser untuk menjadi pemberdaya bagi ekosistemnya, hingga Ia justru menjadi hub-nya. Contohnya, perusahaan listrik di Eropa misalnya, Ia tak lagi berlomba menjadi penghasil listrik. Tapi meng-engcourage masyarakat menghasilkan listrik paling ramah lingkungan & Ia menggeser kedudukannnya sebagai penghasil menjadi hub, orkesreator ekosistemnya menjadi inklusif.

Dalam ekosistem, memang perlu dibangun kesepahaman, ada nilai yang dibagi bersama. Peneliti Universitas Islam Azad Aghajani Hashjeen, dkk., menuliskan bahwa kreativitas & inovasi akan sangat bergantung pada struktur organisasinya.

1. Makin fleksibel suatu organisasi & makin bergerak menuju struktur organik, semakin banyak kreativitas yang dipupuk (& sebaliknya).
2. Makin formal suatu organisasi (penekanan pada aturan), makin banyak kreativitas terkubur
3. Makin kompleks organisasi, semakin tidak kreatif.
4. Semakin terpusat suatu oxrganisasi, semakin berkurang kreativitasnya.

Usaha-usaha yang agile, membentuk ekosistem & mengarah pada semakin banyaknya kreatifitas, makin inovatif meski mereka punya tujuan berbeda. Jangan lupa libatkan masyarakat. karena konsep shared value akan menghubungkan kesuksesan organisasi dengan keberhasilan masyarakat & mendorong gelombang inovasi sosial baru secara masif jadi titik temu orientasi bisnis & sosial.

Membangun Tim yang Adaptif

Membangun tim yang adaptif menjadi prasyarat usaha yang baik, apalagi diera digital saat ini menuntut tim bergerak cepat dan melakukan beragam trial & error untuk menemukan momentum disruptifnya kelak.

Tim yang layak, minimum memenuhi kriteria sebagai Minimum Viable Team, berikut :
1. Tujuan bersama (Common purpose )
Founders Fit & Shared Vision yang kuat. Visi bersama adalah perekat tim. Disinilah semuanya dimulai. Perlu sadar penuh Big Why, mengapa tim ini dibentuk sejak awal? Mau kemana bertujuan apa?
Tujuan-tujuan ini tidak selalu harus mudah. Bahkan lebih baik untuk membuat tujuan yang menantang, jauh & mengundang imajinasi. Tim perlu mendapatkan energi dari visi & purposenya yang BHAG! (Big Hairy Audacious Goal)

2. Peran yang Jelas (Clear roles)
Siapa yang memainkan peran apa dalam tim? Tim perlu memikirkan semua hal yang diperlukan untuk membuatnya sukses menjadi outcomes bersama. Kita bisa membagi peran menjadi Hacker (substansi teknologi), Hustler (Pemasaran) & Hipster (Kreatif) misalnya. Tetapkan tanggung jawab setiap peran sejelas mungkin.

3. Jumlah minimum karyawan
memang sebaiknya tidak kurang dari 3 anggota. Pastikan perannya terbagi dan saling mengisi. Masing-masing individu memastikan berkomunikasi dan bekerja dengan selaras bahwa setiap inisiatifnya menuju pada goals yang disepakati.

4. Kepribadian yang seimbang (Balanced personalities)
Ngga cuma tentang peranan, tapi ternyata personality individu didalamnya pun perlu keseimbangan kepribadian yang tepat. Ini juga penting untuk saling mengisi & saling melengkapi tim. Dari perbedaan ini kemudian diikat dengan Chemistry Team-nya, maka dalam timnya akan dibutuhkan personality sebagai 1) Pioneers, 2) Drivers, 3) Integrators dan 4) Guardians. ini ā€˜dijelaskan dalam konsep Beblin Team agar memiliki tim yang seimbang.

5. Tujuan Terukur (Measurable Objectives)
Kita memiliki tujuan dan/atau tujuan bersama. Tim perlu lengkap dan dijaga untuk mencapai tujuannya dengan cara terbaik. Jangan lupa mengukurnya, jika tak mengukurnya, satu saat akan bergerak justru menjauhi tujuan. Cara paling terkenal mengukur kesuksesan adalah menggunakan metode OKR (Objective Key Result).

Nah bagaimana tim kamu?

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal

Masih tentang Collective Genius. Membangun tim apalagi ekosistem memang menjadi penting untuk membinanya melalui proses yang memiliki proses yang mewadahinya bagi tempat tumbuhnya sense of purpose, shared value dan rules of engagement-nya. 

1. Purpose, mengapa kami hadir.
2.Shared Value, apa yang disepakati adalah hal penting
3.Rules of Engagement. Bagaimana kita bisa berinteraksi satu sama lainnya terkait masalah.

Seiring dengan itu, ekosistem ini akan sangat efektif dan melompat jika didorong untuk melakukan lompatan. Komunitas sangat bisa menumbuhkan kapabilitas inovasinya, bagaimana caranya? Linda Hill, mengungkapkan tiga hal penting membangun kapabilitas ekososistem Collective Genius;

1. Torehkan kreativitasnya (Creative Abrasion), kemampuan membangkitkan gagasan melalui berbagai diskursus dan perdebatannya. Apalagi jika kemudian Ia membangun kapabilitas inovasinya. Konflik ada dinamika, selesaikan dengan gagasan-gagasan gila yang sehat.

2. Tingkatkan ketangkasan kreativitasnya (Creative Agility) dimana mulai dibangun kekuatannya untuk melalukan eksperimen yang menghasilkan dengan cepat, merefleksikan kemudian memperbaikinya (Design Thinking)

3. Resolusi Kreatif. Kapabilitas untuk memiliki pengambilan keputusan yang integratif, yang menggabung-gabungkan gagasan dengan beragam cara serta memperluas perspektifnya hingga ia justru saling memperkaya.

Ketiga aspek ini penting dibangun untuk melakukan berbagai lompatan, dilakukan dengan serius dan konsisten. Jika ketiga hal ini dijalankan dengan konsisten, dengan innovative leadership yang sungguh-sungguh! Tak diragukan bahwa bersatu padu membangun kapasitas menjadi sebuah Collective Genius! 

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal. Culture, adalah minat yang kuat dalam melakukan upaya keras dan mengarah pada inovasi. Capabilities adalah kemampuan yang dimilikinya hingga Leadership terkait seni dan prakteknya dalam mencipta ragam inovasinya.

Selamat meracik Culture, Capabilities, Leadership di ekosistem kamu!

Melompat!

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift!

Perubahan dilakukan diatas perubahan, sebuah ungkapan yang tak lagi bisa dielakkan. Berbeda dengan masa lalu bahwa sering kali kita banyak mempersiapkan segala sesuatunya hingga sempurna kemudian mulai melangkah.

Era perubahan saat ini tak lagi cukup waktu untuk melakukannya secara serial, satu persatu karena momentum perubahan begitu cepat hingga diperlukan strategi berbeda. Apalagi saat ini cara kerja, tata kerja & bagaimana mengelola organisasi menjadi sangat berbeda. Karena model bisnis dan proses bisnisnya sangat jauh berbeda dengan kehadiran teknologi informasi dan digitalisasi yang makin kencang, menjadi sangat penting melakukan proses transformasi budaya.

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift, perlu merancang tangga perubahan yang terukur, membuat organisasi menjadi semakin lincah, matang dan pada setiap masanya akan semakin akseleratif. Setiap proejct atau program yang dilakukan idealnya akan membuat organisasi menjadi lebih paham dan lebih baik, selangkah lebih maju pada proses transformasinya.

Cultural shift menghasilkan layaknya gunung es yang membesar, semakin stabil. Semakin baik produk yang dihasilkan, semakin baik pula organisasinya, menyeimbangkan proses yang holistik, bahwa setiap perjalanan project membuahkan proses Cultural shift  semakin baik.

Untuk itu dalam memastikan proses transformasi, pendekatan & kerangka kerja yang digunakan pada setiap project perlu dipastikan relevan dengan zaman, memastikan proses pemberdayaan berjalan. Pendekatan masa lalu yang hierarkis misalnya, tak relevan lagi untuk melakukan Cultural shift karena perubahan tak tersebar pada semua lini organisasi, kunci inovasi hanya berada pada satu titik teratas, pimpinan. Pastikan kerangka kerja yang baik mampu secara perlahan membuat organisasi bergeser dari profit ke purpose, hierarki ke network, controlling ke empowering, planning ke eksperimentasi serta dari privasi ke transparansi.

Cultural shift adl sebuah proses, memulainya sesegera mungkin akan menjadi lebih baik ketimbang selalu merasa percaya diri atas keunggulannya saat ini sedangkan pihak lain berproses membenahinya sedikit demi sedikit, kemudian menemukan momentumnya & melesatšŸš€šŸš€

Culture Shifting

Perubahan adalah hal yang paling penting dilakukan organisasi-organisasi yang ingin tetap adaptif, tak bisa dipungkiri perubahan adalah keniscayaan.

Di perubahan era ini tak lagi kita bisa melakukannya secara serial, tapi secara paralel bagaimana organisasi bisa menjadi tangkas? Cultural Shift selalu menjadi isu penting dalam mengubah budaya jadi lebih baik. Kerap organisasi melakukan proses perubahannya dengan memperbanyak pelatihan, sosialisasi atau dengan beragam media yang Ia gunakan untuk melakukan propaganda perubahan budayanya.

Tak bisa tiba-tiba sebuah organisasi yang mengidamkan Cultural Shift dalam waktu singkat. Apa media terbaik untuk mengakselerasi perubahan? Tidak lain adalah dengan menjadikan organisasinya sebagai organisasi pembelajar. Cara-cara baru dilakukan melalui kegiatan-kegiatan nyata, proyek-proyek nyata yang semakin baik & semakin baik lagi.

Setiap kegiatan menjadi media belajar untuk menjadi makin baik dari segi produk dan manajemennya, begitu juga dengan organisasinya.

Jika pada setiap kegiatan kita merasakan selalu bermula dari nol, maka aktivitas & kegiatan yang telah terjadi bukan hanya tidak jadi bahan belajar serta produk yang tak sukses. Sesungguhnya yang menderita adalah organisasinya, menjadi lelah karena setiap pembelajaran tak terinstitusionalkan, pun jadi melelahkan tak berprogres.

Pastikan tiap project jadi wadah belajar, tersedia artefak, dibagi pengalamannya hingga dihindari kesalahan lalunya. Hingga membuahkan organisasi yang berhasil melalui Culture Shiftnya.

Tak ada yang instan, yang ada adalah proses yang terakselerasi dengan baik &bertahap. Komitmen kuat jadi fundamental tiap anggota untuk melakukan proses perbaikan terus menerus serta proses eksperimental terukur & dilakukan terus menerus.

Salah satu yang direkomendasikan untuk melakukan Culture Shifting dengan pendekatan proyek adalah dengan kerangka kerja Scrum.

Scrum sangat menekankan lingkungan kerja yang safe-to-fail karena inovasi berawal dari orang-orang yang tak takut untuk terus menerus belajar & mencoba hal yang baru. Sangat cocok untuk organisasi yang rendah-hati untuk terus belajar & menekankan budaya continuous learning mengedepankan inovasi.

Jangan tergesa, nanti jadi chaos!

Tergesa bisa jadi racun paling hebat dalam sebuah proses inovasi. Walau banyak pembenaran ketika hal-hal cemerlang biasa ditemukan ketika tenggat waktu tersisa sangat terbatas, biasa jadi validasi kaum Deadliners.

Dekade ini semakin banyak para organisasi unggul yang muncul dengan kecepatan inovasinya. Namun sering kali bagi mereka yang jarang berlatih, melihat fenomena ini hanya dipermukaan, bahwa mereka terlihat punya cara & produk canggih! Yang sering tak terlihat adalah bagaimana ketekunannya melahirkan inovasi & melakukan proses memahami masalah, proses trial & error yang frekuentif, proses komunikasi yang intens, bagaimana timnya intens memvalidasi & meramunya dalam tahapan proses dalam beberapa sprint hingga idenya tervalidasi.

Ketergesaan adalah tantangan paling nyata, apalagi jika tim mendamba proses inovasinya bisa bertahan lama & sustain hingga prosesnya melahirkan sebuah inovasi disruptif kelak. Yang kerap muncul terutama di pegiat startup adalah merasa idenya paling cemerlang, solusinya paling jitu & tepat. Ketergesaan ini sering identik dengan Fast Thinking.

Para Fast Thinkers sering melupakan tahapan bergagasan, lupa memvalidasi masalah, lupa apa sebenarnya yang ingin dituju hingga kebenaran berpusat pada dirinya. Padahal dalam sebuah inovasi, tahapan mencari insight akan sangat membantu pemahaman kontekstual. Insight yang membantu solusi menjadi beyond jutsu berasal dari bagaimana meramu gagasan-gagasan dari berbagai sudut pandang. 

Kebalikan Fast Thinkers adalah Slow Thinkers. Slow tidak identik dengan lama & lamban! Karena slow ini diidentikan dalam proses inovasi sebagai tahapan memahami & menggagas tujuan mencari insight & cakrawala seluas-luasnya & memvalidasi gagasan pada objek permasalahannya. Walau Slow, justru inovasi bisa berlangsung cepat dan beyond.

Kenapa? Framework-framework modern sudah banyak tersedia dengan kerangka waktu yang terukur, Scrum, Agile, Design Thinking misalnya. Namun memang, budaya Slow Thinkers ini perlu dilatih, karena ini adalah wujud nyata “melting pot”-nya inovasi dari mindset, skillset hingga toolset. Sebuah organisasi perlu berlatih mematangkannya dari waktu ke waktu. Jangan tergesa, nanti jadi chaos!

Profesi x Peranan

Bergesernya zaman karena perkembangan teknologi & digitalisasi membuat banyak paradigma & nilai-nilai bergeser.

Beruntung bagi individu yang terpercik perubahan, kemudian ia berangsur meningkatkan kapabilitas adaptasinya & menjaga performanya hingga Ia tak tertinggal dari jaman yang berjalan lebih cepat tiap masanya.

Pergeseran jaman mengakibatkan perubahan kebutuhan individu dalam keseharian/pekerjaannya. Era di masa lalu tiap orang mendamba profesi yang lekat pada dirinya, melakukannya atas dasar kompetensinya. Bekerja.

Masa kini & datang adalah era dimana pentingnya melekatkan keahlian & keilmuan dengan beragam konteks yang berbeda, hingga menjadi kebermanfaatan dalam bentuk yang unik untuk tiap peranan individunya. Karakter penghuni jamannya pun sangat berbeda, mereka bergerak dari kebutuhan sekedar berprofesi ke berperan, berkarya.Ā 

Generasi ini mendamba otonomi, kurang percaya pada otoritas, hidup lebih pragmatis & solution-oriented. Makin muda, makin juga tak suka hal-hal hierarkis, juga banyak menentang norma konvensional yang sudah kadung tumbuh di masa lalu dengan nilai-nilai baru. Mereka lebih mendamba untuk bisa mengkontekstualkan profesi & kompetensinya dengan hal yang Ia suka & jadi bermanfaat bagi sekelilingnya. Berdampak, istilahnya.

Mengapa penting memilih mengambil ā€œPeranā€ ketimbang hanya berprofesi? Karena peranan sangat identik dengan tersedianya ruang inisiatif yang mendorong terciptanya ruang-ruang eksperimen & kontekstualisasi yang utuh dari pada sekedar menerima instruksi yang mengekang kebebasannya mengaktualisasi kreatifitas yang menjadi gambaran karakter pekerjaan generasi lama.

Dalam peranan, ada ruang tumbuh untuk mendapatkan kebebasan berekspresi yang menjadi hal paling penting. Peranan bukan sekedar memberikan sesuatu yang benar, tapi membawa temuan-temuan baru yang memberikan dampak nyata sesuai zamannya.

ā€œPeranan adalah melekatkan kemapuan keilmuan & manfaatnya pada masyarakat & lingkungan, kemudian meluaskan keterampilannya untuk membawa kemajuan bagi sekeliling” Tiap individu berhak memilih & memformulasikannya sesuai dengan ilmu & passionnya. Bunyamin, dkk 2020

Innovator’s dilemma – Part II

Innovator’s dilemma, sebuah kondisi dimana pada saat market leader menjadi gamang, ragu-ragu atau bahkan menjadi tak mau melakukan inovasi radikal. Kondisi inii dipicu oleh karena institusinya sudah merasa besar, unggul & tak tersaingi hingga ada rasa cinta & rasa percaya diri yang muncul secara berlebihan.

Menjadi besar & memimpin pemimpin pasar, memang kerap kali berimbas pada munculnya arogansi & rasa percaya diri yang berlebihan. Banyak usaha atau organisasi besar justru terjebak dalam innovator dilemma. Sejarah banyak mencatat, yang mati justru usaha-usaha besar populer seperti halnya Nokia – terseok, kemudian mati dengan cepat dalam kesunyian ditinggal marketnya yang tiba-tiba beralih cepat & senyap. Kecepatan perubahan begitu signifikan, tren yang cepat berganti & usang & tidak relevan, kemudian suatu saat waktu tiba-tiba duduk terdiam dalam tatap kosong menyesali keterlambatan yang harganya sangat mahal.

Dilema inovator ini juga bisa diakibatkan oleh ketakutan bahwa inovasi yang telah diciptakan pada masa lalu ini kelak justru akan berakibat buruk dengan mengkanibal produknya sendiri. Beberapa perusahaan yang pernah mengalami ini dengan kepercayaan dirinya yang berlebih contoh saja Nokia yang dulu pernah menyebut Android sebagai semut kecil merah yang mudah digencet & mati.

Disaat yang sama, kebiasaan trial & error para Startup sebelum masa pandemik di era digital justru menjadi wadah berlatih paling jitu, mereka menemukan momentum untuk menyalip para raksasa yang nyaman dengan kebesarannnya terlena berjaya dalam perbagai bidang, padahal pelan-pelan terjebak innovator dilemma, terbuai & lengah atas begitu dramatis kecepatan kemajuan era digital ini. Organisasi kecil-lincah kemudian menggurita karena menemui momentum distrupsinya.

Era saat ini musuh yang menakutkan bisa datang dari arah atau wujud yang sama sekali tak terduga, atau bukan sama sekali yang apple to apple. Mereka bisa datang dari jenis industri lain, tiba-tiba memaksa masuk membuat pelaku lama goyah & dipaksanya berhenti. Pada akhirnya, bagi yang mampu melakukan constant innovation akan melenggang di era baru dengan beragam produk yang inovatif.