Pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya

Sehari-hari saya bersama mahasiswa, kebetulan mereka penikmat micin, sering kami menemukannya kesulitan menikmati makanan enak berbumbu alam asli. Anak-anak ini sepanjang pendidikannya memang mengenal mengunyah itu 30x, tapi sering kali makan dengan cepat (?).

Mengunyah lama memungkinkan tubuh mengekstrak nutrisi dalam jumlah paling besar dari makanan yang dilahap, itu isi materinya. Namun, dalam proses belajarnya tak mengajarkan cara menikmati 30x mengunyah intens, hingga Ia bisa tau beragam rasanya, menikmati bumbu & tekstur berbagai indera perasa & pengecapnya. Hal inilah yang jadi sebab mengapa mereka kehilangan mindfulnessnya dalam ritual makan.

Hal diatas adalah sebuah analogi, terkait mengapa kita perlu sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan yang orientasinya untuk membersamai pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya lengkap dengan cara pandang yang tepat dengan nilai-nilainya. Sering kali dunia pendidikan kita memang tersesat dengan ritual, entah itu dinamakan pembiasaan atau kewajiban-kewajiban formalistik yang diperkenalkan tanpa makna hingga kehilangan arti & nilainya.

Aktivitas belajar yang semestinya membawa pembelajar mencintai proses belajar justru terjebak pada aktivitas tanpa makna. Bisa jadi karena kita banyak belajar substansi tanpa konteks, membuat siswa kehilangan daya kritis & kemampuan adaptasi dengan keadaan yang berbeda hingga cukup menantang baginya untuk bisa tetap relevan.

Perlu kita renungkan apakah lembaga pendidikan kita kini tak lagi berani bicara lantang tentang substansi yang kontekstual di mimbar-mimbar akademiknya & kemudian terbawa pada ruang-ruang belajar? Jadi teringat sebuah grup WA akademisi yang lebih sering muncul adalah ucapan selamat dari pada berbicara gagasan atau substansi, jika muncul substansi malah tak terbahas lugas.

Mendampingi belajar cara menikmati & menginternalisasinya memang perlu proses, waktu & kesabaran (Kurikulum), beda dengan mewajibkannya ritualnya saja yang cepat. Tugas pendidikan justru bukan untuk semata-mata tahu & mengerjakan ritualnya, tapi justru menginternalisasi maknanya yang mendorongnya secara sukarela Ia melakukan aktivitasnya.

“Creating the Best Workplace on Earth”

Baca lagi artikelnya Rob Gofee & Gareth Jones, tentang “Creating the Best Workplace on Earth” ada satu ungkapan menarik bahwa ruang karya adalah ruang dimana individu-individunya diakmodasi oleh perusahaanya dengan beragam keanekaragamannya, mereka sering terjebak pada membatasi diri pada kategori keragaman tradisional seperti gender, ras, usia, etnis & sejenisnya.


Namun saat ini justu yang paling didamba adalah bagaimana ruang karya bisa mengakomodir perbedaan perspektif, kebiasaan berpikir & asumsi. Organisasinya jadi wadah dinamis menghasilkan banyak inovasi baru karena kaya gagasan.


“Let People Be Themselves”
Organisasi yang kaya gagasan berbeda & membiasakan diri menyatukannya akan berlari lebih kencang, dan ini lazim pada organisasi yang inovatif. Ruang karyanya memperkenankan beragam inisiatif berbeda namun dipastikan mereka mengarah pada hasil.

Organisasi bisa kita bentuk menjadi tempat dimana setiap orang menjadi dirinya sendiri & berbaur -Let People Be Themselves- , kegembiraan itu akan hadir, pemimpinnya pun akan membawa timnya untuk fokus pada kekuatan individunya, bergerak karena melihat aset yang dimiliki, bukan “deficit focused”.

Magnify People’s Strengths
Keleluasaan berkarya bisa jadi karena prinsip organisasi yang dianut adalah bagaimana melakukan upaya “Magnify People’s Strengths”, membuat karyawan terbaiknya menjadi lebih baik, paling tidak lebih baik dari yang pernah mereka bayangkan. Tiap orang tumbuh bersama.

Stand for More Than Shareholder Value.
Memberikan ruang agar individu didalamnya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, mendekati pada sesuatu yang dapat mereka percayai adalah perjalanan proses yang bermakna.

Sudah menjadi hal yang biasa untuk menegaskan bahwa organisasi membutuhkan makna bersama “shared meaning”, Tapi shared meaning ini lebih dari sekadar memenuhi keinginan individu/organisasinya, ini tentang bagaimana menempa & memelihara hubungan yang kuat antara nilai-nilai pribadi & organisasinya bersamaan.

Shared meaning is about more than fulfilling your mission statement—it’s about forging powerful connections between personal and organizational values – Gofee

Tipe organisasi bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Perbincangan menarik dengan sahabat saya malam ini, teman yang sering kali jadi lawan bicara terkait mimpi masa depan. Mungkin mimpi kita memang kadang kala ngga muat dengan organisasi yang kita diami saat ini.

Wadah yang seperti apa sebenarnya yang membuat kita bisa begitu energik dalam melakukan setiap langkah karya kita dengan bahagia? Dimana kita bisa sebebas mungkin membawa mimpi & membumikannya. Tipe organisasi ini bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Difference – “I want to work in a place where I can be myself.” Ketika tempat bekerja kita menjadi tempat yang mewadahi diri kita apa adanya. Bisa menjadi diri sendiri dan saling melengkapi dengan kawan lain.

Radical honesty – “I want to know what’s really going on.” Jujur, tak banyak drama hingga segala sesuatu tentang proses berkarya menjadi terang benderang, kejujuran ini sering kali menghilang atas nama menghormati pimpinan atau rasa segan sesama tim.

Extra value – “I want to work in an organization that makes me more valuable.” Tempat bekerja bukanlah hanya sekedarnya jadi tempat biasanya bekerja, tapi justru menjadi wadah yang membuat setiap individunya menjadi lebih bernilai.

Authenticity – “I want to work in an organization that truly stands for something.” Tempat bekerja yang otentik adalah tempat dimana kita memang bekerja karena kesungguhan mencapai tujuan, fokus dengan goalsnya, teguh karena purposenya.

Meaning – “I want my day-to-day work to be meaningful.” Setiap harinya memberikan banyak pembelajaran, menumbuhkan nilai yang berarti & memberikan semangat yang meletup karena banyak makna baru hadir.

Simple rules – “I do not want to be hindered by stupid rules.” Poin terkakhir ini banyak terjadi di beragam organisasi, kala banyak aturan mengekang. Saat ini, justru nilai-nilai dan integritaslah yang menjadi dasar segala eksperimen inovatif yang diperlukan untuk melompatkan inovasi jauh diatas harapan. Nilai ditumbuhkan dengan membangun budayanya.

Buat kamu yang punya tempat kerja belum ideal mewadahi mimpi kamu, yang sabar yaa! Ada kalanya memang seorang agen perubahan menjalani mimpinya terlebih dahulu dari pada yang lainnya, proses petualangannya akan seru dan menantang!

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Melihat penggusuran beragam Aset PT. KAI membuat ingatan kembali ke tahun 2009 kala Kereta Api Indonesia memulai transformasinya dibawah tokoh transformatif Ignatius Jonan. Juga teringat konsep “Innovator’s Dillema”, yang besar akan kalah meski Ia merasa berinovasi, kalah dari mereka yang melakukan inovasi disruptif.

Sebagai penduduk di

Kota tempat PT.KAI berpusat, kami melihat langsung perubahannya, yang sangat terasa diawal adalah perubahan mindset orang-orangnya, jelas bergerak dari product oriented jadi customer oriented. Bisnisnya berkembang pesat setelah menjadi sebuah User Centric Company.

Sebelumnya KAI bekerja berdasarkan produk yang dimiliki & tidak memikirkan apa yang dibutuhkan pelanggan. Perubahan mindset adalah proses panjang, bukan sulap yang bisa dikerjakan dalam semalam. Dirawat dalam kesehariannya, & dikerjakan tiap hari, maka perubahan lain yang terlihat adalah kumpulan action setiap hari.
Melahirkan outcomes!

Lanjutnya adalah konsistensi, upaya paling memantang sambil menemukan ramuan model bisnis yang menyeimbangkan Desirability – Feasibility – Reability yang pas menjadi perjalanan perbaikan panjang melahirkan keberhasilan transformasinya.

Hal menarik juga adalah Agile Leadership yang diterapkan, Action speaks louder than words, tidak boleh ada kepentingan pribadi dalam tugas. Leader langsung tampil di lapangan, turun ke lapangan & merasakan persoalan yang ada & memberi contoh.

Jika merujuk pada proses difusi inovasi, contoh KAI persis sama yakni terdiri dari tiga kelompok besar pegawainya 1) Enggan berubah, 2) Bingung, dan 3) Ingin berubah.

Transformasi diurai dalam roadmap perubahan selama lima tahun, dan konsistensinya membuahkan 95% jadi pegawai mau berubah.

Kepemimpinan adalah tentang memberi contoh, merasakan pada setiap aspek teknis yang bermasalah, hingga dibungkus menjadi kebijakan. Hal yang lebih menarik sebenernya adalah keberhasilannya memastikan keberlanjutan, melahirkan legacy organisasi yang tidak tergantung pada pihak lain & kaderisasi profesional. Jadi ketika perlahan asset-asset KAI menjadi jauh lebih baik, ini adalah buah kerja keras transformasinya.

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Bincang bersama @daarut.tauhiid@smkdaaruttauhiid tentang pendidikan yang transformatif, mengemukakan lagi betapa pentingnya kita menyegerakan proses pendidikan yang kontekstual dengan jaman, yang relevan dengan perkembangan teknologi namun tetap dengan benang merah nilai-nilai luhur yang menjadi landasan setiap insan untuk menggali beragam kreatifitasnya menghadirkan dampak positif bagi sekelilingnya.

Tantangan jaman yang berbeda, perubahan yang cepat memiliki problematika yang berbeda pula. Begitu pula dengan cara-cara memahami permasalahan, cara berpikir kritis. Ditambahkan dengan cara-cara baru bersolusi, creative thinking. Solusi yang benar-benar membawa dampak baik karena benar-benar paham terkait masalah yang dihadapi.

Pendidikan kewirausahaan, sering kali jadi jargon banyak sekolah, tujuannnya jadi pebisnis. Padahal kewirausahaan itu sebenarnya adalah wadah belajarnya saja. Justru yang dituju adalah jiwa, keterampilan dan nilainya yang penting untuk diambil. Kemampuannya berpikir kritis, kreatif dalam bersolusi dan menjaga dirinya untuk tetap konsisten mencapai tujuannya hingga Ia mendatangkan kebermanfaatan.

Dalam menggiring seseorang dalam proses pendidikan, bentuk kewirausahaan itu dapat diaktualisasikan dalam minimum tiga peran;

1. Berwirausaha; Jika Ia Ingin berwirausaha, mengembangkan usaha mandiri, inovatif berdampak bagi lingkungan sekitar

2. Intrapreneur; Jika Ia ingin memiliki profesi sesuai dengan kompetensinya, memiliki leadership dan Business Acumen yang baik bagi organisasi tempatnya bekerja.

3. Gig, Contingent workers, jika Ia ingin memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi dengan beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan dan melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak

Ujung dari pendidikan adalah manusia bermanfaat. Untuk itu menjadi tugas bersama jadi ekositem yang saling sinergi memastikan proses pendidikan melahirkan manusia bermanfaat yang terencana, hingga memperbesar peluang keberhasilan mewujudkannya. Tantangan saat ini tentu sangat besar, mengubah paradigma, membawa paradigma yang lebih relevan & mencipta solusi-solusi yang lebih baik.

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Satu hari saya kesulitan menghubungkan bluetooth saya hingga imusic tak kunjung menyala di kendaraan, akhirnya menyerah. Kemudian ditelusurilah saluran radio yang sudah lama sekali tak disentuh ketika berkendara.

Kebetulan seorang kawan radio yang lama tak jumpa, menghubungi melalui Whatsapp berkabar tentang nomor barunya, kemudian Ia bercerita tentang sebuah stasiun radio yang tempat Ia bekerja saat ini. Ternyata radio itu adalah saluran yang saya sering kali saya setel tak sengaja & jadi ketagihan.

Dari pembicaraan itu kemudian lihat webnya, ada kalimat menarik terkait purpose radio itu hadir, di halaman pertamanya dituliskan “Menyajikan musik yang memberikan perasaan senang, sehingga memberikan pendengarnya energi/vibe positif” terus terang saya kaget! Mengapa, karena jarang sekali sebuah usaha menuliskan konsep “The Jobs To Be Done” dengan lengkap dan tepat!

Jika dalam penetapan segmen konsumennya bukan mengarah pada genre lagu, atau usia dan gender apa, tapi lebih ke outcomes customer. Di radio ini didefinisikan sebagai “perasaan & mood pendengarnya setelah mendengar lagu di radio ini”. Lebih nyentrik lagi karena ungkapan “gak perlu jadi radio nomor 1….yang penting kalo bosen sama radio nomor 1 di channel kamu, bisa kali dengerin Voks!” keren!

Dibalik kalimat ini saya duga ada model bisnis menarik, karena biasanya usaha menggunakan TJBD yang baik berasal dari ide & organisasi yang inovatif. Nama radio ini VOKS!  salah satu inovasi bagaimana menghidupkan lagi radio dan me-relatekannya di era digital.

Pas dilihat, dari sudut pandang model dan proses bisnis ternyata unik banget! Model bisnisnya sebagai corong Kutus-kutus, sebuah produk Minyak Balur. makanya namanya VOKS, Voice of Kutus-Kutus! Dibuat sebagai radio jaringan untuk mendistribusikan Kutus-kutus.. jadi biaya iklan rupanya berputar jadi corong marketing inovatif pada jejaringnya sendiri, keren!

VOKS Radio jika di Jogja masih terdengar baru ini sebenarnya sudah dulu bernama Rakosa yang kemudian diakuisisi oleh pemilik PT. Kutus Kutus Herbal yakni Bambang Pranoto. Sekarang ada dibanyak kota! Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Kemampuan Critical Thinking

Terburu-buru menilai, memutuskan & menyimpulkan. Proses ini biasanya disebut sebagai fast thinking, menyebabkan seseorang kehilangan objektifitasnya & kemampuan berpikir kritisnya seketika jadi lenyap. Hal ini juga terjadi ketika ternyata mayoritas berkata sama hingga jadi ukuran kebenaran. Apalagi orang-orang ternama juga yang juga tergesa menyimpulkan menjadi rujukan pembenaran.

Kasus Baim mendaftarkan Haki Citayam Fasion Week menjadi menarik dari kacamata critical thinking apalagi dari kacamata proses bisnis, ketika sebagian besar tokoh justru terburu-buru menghakimi seperti “Created by the poor, stolen by the rich”, “serakah!” dan atau “tak beretika”. Komen-komen ini memenuhi jagad dunia maya ketika sebuah media membawa berita berita dengan judul “ Perusahaan Baim-Paula mendaftarkan Brand Citayam Fashion Week” .

Kemampuan critical thinking kita memang diuji, ketika media-media kita sering memberitakan hal-hal yang konteksnya hilang dari judul. Menghilangkan konteks dari judul tentunya akan membawa polemik besar karena memancing keributan karena menuai perdebatan, ya mereka berhasil sih karena tujuan media tsb ya itu. Dibaca banyak orang!

Sebagai pegiat kreatif tentunya kemampuan kita membaca konteks menjadi krusial. Apalagi manganalisis kejadian, keterhubungan simpul-simpul pelaku, meninggikan cakrawala jadi penting dalam menarik kesimpulan. Sesungguhnya trending topic Baim & CFW ini menarik dibahas dari sisi kolaborasinya, terlepas dari etika ya krn CFW sudah jadi milik umum.

Baim X Bonge adalah kasus menarik, kolaborasi jika boleh dibilang, bagaimana Baim berkomunikasi dengan Bonge CS, bagaimana Baim memvaluasinya dengan membayar 500juta pada inisiatornya, bagaimana mereka menangkap momentum dan bagaimana menjadikan Hak Kekayaan Intelektual menjadi nilai ekonomi serta mendistribusikan keuntungannya secara adil dalam model bisnisnya adalah tema menarik ketimbang tergesa menyimpulkan.

Bentuk-bentuk kolaborasi yang makin gila ini tentu makin banyak orang tak paham. Selalu ada 6 topi berpikir jika menurut Edward de Bono, jangan menyimpulkan dari sisi topi hitam, karena ada 5 topi lain untuk menyimpulkan lebih luas. Kapan nih kita bahas?

Top 3 Barriers to Innovation in Higher Education

Dua hari bersama kawan-kawan Unsoed merancang kurilukum agar dapat menjadi wadah pembelajaran transformatif. Sesi-sesi ini selalu menjadi bahan retrospektif yang baik untuk menghasilkan beragam cara baru menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan jamannya.

Menyitir sebuah tulisan di Forbes, 2018 “Mengapa dibanyak institusi pendidikan dimana banyak diisi oleh para individu brilian yang bermotivasi tinggi dalam mengelola pendidikan tinggi justru menghambat inovasi yang semestinya tumbuh subur di institusi ini?”

Pada sebuah riset, ternyata jika institusi pendidikan mengalami kesulitan menggelorakan inovasi dilingkungannya disebabkan karena 1) sistem internal, struktur proses pengambilan keputusan, 2) organisasi silo, 3) budaya & startegi. Hasil ini menggambarkan situasi mengapa institusi pendidikan justru kerap kali menghambat proses inovasi?

Jika dipikirkan memang beberapa tipe universitas justru kerap bangga dengan aturan, persyaratan, politik & tradisinya sendiri ketimbang apakah institusinya melahirkan inovasi yang by-design.

Banyak juga perguruan tersesat dimana pendidikannya tak berpusat pada pembelajar, karena lebih menghargai penelitian daripada proses pembelajaran. Tantangan ini banyak memicu kegelisahan. Kala dunia industri ingin menjadi lebih inovatif & responsif, tapi kebanyakan universitas justru tak mengajarkan cara ini, atau menumbuhkan kualitas seperti ini pada siswanya.

Mengajarkan cara berinovasi kebanyakan tak mendapat tempat dalam kurikulum formal, kondisi ini memaksa mahasiswa harus mencari suatu tempat antara kuliah & aktualisasi diluar kuliah untuk mengembangkan kemampuannya berinovasinya secara “ajaib”. Pendidikan yang berpusat pada pembelajar perlu jadi prioritas, ini akan mengarahkan proses pada prevalensi yang lebih tinggi pada hadirnya inovasi dari praktek-praktek pembelajaran yang user-centric, membuat pembelajaran yang menyenangkan, menantang & memberi ruang eksplorasi yang membuahkan inovasi.

Sebuah kerinduan melihat lebih banyak contoh pemikiran inovatif di kampus-kampus, memberi siswa lebih banyak ruang mengembangkan kemampuan bawaannya, lebih banyak fleksibilitas untuk siap menghadapi dunia yang menanti mereka dimasa depan.

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Paradigma baru di era digital memang kerap kali membawa pada beragam kejutan yang luar biasa. Salah-satunya adalah semakin beragamnya bentuk-bentuk kolaborasi yang tumbuh, karena diera ini keterhubungan menjadi aspek paling berpengaruh terhadap sesuatu yang sebelumnya belum bisa terjadi.

Sifat dan kemampuan kolaborasi semakin menjadi-menjadi. Teknologi media sosial serta kecanggihan desain yang semakin tinggi ketika Ia dapat menarasikan secara tepat apa yang dibayangkan yang semula masih ide-ide dikepala, tersampaikan gagasannya pada banyak orang secara baik tervisualiasikan serta tersampaikan masif dengan media digital ke banyak pihak. Menyebabkan ide-ide gila yang sebelumnya sulit dinampakkan, digambarkan dan diwujudkan jadi lebih mudah terealisasikan!

Kolaborasi dulu hanya sebatas dua dimensi, menggabungkan satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu dimensi yang sama, misal; satu dua produk yang saling komplementer, satu dua organisasi yang saling melengkapi dalam rantai nilai atau pasoknya, atau satu atau dua hal yang secara logika tradisional tak mungkin dirangkai.

Era digital membuat ide gila muncul justru dari kolaborasi yang semakin multi dimensi, hal-hal yang dulu tak mungkin bersatu justru kini dinantikan bentuk-bentuk barunya. Meski dulu bisa jadi tabu, tak mungkin atau bahkan tak ada pasarnya. Salah satu contoh kolaborasi yang unik dilakukan Burgreens dan Green Rebel  @greenrebelfoods misalnya, sekarang usaha ini mendunia dengan Green Rebel, coba liat model bisnisnya deh.

Kolaborasinya unik sekali bersama bisnis lainnya. Mereka tidak membuat toko, mereka titipkan menunya pada banyak bisnis lain, termasuk di resto saingannya. Proses kolaborasinya ngga terbayangkan sebelumnya. Keren! Sebelumnya mereka mengembangkan Burgreens yang sukses mengenalkan flexitarian (flexible vegetarian) yang mengajak #TryVegan dengan #OneVeganMealADay buat kamu yang masih setengah-setengah jadi vegan. Uniknya, value ini justru jadi peluang kolaborasi dengan mitra lain yang justru tak menjadikan vegetarian jadi jualannya. Kolaborasi yang keren!

Kolaborasi gila ini banyak dilakukan, kapan nih kita mulai?

Momentum yang “Life Changing”

Sepanjang perjalanan pulang bersama salah satu mahasiswa bimbingan bercerita panjang tentang kemana nanti kita setelah lulus?

Percakapan ini dimulai dengan begitu lazimnya menemukan lulusan-lulusan yang bingung setelah lulus, semestinya ini tak terjadi. Pasti ada sesuatu yang belum berhasil dalam proses pendidikannya, proses menemukan dirinya. Pendidikan memang kerap kali terperosok pada substansi yang tak kontekstual, prosesnya dipercepat untuk sekedar bisa, tanpa paham maksud, tujuan apalagi filosofinya. Membuat proses pendidikan jadi kehilangan makna, berakibat tak tumbuhnya energi yang membuncah dari dalam dirinya untuk mengaplikasikan ilmunya.

Kebingungan pasca kuliah kerap terjadi karena sepanjang pendidikannya, prosesnya tak kunjung mengerucut pada penemuan dirinya. Prosesnya jadi untaian kewajiban menuntaskan, hingga lupa menumbuhkan rasa cinta & maknanya. Tak heran kemudian mereka lulus & meninggalkan bidang yang dipelajarinya.

Lulus dengan keyakinan tujuan hidup yang jelas, adalah sebuah parameter penting sebuah pendidikan yang berhasil. Mahasiswa perlu makin yakin tentang arah tujuannya kelak. Seiring semakin menuanya mereka dikampus. “Tujuan” jadi penting ketimbang memilih “kamu mau jadi apa?”. “Menjadi sesuatu” adalah kendaraannya, jika meminjam istilah Comic Pandji, kamu boleh gonta-ganti angkotnya, asal kamu tau tujuannya. Saat ini yang terjadi kita jadi disibukkan mencari angkotnya, tanpa tau tujuannya.

Perjalanan pendidikan hendaknya jadi momentum yang “life changing” menjadikan dirinya individu baru. Proses empat tahun perlu benar-benar by-design menjadikan individu-individunya bertransformasi, bukan sekedar tergesa menghabiskan SKS.

Sore tadi, bersama 90an Dosen, mengingatkan kembali, bahwa kampus bukan hanya berkewajiban memberikan kredit semesternya, tapi juga menumbuhkan ekosistemnya yang hidup & positif. Membawa gairah pembaruan, inovasi & keberanian bereksperimen untuk melakukan beragam eksplorasi. Keberhasilan setiap individu memang adalah hasil yang dirancang dengan kesungguhan untuk melahirkan banyak individu berdampak kelak. Sudah sejauh mana kamu merasa bahwa kampus kamu benar-benar jadi wadah yang “life changing”?