“Disciplined Entrepreneurship : 24 Steps to a Successful Startup”

Dalam buku “Disciplined Entrepreneurship : 24 Steps to a Successful Startup” Bill Aulet diterbitkan oleh Wiley pada tahun 2013. Dia adalah seorang pengusaha dan pengajar di MIT Sloan School of Management, di mana ia mengepalai Martin Trust Center for MIT Entrepreneurship. Konsepnya masih cukup relevan karena menyangkut fundamental penting, yuk disimak apa aja?

Konsep ini menekankan pentingnya penggunaan disiplin dan pendekatan sistematis untuk mencapai kesuksesan dalam bisnis startup. Setiap langkahnya penting dipelajari dan dijalankan dengan seksama untuk memastikan bahwa bisnis startup dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta memenuhi kebutuhan pelanggan.

24 langkah atau tahap yang harus dilakukan & memiliki pemahaman yang jelas tentang model bisnis dan pelanggan yang ingin dilayani, serta mampu mengambil keputusan yang tepat dan efektif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh bisnis startup.

1. Mengidentifikasi peluang:
2. Memahami pelanggan:
3. Memvalidasi pelanggan:
4. Membangun model bisnis:
5. Mengembangkan produk:
6. Mengukur kemajuan:
7. Menetapkan tujuan:
8. Mengidentifikasi sumber daya:
9. Mengelola risiko:
10. Membangun tim:
11. Mengembangkan strategi pemasaran:
12. Mengembangkan strategi penjualan:
13. Menentukan harga:
14. Mengembangkan keunggulan bersaing:
15. Memahami lingkungan bisnis:
16. Membangun rencana operasional:
17. Mengembangkan strategi pertumbuhan:
18. Mengembangkan model keuangan:
19. Membangun rencana bisnis:
20. Mengembangkan strategi branding:
21. Mempersiapkan untuk pengambilan keputusan:
22. Mengelola operasi bisnis:
23. Memantau dan mengevaluasi kemajuan:
24. Melakukan iterasi dan pembelajaran:

Peernya banyak yaa! Nah mana kira-kira dari ke 24 poin diatas yang paling menantang buat kamu?

Apa Saja Kunci Agile Organization?

Biar ngga jadi chaos, coba deh kuatkan pilar-pilar ini dalam organisasi kamu!
Jangan lupa persisten mengembangkannya yaa. Jadi apa saja kunci Agile Organization?

1.Apa tujuan dari perubahan?
Inovasi & efisiensi. 
Tujuan organisasi yang adaptif adalah inovasi. Dalam proses bisnisnya dilakukan pula beragam tindakan efisiensi untuk memastikan keberlanjutan yang erat dengan kemampuan adaptasi dengan inovasi, melakukan hal-hal baru atau jadi lebih efisien dalam melakukan hal-hal yang sama dengan sumberdaya yang menipis🤣

2. Kunci keberhasilannya apa?
Communication & Knowledge
Era VUCA dengan ketidakpastiannya, menjadikan komunikasi jadi kunci.Interaksi dalam membangun realita yang baru. Pengetahuan dibangun melalui pengalaman pribadi & interaksi🤓

3. Energinya didapat dari mana? 
Entrepreneurship & Proactivity
Di era ketidakpastian, memang lebih beresiko jika tak melakukan apa-apa dari pada melangkah walau salah arah. Proaaktif, inisiatif & eskperimen yang akan menjaga pergerakan untuk terus beradaptasi. Jadi bagian penting untuk menghasilkan beragam proses kebaruan dalam menghasilkan terobosan, memastikan setiap pelaku dalam ekosistem untuk belajar proaktif😘

4.Magnet keberhasilanya apa?
Teamwork & Commitment
Apa yang membuat kita tetap betah dan passionate? Tim yang bahagia adalah terbuka atas eksplorasi. Tim dipastikan Ia mengikuti proses yang membawanya bahagia dalam bereksplorasi, pada setiap tahapnya diselaraskan hingga mencapai tujuan bisnis. Bersama-sama memastikan keterlibatan dan menjaga untuk tetap fokus pada prioritas utama🤩

5. Pendekatannya seperti apa: 
Distributed Leadership & Coordination
Pemimpin yang terbuka membuka jalan pada Kepemimpinan kolektif. Kepemimpinan terdistribusikan untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk munculnya desentralisasi, ruang-ruang inisiatif, tim yang self-coordination & inisiatif yang spontan😎

Bareng-bareng jadi Agile Team yang berdampak🚀🚀🚀

Apa bedanya “Output Vs Outcome” ?

Kantor sepi! sudah biasa pada beragam perkantoran besar saat ini, namun bukan berarti Ia tak produktif. Sepi karena timnya tersebar & tekoneksi satu sama lainnya dengan saluran-saluran digitalnya. Anggota timnya pun produktif menghasilkan beragam inisiatif, mengeksplorasi beragam cara baru untuk bisa menghasilkan sebuah produk dengan Definition of success yang disepakati, kami namakan sebagai key results🎸

Inisiatif ini digagas berdasarkan harapan apa yang ingin dicapai, dikomunikasikan dengan baik, ditulis & dipetakan prioritasnya, di review hasilnya, diretrospektifkan cara & budaya kerjanya, merepetisinya hingga memiliki formulasi terbaik dalam bekerja, menghasilkan & bergerak eksponensial kemudian setelah mendapatkan pola kerjanya🚀


Sebuah cerita sering saya utarakan didalam forum-forum untuk memastikan bisa membedakan Output & Outcomes. Digambarkan 2 orang Dokter digambarkan baru saja menyelesaikan operasi pasiennya yang berhasil dilaksanakan. Salah satu Dokter mengungkapkan “Excellent suegery! Well done!. Dokter yang lainnya berkata:” Thanks! Pity! The patient died. Dalam percakapan ini mengandung dua hal terkait 1) Output; operasinya berlangsung baik, 2) Outcomes; pasiennya meninggal (Outcome tak tercapai)😎

Pertanyaan berikutnya, apakah Dokter yang sudah bertugas tsb wajib dibayar? Jawabannya sudah pasti tentu dibayar terlepas pasiennya meninggal / tidak. Jika dalam konteks tim bisnis, setiap anggota penting menyadari bahwa setiap individunya bisa bekerja & menghasilkan outcomes, paham bahwa bukan sekedar bekerja keras tapi tak jua menghasilkan🎸

Dalam instansi konvensional, anggota tim dibayar jika ia terlihat bekerja, namun usaha modern akan mengitung berdasarkan hasil, bisa jadi ia tak pernah terlihat secara fisik tapi produktif menghasilkan hasil, ia pun dibayar sesuai hasilnya. Pastikan bahwa setiap anggota bekerja menghasilkan outcomes, berikan juga ruang inisiatif & kolaboratifnya agar kreatifitasnya berkembang, hingga timnya jadi sehat & menyenangkan. Dalam perusahaan modern biasanya tak menggunakan lagi frasa “to do list” tapi “initiative & result” hingga setiap orang tau apa yang perlu dihasilkannya dengan cara kerjanya bebas berkreasi.

Social Learning

Social learning adalah konsep psikologi yang merujuk pada cara belajar dari lingkungan sosialnya, terutama dari pengaruh orang lain dalam lingkungan sosialnya. Teori social learning Albert Bandura, dikenal sebagai teori belajar sosial-cognitive.

Belajar terjadi melalui interaksi sosial, pengamatan & panutan pengaruh dari lingkungannya, mencakup pengaruh dari orang-orang yang kita pandang sebagai model, seperti orangtua, teman sebaya, tokoh publik / bahkan karakter di media massa seperti televisi/film.

Salah satu konsep utamanya adalah “self-efficacy”, yakni keyakinan individu dalam kemampuannya untuk menyelesaikan tugas / mengatasi tantangan, self-efficacy bisa dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengamatan orang lain & respons dari lingkungannya. Orang dengan tingkat self-efficacy yang lebih tinggi cenderung lebih termotivasi & berhasil dalam mencapai tujuannya.

Teori social learning Bandura bisa punya beberapa implikasi yang relevan dengan kreativitas. Salah satunya adalah model-model yang diobservasi oleh individu & pengaruh contoh2nya pada kreativitas individu-individu disekelilingnya.

Menurut Bandura, seseorang cenderung meniru perilaku yang diamati dari model yang dianggap kompeten, kuat, atau bernilai dalam konteks tertentu. Dalam hal ini, individu bisa meniru kreativitas dari contoh2 yang dianggap kreatif & sukses dalam konteks tertentu, ini membantu meningkatkan kreativitas individu dalam konteks yang sama.

Dalam teori social learning ini juga menekankan pentingnya respons dari lingkungan terhadap perilaku individu. Ketika lingkungan memberikan umpan balik positif terhadap perilaku kreatif, individu cenderung merasa lebih termotivasi & untuk mengembangkan & mengekspresikan kreativitasnya & membantu meningkatkan kreativitas dalam jangka panjang.

Coba deh kamu pake social learning di komunitas kamu dalam mengembangkan keterampilan kreatif anggotanya. Tiap orang bisa jadi model yang efektif dalam memperkenalkan kreativitas & memberikan umpan balik positif untuk meningkatkan kreativitas ekosistem. Selain itu, tiap simpulnya juga bisa memfasilitasi pengalaman belajar yang memungkinkan anggotanya mengamati & meniru kreativitas dari model-model lain.

Jadi Rockstar yang bahagia🎶🎶

Rockstar adalah golongan yang benar-benar bisa diandalkan & tak benar-benar ingin bergerak ke atas. Tidak cukup tertarik dengan peranan-peranan baru yang vertikal. Mereka tetap melakukan pekerjaannya senang hati dengan sungguh-sungguh selama tak ada yang mengganggunya😎

Kesalahan umum dalam menganggapi para Rockstar ini adalah dengan mengangapnya sebagai individu kurang punya ambisi, padahal Ia justru akan membantu mendorong beragam keunggulan. Konsitensinya bisa diandalkan & bisa melakukan pekerjaan hebat & puas melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun.

Bedanya dengan Superstar, Ia senang tantangan baru, ambisius & banyak menantang status quo, punya jalur karir yang tajam karena terdorong untuk menambah tanggung jawab, seringkali loncat-loncat🙄

Kita bisa masuk & keluar dari kategori mana pun. Superstar bisa berubah jadi Rockstar begitu juga sebaliknya. Keduanya sama-sama mampu melakukan pekerjaan hebat. Perbedaan utamanya adalah pada jalur perkembangan yang diinginkannya🥳

Membangun tim yang lengkap, kita butuh keduanya. Tawarkanlah peluang pertumbuhan yang berbeda🚀

Untuk Rockstar, jangan langsung mempromosikannya. Bergantung pada situasi hidup mereka, mereka mungkin punya alasan yang benar-benar sahih untuk tidak menginginkan promosi, yang mereka butuhkan adalah bisa memperdalam keahliannya, Rockstar akan merasakan tekanan yang tidak perlu untuk pura-pura menjadi superstar, bisa merasa malu / gagal karena ingin tetap dalam peranannya. Kita perlu pastikan bahwa Rockstar dihormati & diberi kompensasi) sama seperti Superstar🎸🎸

Untuk Superstar, tawarkan mereka tantangan yang lebih besar. Dorong mereka untuk berpikir besar dan menjadi kekuatan perubahan. Pastikan kita tidak menekan ide-idenya🥁

Keduanya berada pada lintasan pertumbuhan yang sangat dinamis dan sangat berharga bagi tim, cobalah bedakan siapa yang berada dalam mode Rockstar dan mana Superstar, buatlah rencana pertumbuhan bagi mereka. Cari peluang bagi Superstar untuk memberinya tantangan baru, dan bagi Rockstars untuk memperdalam keahliannya. Hidup bahagia berdampingan dalam tim yang sehat. Ngga semua ingin ke atas, ada yang senang berjalan horisontal😎

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Jangan hanya sekedar berpendidikan, karena yang terdidik belum tentu kemudian jadi pembelajar. Jadi ingat pembicaraan dengan sahabat saya, “kita belajar bukan untuk jadi pintar, tapi biar engga bego, Dwi!” Ungkapan terdengar shocking pasa mulanya, tapi ini semacam tamparan yang mengingatkan agar kita tetap relevan dengan jaman dan kondisinya, mau jadi pembelajar sepanjang hayat.

Kalimat menampar seperti “Sekolah biar ngga bego! bukan buat pintar” diungkapkan seorang teman, sahabat baik saya, sosok yang gemar sekali bersekolah. Kalimat ini begitu membekas, jadi selalu teringat mengapa kita perlu belajar?

Belajar bukan untuk menjadi pintar, tetapi justru agar kita tak menjadi bodoh! Adalah ungkapan yang penting, bahwa kecintaan belajar sepanjang hayat adalah untuk menjaga kita tetap relevan, adaptif dan tau tujuan kedepan dengan pasti. Tidak sebatas pada batasan-batasan gelar akademik yang menyatakan bahwa saya pernah bersekolah, tapi dari situlah bermula kemampuan pembelajar sepanjanghayatnya dikuatkan.

QS. Al-Baqarah Ayat 67; Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”

Tag sahabat terbaik @putiretno_

Apa itu Outcome Bias?

Tau ngga, ternyata kita sering kali terjebak dan merasa berproses dengan baik karena melihat hasilnya baik. Lebih fokus dengan hasil ketimbang prosesnya, hal semacam ini disebut sebagai Outcome Bias🧐

Outcome bias adalah kecenderungan kita untuk menilai seseorang atau suatu keputusan berdasarkan hasil daripada melihat prosesnya. Bias ini menunjukan kegagalan kita dalam memperhitungkan begitu banyak hal yang random terjadi dalam prosesnya menciptakan hasil🤨

Dalam keseharian kita juga sering menilai keseluruhan proses hanya dari outcomenya, bukan dari kualitas prosesnya itu sendiri. Pada umumnya orang kesulitan memisahkan kualitas dari sebuah proses dengan outcomes prosesnya🥳

Jika outcomes / keberhasilan dihasilkan dari sebuah keberuntungan (meski hal ini berulang-ulang terjadi) yang terjadi dari pengambilan keputusan yang beresiko, walau hasilnya baik sangat mungkin saja ini terjadi karena terjadinya Outcomes Bias. Seringkali hasil yang baik membutakan kita terhadap kekurangan sebuah proses, bahkan bisa jadi lebih buruk bisa membuat kita tak kunjung belajar dari kesalahan, karena kita pikir semuanya baik-baik saja.🥸

Jika kita mengamati kesuksesan dari sebuah hasil, kecenderungan yang terjadi pada kita biasanya adalah menerimanya keberhasilannya begitu saja dan berasumsi bahwa proses yang mengarah ke sana pada dasarnya sehat-sehat saja. Coba kita lihat contoh yang sering terjadi dalam keseharian kita, apa saja contoh dari Outcome Bias;

1. Belajar mepet, ternyata nilainya bagus!
2. Beli saham sebelum harga naik, wah saya memang investor yang baik!
3. Walau terburu-buru, saya sampai tepat pada waktu! Saya memang keren!
4. Sekalinya pasang iklan, Produk laku banget!

Inget lagi, keberhasilan memang sering kali mengelabui kita, karena menyembunyikan titik-titik kurang baik dalam prosesnya. “Good Outcomes Hide Bad Processes” Pastikan lagi bahwa setiap hasil dari sebuah produk dan keberhasilan adalah benar-benar diperoleh dari proses pengembilan keputusan yang benar, prosesnya juga dikawal dengan sungguh-sungguh🤩

Complicated Vs Complex

Sesuatu yang rumit dapat dibagi menjadi dua, kompleks dan complicated. Jika dianalogikan sesuatu yang kompleks bisa digambarkan dengan contoh

1. Bubur ngga diaduk – complex;
Bubur dengan condiment yang terpisah.

2. Bubur diaduk – complicated;
Sedangkan kondisi yang complicated bisa digambarkan dengan bubur diaduk, dimana segala sesuatunya sudah tercampur dan sulit menguraikannya kembali menjadi komponen-komponen dasarnya🥳

Menjadi kompleks itu baik, tidak ada yang salah. Apalagi di jaman digital ini dimana segala hal dapat terhubung segala sesuatu menjadi kompleks, termasuk permasalahannya. Dalam sesuatu yang kompleks, pendekatan penyelesaiannya bisa diurai.

Bubur yang tidak diaduk akan jauh lebih mudah dan cepat menguraikan bahan penyusunnya satu per satu. Namun, jika kita terburu-buru melakukan beragam hal dengan mencapur adukkan segala elemen-elemennya tanpa berpikir panjang, kemungkinan besar masalahnya menjadi complicated, akan menjadi sulit terurai, jikapun bisa akan memakan waktu yang sangat lama😫

Jangan terburu-buru melakukan proses pengambilan keputusan, pastikan unsur-unsur pendukungnya tetap menjadi hal yang kompleks, jangan juga dicampur adukkan hingga menjadi sesuatu yang complicated.

Memang kita sering merasa tak sabar menyelesaikan sebuah permasalahan, namun justru dengan ketergesaan, tidak bekesadaran (mindful) dalam proses mengurainya membuat segala sesuatu jadi tambah runyam, complicated😫

Sesuatu yang kompleks, akan sangat baik jika kita pandai mengelolanya, setidaknya kita belajar mengelolanya. Pengelolaan yang tepat akan menghadirkan sesuatu yang kompleks menjadi kemajuan yang eksponesial. Namun sebaliknya, ketergesaan dan mencampuradukkan beragam komponen dalam sesuatu yang kompleks akan berujung pada complicated, menjauh dari solusi 🤯

Apa yang kita lakukan jika sesuatu hal kadang beranjak jadi complecated? tarik garis waktu lebih panjang, urai satu persatu dengan telaten, selesaikan satu persatu dengan mindful, berkesadaran penuh hingga satu persatu menghasilkan wisdom yang membawa pada solusi yang utuh🚀🚀

Cara Belajar yang Eksploratif

Pernah denger kasus PO Haryanto engga? dimana sang ayah & anaknya punya dinamika yang pelik hingga sang anak yang dipecat dari perusahaan sang Ayah🥲

Dalam perjalanannya PO Haryanto adalah PO bus yang mumpuni, sesungguhnya jika dilihat dari pendekatan manajemen, perusahaan ini bisa besar, sukses & dicintai oleh pelanggan, Bus-Mania karena tedapat kolaborasi yang unik diantara pengelolanya, dua generasi yang berbeda dalam sebuah perusahaan keuarga dengan nilai, karakter & budayanya yang beda karena memang terlahir dari dua jaman yang bebeda. Sang Ayah, Kopral (Purn) H. Haryanto kelahiran tahun 1953 Vs Rian Mahendra kelahiran 1983, Baby Boomer Vs Gen Y🤔

Perpaduan ini sesungguhnya adalah sebuah kekuatan yang baik, sang Ayah sebagai Baby Boomer punya rasa ingin tahu yang tinggi, mandiri & optimis dengan pencapaian, sedangkan sang anak sebagai Gen Y, Ia bisa diandalkan dalam hal kedisiplinan & soal pemanfaatan teknologi (tech-savvy).punya kepercayaan diri yang baik🤠

Walau kerap bertabrakan dalam hal cara & budaya. kerja Gaya Rian yang banyak belajar dilapangan, cara belajar yang eksploratif, cara kerjanya yang tanpa ruang memang kerap kali dinilai salah oleh generasi sebelumnya, dicap sebagai nakal / begajulan🥳

Keberanian Rian dalam melakukan eksplorasi menghasilkan enggagement luar biasa para penggemar bus, membesarkan usahanya dengan cara yang baru, namun tampaknya cara-caranya bereksplorasi ini tak tertangkap baik dari kaca mata lama yang lebih fokus untuk menghindari kegagalan😎

Padahal saat ini & masa depan, keberanian eksplorasi & gagal adalah modal penting inovasi, jangan dipandang sebagai kesalahan. Kebuntuan ini justru menghasilkan hal fatal bagi perusahaan besarnya😫

Dilema perusahaan keluarga memang lazim terjadi, jika Ia tak segera membenahi budaya organisasinya secara sungguh-sungguh, memisahkan hubungan keluarga dengan profesionalnya & memberikan kebebasan bereksplorasi. Saat ini kita bisa lihat beragam perusahaan yang bisa adaptif mengembangkan budayanya, hingga Ia tumbuh membesar dengan keberanian-keberanian eksplorasinya. Membagi peran adalah cara jitu, memberi ruang eksplorasi sekaligus menjalankan proses eksploitasi di saat bersamaan🤗

Subjektif Vs Objektif

Melatih objektivitas jadi sangat penting dalam organsiasi pembelajar, menumbuhkan sikap jujur yang tidak dipengaruhi pendapat & pertimbangan pribadi atau golongan dalam menilai sesuatu hasil 🎁

Objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran / persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan & perasaan🤔

Penilaiaan subjektif memang sah-sah saja selama didasarkan pada akal sehat, tahu konteksnya & kemudian memvalidasinya. Subjektivitas memang kerap dikaitkan dengan pandangan & perasaan seseorang, bisa bersifat jujur / tidak jujur, bisa sesuai / tak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Subjektifitas bisa membawa seseorang melihat bahwa pandangan & perasaannya kerap bertentangan dengan masyarakat disekitarnya, oleh karena itu, jika seseorang memiliki penilaian subjektif, maka Ia perlu memvalidasi pandangan & perasaannya🔍

Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya, hubungan kerja keduanya memiliki kelebihan & kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif🥁

Subjektivitas yang tidak diuji kerap menimbulkan chaos, terlebih budaya-budaya kolot yang melanggengkan budaya takut bertanya, validasi hingga berakibat fatal kemudian. Menilai orang akan lebih jernih dari karyanya, bukan dari Individunya sebagai persona. Persona akan sangat tergantung perspektif penilainya, basisnya akan sangat relatif. Namun jika melihat karyanya akan sangat berbeda akibatnya, karena melepaskan aspek relativitas dan didasarkan pada fakta✅

Nilai yang dihasilkan oleh upaya penelaahan objektif menghasilkan kebenaran tunggal, kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. Sedangkan penelitian subjektif cenderung majemuk, bergantung konteksnya🖼️

Melatih kebenaran subjektifitas memang perlu waktu, tapi akan lebih mudah hidup jika kita menilai orang dari karyanya, tak perlu pusing memikirkan personanya, jangan-jangan karena terlalu sibuk memikirkan persona orang lain, malah kita yang lebih urgent membenahi diri daripada orang tsb❤️