Apa yang dirindukan dari Rumah Kolaborasi ini?

Bergagasan! Kegiatan ini selalu membuat raut wajah setiap penghuninya berubah-ubah dari mulai mengernyitkan dahi hingga berujung tertawa lebar. Dari hal-hal yang tak mungkin, hingga kemudian melepaskan pemahamannya dengan tertawa.

Hal lain yang selalu dirindukan adalah kebiasaan berbagi hasil membaca yang dari hari ke hari yang semakin menular, saling bercerita saling mengisi pengetahuan satu sama lainnya.

Seorang kawan bertanya, dengan segala dinamikanya ini apakah saya bahagia? Tanpa ragu tentu saya jawab bahagia! Bagaimana tidak, setiap harinya tiap individu disini menikmati proses bergagasan, dibawa berlomba untuk haus pada pengetahuan baru, memacu tiap individunya untuk punya energi untuk membaca lebih banyak kemudian disampaikan esoknya di meja meja bergagasan.

Eksosistem ini memang tak berlimpah dengan materi, namun jika kekuatan gagasan & imajinasi jangan ditanya. Kepala-kepalanya tak kuasa untuk segera membuncahkan idenya & membumikannya dengan segera. Seru! namun memang ya ngga lepas dari dinamikanya yang kecang membuat banyak tonggak pembelajaran baru menuju perubahan.

Selain itu, ada satu hal yang penting. Bahwa kami yakin bahwa pergerakan menuju perubahan ini perlu hadir karena kemampuan membangun peluang. Peluang dihidupkan oleh imajinasi. Imajinasi ditumbuhkan dengan asupan literasi, dibenturkan dengan sudut pandang lain, dikontekstualkan dengan waktu kemudian diberi ruang-ruang iterasi.inilah yanh dinamakan ruang bergagasan. Dari sini kemudian munculah energi yang deras untuk melakukan perubahan. Momemtum pun tumbuh.

Energi positif perubahan justru akan hadir karena kemampuan menangkap peluang & kemudian berimajinasi. Bergagasan akan membukakan jalan-jalan baru. Bergerak bukan karena cemas! Dengan memperkaya imajinasi, kemampuan menangkap peluang jadi tumbuh & terbangunnya momentum.

Akan sangat berbeda energinya jika sebuah momentum ditunggu, akan banyak menimbulkan kelelahan kemudian menjadi suram, karena tak jua bisa terpikirkan, jangankan dipikirkan, diimajinasikan pun tak kuasa.

Ini ruang-ruang bergagasan kami, bagaiman dengan ruanng gagasan kamu? Kapan kita bergegas bergagas bersama?

Pemahaman pada Business Acumen

Seringkali dalam sebuah organisasi, perspektif pribadi bisa menjadi sangat lekat dengan cara berpikirnya, bekerja dan memahami sebuah hal dialaminya sehari-hari. Tentu tidak heran karena memang melekat pada dirinya.

Salah satu hal yang menjadi penting bagi anggota tim adalah pemahamannya pada keseluruhan organisasi, panjang cakrawala waktu dan besaran sumber daya yang terlibat. Karena cara berpikir yang berpusat pada diri sendiri, maka hasil pemikiran ini akan sangat rentan “self diagnose” yang membawa kesimpulan yang bias seperti, “saya adalah individu yang paling berperan, paling lelah dan paling penting dalam project ini”, atau kesimpulan-kesimpulan lain seperti “tampaknya yang lain tak banyak berkontribusi”

Simpulan-simpulan ini muncul memang kerap kali karena jam terbang serta pemahamannya pada Business Acumen yang kurang matang dan holistik. Bias yang muncul kerap memunculkan kenyataan yang tak sesuai ekspektasi. Ini berawal dari kesalahan ketika ekspektasi tak diturunkan menjadi data dan fakta tertulis yang merinci simpul-simpul keterlibatan, peran, lama waktu, kapasitas dan kapabilitasnya yang menjadi variabel-variable bilangan penyebut.

Keterlibatan, peran, lama waktu, kapasitas dan kapabilitas perlu diurai dalam dokumen, dikalkulasi dengan baik, uraikan menjadi fakta tertulis agar imajinasi dapat digambarkan dengan jelas dan menghilangkan bias perasaan yang kerap berpusat pada diri sendiri. Btw, ini ada toolsnya loh:) WBS!

You need to connect to your purpose to innovate in a meaningful way – Eric Roscom Abbing

Dalam Business Acumen, penting juga selain kepentingan jangka pendek untuk mau paham bahwa kita bergerak dalam wadah organisasi. Ada bahtera yang melaju berisi banyak orang & mengarugi lautan luas dalam tujuan jangka panjang. Organisasi penting untuk tetap mewadahi anggota timmnya belajar keluasan pemahaman, menyeimbangkan personal goals vs organizational purpose, menyeimbangkan manfaat, kesejahteraan & kepentingan jangka pendek dan panjangnya.

The urge to do what we do in the service of something larger than our selves
–Doniel H Pink – Drive

Bagaimana Merawat Perubahan

Cita-cita melakukan transformasi tak bisa dilakukan hanya dengan mencanangkannya, melalukan sosialisasi dan atau cukup memulainya. Tapi justru proses merawatnya dengan kesungguhan dan ketekunan.

Komitmen dari pemimpin mejadi utama, “lead by example & the leader need to be seen” juga menjadi prasyarat utama proses perubahan itu dilakukan.

Secara teknis proses merawat perubahan dapat dilakukan dari dua sisi. Jika digambarkan dengan gunung es, maka sisi atas rawatlah dengan melalukan Review; merawat agar hasil selalu menjadi lebih baik. Bagian bawah gunung es dilakukan dengan proses Retrospective; merawat proses agar setiap kegiatan atau proses project selalu menjadi lebih baik. Intesitasnya terawat karena setiap tahapan sesi review dan retros selalu jadi bagian penting evaluasi dari kedua sisinya.

Pendekatan-pendekatan manajemen modern selalu erat kaitannya dengan bagaimana tim dan oraganiasi kita bisa adaptif dengan perubahan, bukan hanya dengan mengeluarkan SOP dan selesai. Karena setiap waktu perubahan itu hadir dinamis.

Pendekatan Scrum adalah salah satu pendekatan yang holistik, karena ini mewadahi culture shift yang proses perubahannya dilakukan diatas perubahan itu sendiri. Setiap project akan menjadi wadah organisasi memiliki proses yang kontekstual dan semakin baik, juga denhan produknya akan semakin baik dan sesuai dengan jaman dan pasarnya.

Proses perubahan adalah konsistensi yang dirawat, membangun komitmen, membangun budaya dalam menggeser “individual self interest ke kesadaran berkelompok atau “team conciousness” bersamaan dengan menggeser kompetisi ke kolaborasi. Bermula dari berlatih berkoalsi, berkooperatif hingga sanggup ber ko-kreasi.

Sudah sejauh mana kamu merawat tim dan produk hingga mencapai level Ko-kreasi?🚀

Enam Langkah Kolaborasi Penuh

Memfasilitasi perubahan kerap menjadi dilema kala melakukan proses pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan dengan cara tradisional biasanya mendominasi kegagalan proses perubahan. Caranya kerap kali mengacu pada keteraturan, stabilitas, dan kepastian.

Hal yang sering menjebak para organisasi tradisional diantaranya adalah pemimpin yang kerap kali tak terlatih dan atau tak terbiasa menghadapi peristiwa & kondisi yang tidak terduga. Padahal era VUCA inilah, dimana ketidak-terdugaan adalah makanan sehari-hari.

Kondisi ini memang sering mengarah pada kecemasan & kebingungan yang datang dengan kondisi ketidakpastian dan kompleksitas membuat serba bingung bahkan menghambat. Mendorong perubahan di era ketidakpastian memang membuahkan urgensi untuk paham framework perubahan untuk mendorong perubahan yang lebih baik.

Untuk pada agen perubahan, memfasilitasi penerapan budaya yang agile & kolaboratif bisa dilakukan melalui enam langkah di tingkat individu, kelompok dan organisasi. Langkah-langkah ini saling terkait erat dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain.

Bagaimana mengeser interes individu ke kesadaran berkelompok serta dari kompetisi ke kolaborasi, dari distrust ke trust? ini langkah-langkahnya (Zamora, 2018);

1. BELAJAR; pada fase ini kita perlu toleran terhadap kesalahan-kesalahan baru
2. INTERAKSI; peragakan dan berlatih untuk mampu menyimak secara aktif
3. INTEGRASI; wadah belajar yang paling efektif adalah dengan memiliki proyek bersama;
4. PERCAYA; pandu pergerakan dengan nilai-nilai budayanya, karena kondisi tak dapat diprediksi, maka TRUST adalah kunci kemajuan.
5. MENGHARGAI; setiap inisiatif dan respon akan berbeda-beda, maka disini kita belajar menerima setiap perbedaan;
6. DESENTRALISASI; melakukan proses delegasi pada tim atau squad yang dibentuk.

Untuk punya tim yang Self Coordinating tahapan diatas memang perlu dilakukan, jangan lupa dituntaskan. Hal ini didukung dengan kebijakan dan prosedur yang dilakukan secara konsisten satu sama lain di seluruh tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Jangan tergesa dalam melakukan perubahan, ikuti prosesnya. Ketika polanya mulai terbentuk prosesnya bisa diakselerasi. Ayo mulai sekarang!

Bagaimana dengan ekosistem kamu, sudah jadi collective genius?🚀🚀

Menjalankan sebuah inovasi memerlukan sebuah ekosistem yang mau & mampu melaksanakan kerja kerasnya menuju proses inovasi. Dalam proses kerja kerasnya, kerangka inovasi ini membutuhkan tiga pilar penting, yakni:

1. Sense of Purpose, menjadi paham mengapa kita ada. Big why menjadi perlu sebagai alasan kuat dan menjadi energi terbesar pergerakan. Sense of Purpose memberi ruh dalam setiap tindakan keseharian. Tanpanya,  kita hidup layaknya seperti Zombie, yang hidup tapi tidak hidup, bisa bergerak tapi tanpa jiwa, bisa bertindak tapi tanpa rasa😥😥

2. Shared Value. Porter mengartikan shared value atau nilai bersama dengan “berfokus pada mengidentifikasi dan memperluas hubungan antara kemajuan masyarakat dan ekonomi”. Shared value dianggap konsep ideal yang melibatkan penciptaan nilai ekonomi bersamaan dengan penciptaan nilai bagi masyarakat dengan memenuhi kebutuhan dan mengatasi tantangannya. Creating shared value (CSV) adalah sebuah konsep yang memainkan peran ganda, yaitu menciptakan nilai ekonomi dan nilai sosial secara bersama-sama (shared), tanpa salah satu diutamakan atau dikesampingkan🤗🤗

3. Rules of Engagement. Hal ini juga menjadi pilar yang menantang, bagaimana menyelaraskan setiap kebutuhan dan cita-cita individu dengan organisasinya. Membangun budaya untuk saling berinteraksi dan bagaimana memiliki kesamaan perspepsi hingga cara berpikir yang bermuara pada pencapain goals bersama.

“Leaders of innovation teams are successful when they collaborate, engage in discovery-driven learning, and make integrative decisions”-:Linda Hill –  Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation.

Menyeimbangkan tiga pilar budaya diatas justru menjadi pilar penting keberlanjutan, menjaganya untuk tetap memberikan ruang belajar, tumbuhnya ambisi-ambisi positif, kolaborasi, tanggung jawab dan proses tumbuhnya para pembelajar sepanjang hayat dan bertransformasi menjadi Collective Genius.

Bagaimana dengan ekosistem kamu, sudah jadi collective genius?🚀🚀

Membangun kultur adalah tantangan yang paling menarik, tak nampak tapi energinya terasa

Membangun kultur adalah tantangan yang paling menarik, tak nampak tapi energinya terasa. Bahkan hal ini kerap terlupakan karena banyak hal-hal visual menggoda lupa fundamentalnya.

Beberapa hari ini beragam komunitas datang berkunjung ke Rumah Kolaborasi kami di Bandung, bertukar pikiran bagaimana sesunggunya membangun kultur yang ideal yang bisa menjadi penopang keberlanjutan organisasi. Ketika berkunjung, kami selalu memulai dengan ucapan selamat datang kemudian bergegas untuk Room Tour. Ada total tujuh ruangan gagasan di rumah ini, setiap ruang memiliki tim dengan kulturnya masing-masing, sesuai dengan DNA setiap startup yang mengisinya. Pendekatan Design Thinking, Scrum dan Agile memang sangat terasa pada setiap bagiannya, namun dikontekstualkan dengan model bisnisnnya masing-masing hingga melahirkan beragam cara baru untuk melakukan aneka ragam pendekatan yang inovatif.

Kultur yang saling beda ini justru menghadirkan ekosistem yang saling melengkapi, menjadi fleksibel dan stabil disaat yang sama. Menyeimbangkan kebutuhan internal dan eksternal diwadah yang sama. Ekosistem ini memberikan ruang kolaboratif untuk melakukan hal-hal bersama, memadukan elemen-elemen internalnya bersinergi secara fleksibel dalam kultur Clan. Disandingkan dengan ruang yang akan banyak mencipta beragam kebaruan, memadukan fleksibilitas dengan kepentingan eksternal dengan melakukan hal-hal baru dalam Adhocracy Culture.

Meski begitu, keragaman ini justru tak menghilangkan keinginan berkompetisi, melakukan hal dengan cepat hingga punya Market Culture yang baik. Walau Clan Culture yang mendominasi rumah ini dengan organisasi yang bersifat network, bukan berarti juga menghilangkan Hierarchical Culture, kontrol untuk melakukan hal-hal dengan tepat masih ada namun lebih agile dengan beberapa pendekatan baru yang modern.

Membangun culture memiliki urgensinya tinggi. Untuk memulainya ada beragam ritual dan mekanismenya, dipetik dalam jangka panjang karena menumbuhkannya memerlukan proses. Karena keberhasilan untuk sukses bukan sekedar berhenti di titik berhasil menjual misalnya, tapi bagaimana memastikan keberlanjutannya. Kapan kita belajar membangun kultur organisasi lagi? Gas!

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift!

Perubahan dilakukan diatas perubahan, sebuah ungkapan yang tak lagi bisa dielakkan. Berbeda dengan masa lalu bahwa sering kali kita banyak mempersiapkan segala sesuatunya hingga sempurna kemudian mulai melangkah.

Era perubahan saat ini tak lagi cukup waktu untuk melakukannya secara serial, satu persatu karena momentum perubahan begitu cepat hingga diperlukan strategi berbeda. Apalagi saat ini cara kerja, tata kerja & bagaimana mengelola organisasi menjadi sangat berbeda. Karena model bisnis dan proses bisnisnya sangat jauh berbeda dengan kehadiran teknologi informasi dan digitalisasi yang makin kencang, menjadi sangat penting melakukan proses transformasi budaya.

Digital Transformation adalah perkara Cultural shift, perlu merancang tangga perubahan yang terukur, membuat organisasi menjadi semakin lincah, matang dan pada setiap masanya akan semakin akseleratif. Setiap proejct atau program yang dilakukan idealnya akan membuat organisasi menjadi lebih paham dan lebih baik, selangkah lebih maju pada proses transformasinya.

Cultural shift menghasilkan layaknya gunung es yang membesar, semakin stabil. Semakin baik produk yang dihasilkan, semakin baik pula organisasinya, menyeimbangkan proses yang holistik, bahwa setiap perjalanan project membuahkan proses Cultural shift  semakin baik.

Untuk itu dalam memastikan proses transformasi, pendekatan & kerangka kerja yang digunakan pada setiap project perlu dipastikan relevan dengan zaman, memastikan proses pemberdayaan berjalan. Pendekatan masa lalu yang hierarkis misalnya, tak relevan lagi untuk melakukan Cultural shift karena perubahan tak tersebar pada semua lini organisasi, kunci inovasi hanya berada pada satu titik teratas, pimpinan. Pastikan kerangka kerja yang baik mampu secara perlahan membuat organisasi bergeser dari profit ke purpose, hierarki ke network, controlling ke empowering, planning ke eksperimentasi serta dari privasi ke transparansi.

Cultural shift adl sebuah proses, memulainya sesegera mungkin akan menjadi lebih baik ketimbang selalu merasa percaya diri atas keunggulannya saat ini sedangkan pihak lain berproses membenahinya sedikit demi sedikit, kemudian menemukan momentumnya & melesat🚀🚀

Profesi x Peranan

Bergesernya zaman karena perkembangan teknologi & digitalisasi membuat banyak paradigma & nilai-nilai bergeser.

Beruntung bagi individu yang terpercik perubahan, kemudian ia berangsur meningkatkan kapabilitas adaptasinya & menjaga performanya hingga Ia tak tertinggal dari jaman yang berjalan lebih cepat tiap masanya.

Pergeseran jaman mengakibatkan perubahan kebutuhan individu dalam keseharian/pekerjaannya. Era di masa lalu tiap orang mendamba profesi yang lekat pada dirinya, melakukannya atas dasar kompetensinya. Bekerja.

Masa kini & datang adalah era dimana pentingnya melekatkan keahlian & keilmuan dengan beragam konteks yang berbeda, hingga menjadi kebermanfaatan dalam bentuk yang unik untuk tiap peranan individunya. Karakter penghuni jamannya pun sangat berbeda, mereka bergerak dari kebutuhan sekedar berprofesi ke berperan, berkarya. 

Generasi ini mendamba otonomi, kurang percaya pada otoritas, hidup lebih pragmatis & solution-oriented. Makin muda, makin juga tak suka hal-hal hierarkis, juga banyak menentang norma konvensional yang sudah kadung tumbuh di masa lalu dengan nilai-nilai baru. Mereka lebih mendamba untuk bisa mengkontekstualkan profesi & kompetensinya dengan hal yang Ia suka & jadi bermanfaat bagi sekelilingnya. Berdampak, istilahnya.

Mengapa penting memilih mengambil “Peran” ketimbang hanya berprofesi? Karena peranan sangat identik dengan tersedianya ruang inisiatif yang mendorong terciptanya ruang-ruang eksperimen & kontekstualisasi yang utuh dari pada sekedar menerima instruksi yang mengekang kebebasannya mengaktualisasi kreatifitas yang menjadi gambaran karakter pekerjaan generasi lama.

Dalam peranan, ada ruang tumbuh untuk mendapatkan kebebasan berekspresi yang menjadi hal paling penting. Peranan bukan sekedar memberikan sesuatu yang benar, tapi membawa temuan-temuan baru yang memberikan dampak nyata sesuai zamannya.

“Peranan adalah melekatkan kemapuan keilmuan & manfaatnya pada masyarakat & lingkungan, kemudian meluaskan keterampilannya untuk membawa kemajuan bagi sekeliling” Tiap individu berhak memilih & memformulasikannya sesuai dengan ilmu & passionnya. Bunyamin, dkk 2020

Jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es

Menyimak beberapa influencer muda beramai-ramai ditangkap Bareskrim. Kasus para afiliator muda Binary Options yang mencuat belakangan melibatkan anak-anak muda DS, IK juga belakangan ada ADG bukan afiliator, tapi influencer dengan usia 23-26 tahunan yang sesungguhnya mereka ini cerdas, punya keleluasaan mendapatkan akses pada dunia digital sesuai dengan jaman para Gen Z saat ini. Bukan maksud mengeneralisir, hanya saja memang perlu dicermati, jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es.

Ketiga orang diatas memang sangat intens di dunia digital, dua diantaranya intens dengan aktivitas finansial digital, ADG yang terakhir menyalah-gunakan keterampilan komunikasi & politiknya di dunia media sosial. Anak-anak muda ini cerdas secara substansi, tapi di era digital ini, tampaknya mereka tak tumbuh dengan nilai-nilai hidup & sosialnya.

Saya jadi berhipotesa, bahwa era digital memang membuat setiap individunya untuk menjadi sangat mudah memiliki akses pada ilmu pengetahuan. Namun sayangnya penumbuhan pengetahuan ini tak memastikan juga membawa serta nilai-nilai hidupnya.

Proses akuisisi pengetahuannya berjalan terus, tapi nilai-nilainya tak terbangun sepanjang proses tumbuh pengetahuannya. Pada akhirnya Ia menumbuhkan pengetahuannya yang terpisah dengan nilai-nilai luhur hidup. Jika kita amati IK, DS & ADG, mengapa dari ketiga orang ini ketika Ia melanggar hukum pun justru merasa tak bersalah? Bahkan bersikeras bahwa Ia tak juga melanggar nilai.

Kasus merasa benar, sah & benar dengan polosnya, terlebih dengan kasus ADG terkini cukup mencengangkan. Bagaimana seseorang cerdas tumbuh menjadi pemfitnah & pengadudomba profesional dengan memanfaatkan media digital & menganggapnya sebuah kelaziman demi uang.


Tantangan era digital ini sejatinya bukan hanya pertanyaannya terkait akuisisi pengetahuannya saja, karena sumber pengetahuan sangat luas dan mudah didapat, tapi bagaimana kemudian kita berstrategi menumbuhkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, etika dan empati yang dapat terinternalisasi dengan baik mejadi fundamental hidup manusia yang beradab dalam peradaban di era digital.

Mengapa Sekolah itu Penting?

Seorang kolega bertemu dan berdiskusi tentang mengapa sekolah itu penting. Seperti sudah umum dialami oleh setiap pengajar, terlebih dosen, melanjutkan sekolah ke jenjang tertinggi adalah sebuah kewajiban. Hanya saja setiap individu yang memulainya memang memiliki latar belakang yang berbeda.

Kerap kali ditemui memulai sekolah lagi adalah karena sudah usianya yang mendekati tenggat waktu, atau karena kewajiban yang tak bisa dielakkan, untuk bekal naik pangkat atau agar kemudian bisa mencapai jabatan tertinggi sebagai Guru Besar nantinya. Lalu apa sebenarnya alasan kita melanjutkan sekolah? Sama seperti yang ditanyakan kolega saya diatas?

Tentu Big Why bersekolah penting berupa sesuatu yang positif & membangun energi untuk belajar sepajang prosesnya & kemudian menjadi pembelajar sepanjang hayatnya. Sekolah pada dasarnya bukan saja tentang mendalami ilmu tertentu, tapi juga memberikan pemahaman berpikir yang lebih baik. Kualitas berpkir akan melahirkan kualitas hidup yang lebih baik.

Oleh karena itu, pastikan bahwa keputusan melanjutkannya adalah karena “the healthy urgency”, karena dalam prosesnya bukan tentang bagaimana mengakhirinya dengan cepat. Namun bagaima prosesnya bisa membangun kualitas berpikir yang baik, menjadikan kualitas hidup menjadi lebih baik karena kemampuan menerjemahkan keilmuannya dalam peranan hidupnya masing-masing & memiliki dampak bagi sekeliling.

Dilain pihak, memilih sekolah juga perlu jeli, karena bukan tentang gelar atau akreditasinya saja, tapi apakah lembaganya memiliki nilai-nilai pendidikan yang unggul, apakah menghubungkan dengan ekosistem untuk tumbuh kembang bersama, apakah terbuka dengan beragam perubahan, apakah dipastikan ketika lulus kelak jadi individu dengan memiliki kualitas berpkir lebih baik serta keleluasaan akses pada ekosistem yang sehat?

Apakah kemudian kita bertransformasi menjadi individu yang memaknai setiap proses belajar adalah untaian aktifitas yang mindful? Idealnya, gelar yang didapat tercermin dari sikap hidupnya sehari-hari.

Sekolah yang baik memberikan kita wadah bertransformasi dengan memperbesar peluang untuk memiliki kualitas hidup baik dari hasil pemikiran berkualitas. Bgmn dengan kamu?