Radical Colaboration

Di era persaingan ketat dan perubahan cepat, produk saja tidak cukup. Konsumen kini mencari pengalaman dan keterhubungan emosional dengan brand yang mereka pilih. Kolaborasi radikal menjadi strategi efektif untuk menciptakan ekosistem yang menyatukan komunitas, nilai, dan identitas yang berbeda, sekaligus memperkuat posisi brand di benak pelanggan✨

Kolaborasi Tahilalats x One Piece x Kopi Kenangan membuktikan hal ini. Tahilalats dengan humor lokal yang relatable, One Piece dengan fanbase global yang loyal, dan Kopi Kenangan sebagai bagian dari gaya hidup urban, bersatu menciptakan pengalaman yang lebih dari sekadar produk. Ini bukan hanya soal minuman atau merchandise, tetapi juga cara menghadirkan storytelling yang menghubungkan berbagai komunitas dan menciptakan rasa memiliki bagi audiensnya.🔆

Konsumen saat ini ingin lebih dari sekadar membeli—mereka ingin berbagi, merasa terhubung, dan menjadikan produk sebagai bagian dari identitas mereka. Merchandise eksklusif dari kolaborasi ini bukan sekadar barang koleksi, tetapi simbol keterikatan komunitas yang memperkuat hubungan brand dan pelanggan. Detail seperti tutup tumbler berbentuk topi jerami Luffy menciptakan pengalaman yang lebih personal dan emosional.🙌

Di era digital, konsumen adalah marketer terbaik. Produk yang menarik perhatian akan secara alami tersebar di media sosial, menciptakan efek viral tanpa biaya besar. Kolaborasi ini membuktikan bahwa pemasaran berbasis komunitas lebih efektif dibandingkan promosi konvensional👀

Pada akhirnya, brand yang bertahan bukan hanya yang menawarkan produk terbaik, tetapi yang membangun cerita dan pengalaman yang melekat dalam keseharian konsumennya. Kolaborasi radikal bukan sekadar tren, tetapi strategi masa depan untuk menjadikan brand lebih bermakna, relevan, dan selalu hadir di kehidupan pelanggan💙

Purpose Driven Innovation

“Mas, ini hand ilustration volunteer, merchandise nya dijual juga buat projek2 kebaikan” seorang sahabat memberikannya sebagai hadiah✨ istimewa sekali!

Kreativitas & ketaqwaan sering kali dianggap sebagai dua dunia yang berbeda—yang satu tentang kebebasan berekspresi, yang lain tentang ketundukan dan kesadaran spiritual. Namun, ketika keduanya bertemu, lahirlah sesuatu yang lebih bermakna: inovasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kebaikan, keberkahan, dan kemaslahatan.

Inovasi bukan cuma menciptakan sesuatu yang baru, tetapi juga memastikan bahwa yang diciptakan punya dampak positif & berkah buat banyak orang✨

Kreativitas yang berpijak pada nilai moral & etika tentu akan melahirkan solusi yang lebih dari sekadar produk atau layanan, tetapi juga jadi jawaban atas kebutuhan yang lebih besar—baik bagi manusia maupun lingkungan.

Dalam dunia bisnis, pendekatan ini melahirkan usaha yang ngga sekadar mengejar keuntungan materi, tetapi juga keberkahan. Sebuah usaha yang dijalankan dengan niat baik, integritas & kesadaran akan manfaatnya bagi banyak orang akan lebih kokoh, lebih bermakna & punya berdampak luas.

Dalam desain dan inovasi, pendekatan yang berpusat pada manusia jadi kunci untuk menciptakan solusi yang lebih bernilai.

Inovasi ngga lagi sekadar eksplorasi ide, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual—menghubungkan manusia dengan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kepedulian.

Kreativitas sering dikaitkan dengan kecerdasan intelektual, tetapi tanpa kebijaksanaan spiritual, ia bisa kehilangan arah. Ketajaman berpikir harus berjalan berdampingan dengan ketajaman hati nurani. Kreativitas yang dipandu oleh nilai-nilai ketaqwaan akan melahirkan keputusan yang lebih bijak, lebih manusiawi punya maknas dalam jangka panjang.

Ketika kreativitas bertemu dengan ketaqwaan, inovasi ga lagi sekadar tentang menemukan cara baru, tetapi juga tentang menghadirkan makna yang lebih dalam. Ia jadi ruang refleksi, jalan berbagi, dan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Karyanya bisa menggerakkan hati, menumbuhkan kesadaran & membawa kebaikan yang terus mengalir. Aamiin

Sarnoff’s Law Vs Metcalve’s Law

Pernah ngga kamu ngalamin bimbingan sama Dosen yang isinya cuma nunggu giliran buat dapet jawaban dari dosen?

Udah datang, duduk, diem, terus nanya ke dosen aja dan nggak ada interaksi sama temen lain. Nah, jika semua orang cuma ngandalin satu sumber, ya wajar aja prosesnya jadi jadi lama dan nggak maksimal. Ini kayak Sarnoff’s Law, di mana nilai jaringan cuma sebanding dengan jumlah orang yang terhubung langsung ke satu pusat (dosen). Hasilnya? Belajar jadi antrian panjang yang bikin frustrasi. Dosennya juga jadi mumet (Curcol)

Padahal, kalau kita bisa memulai budaya untuk saling cerita, saling belajar, dan saling bantu, efeknya bisa jauh lebih besar! Bayangkan kalau mahasiswa bisa diskusi bareng, nyari solusi bareng, dan ngasih perspektif baru satu sama lain. Walau berbeda topik penelitian, berperilaku divergen dalam memperbaikinya. Hasil dari proses ini nggak lagi linear, tapi eksponensial (Metcalfe’s Law). Makin banyak yang aktif berkontribusi, makin kaya juga pembelajarannya, ya tiap orang jadi ikut pinter!

Dalam kasus ini, Dosen nggak perlu jadi satu-satunya sumber jawaban. Peran dosen berubah jadi orkestra yang mengarahkan, bukan jadi Google yang kasih jawaban instan. Mahasiswa bisa eksplorasi lebih luas, dapet lebih banyak sudut pandang, dan belajar dengan cara yang lebih seru.

Jadi, kenapa masih stuck di sistem ngantri bimbingan kalau bisa belajar dengan cara yang lebih powerful? Saatnya ubah pola pikir, bangun network effect, dan bikin pembelajaran bisa narik insight jauh lebih banyak!

Mengapa Pemilik Warung Lebih Layak Dibantu Daripada Warungnya

Simak deh ungkapan ini:
Saya mau bantu Warung Tegal memisahkan sampah,” lalu membawa 2 tempat sampah kuning & hijau. Tapi, masalah pemilahan sampah tetap tidak terselesaikan🥲

Membantu Warung Tegal adalah kesalahan dalam Design Thinking karena Warung Tegal adalah benda mati—tempat, fisik, atau sistem. Design Thinking berfokus pada manusia di balik masalah. Kalimat yang tepat adalah: “Saya mau bantu pemilik Warung Tegal.”

Dengan fokus ini, langkah berikutnya adalah berempati pada pemilik warung, individu yang menjalani rutinitas, menghadapi tantangan, dan memiliki kebiasaan tertentu. Mungkin pemilik merasa pemilahan sampah memakan waktu, merepotkan di tengah kesibukan, atau tidak memahami pentingnya pemilahan. Bisa jadi ada kendala lain, seperti tidak ada sistem pengangkutan sampah terpilah atau keterbatasan ruang yang membuat tempat sampah tambahan mempersempit area kerja.

Dengan berfokus pada pemilik warung, solusi tidak hanya sebatas menyediakan tempat sampah, tetapi juga memahami perilaku, motivasi, dan hambatan mereka. Solusinya bisa berupa edukasi, perubahan proses kerja yang lebih praktis, atau kemitraan dengan pengelola sampah terpilah.

Kalimat “Mau bantu siapa?” mencerminkan pola pikir Design Thinker sejati karena fokusnya pada orang yang dibantu. Ini selaras dengan prinsip User Centricity, di mana inovasi dimulai dari pemahaman mendalam tentang siapa pengguna atau orang yang menghadapi masalah. Pendekatan ini menempatkan empati di depan, mendorong pemahaman tentang kebutuhan, keinginan, dan tantangan pengguna sebelum mencari solusi.

Sebaliknya, pertanyaan “Mau dibantu apa?” menggeser fokus ke solusi yang mungkin tidak relevan dengan kebutuhan sebenarnya. Ini menunjukkan pendekatan reaktif dan solusi-sentris, bukan user-centric. Dengan langsung menanyakan “apa”, ada kecenderungan mengasumsikan masalah sudah jelas, padahal sering kali yang terlihat bukanlah akar masalah.

Inti Design Thinking adalah memahami bahwa inovasi bukan tentang menciptakan solusi canggih, tetapi membantu orang dengan cara yang bermakna dan relevan. Empati adalah langkah pertama yang krusial—tanpanya, solusi terasa dangkal dan tidak relevan, meskipun secara teknis benar🎉

Mengapa Jadi Insinyur?

Emang kuliah apa lagi?

Pertanyaan ini kerap muncul. Ini adalah Program Profesi yang saya tempuh setelah bertahun-tahun menjadi dosen & aktif di dunia akademik. Mengapa ikut ini? Ini bukan soal gelar / ambisi karier, tapi tentang komitmen untuk jadi bagian dalam menciptakan dampak lebih besar dimasa depan🔆

Sebagai dosen di bidang pertanian, saya menyadari adanya tantangan besar. Banyak mahasiswa enggan melanjutkan karier di bidang ini, sering kali karena sulitnya lapangan kerja atau kurangnya keterampilan yang terasah selama pendidikan. Akibatnya, lulusan tak siap secara profesional, kehilangan kesempatan mengaktualisasikan diri, dan jalur kariernya terhenti di tengah jalan, keluar dari dunia pertanian yang berat💪

Dalam bidang lain seperti Kedokteran, Farmasi atau Psikologi, program profesi sudah jadi budaya yang melekat. Lulusannya terkawal dengan baik, menghasilkan banyak profesional yang berdampak signifikan pada perkembangan industri terkait. Hal serupa seharusnya dapat diterapkan di bidang pertanian, sehingga tenaga profesional di sektor ini tumbuh terencana, by design & mampu memberikan dampak besar kemudian⭐️

Sebagai dosen, sadar benar, bahwa jika ingin menumbuhkan komitmen mahasiswa agar tetap mau berkarier di bidang ini, harus jadi contoh nyata terlebih dahulu. Masa meminta mahasiswa, tapi dosennya sendiri tak memberi contoh? Penting bagi kami menjadi role model yang menunjukkan bahwa keinsinyuran adalah jalan strategis untuk berkontribusi pada bangsa. Keseriusan ini harus dimulai dari memberi contoh sebelum menginspirasi mahasiswa untuk memiliki visi yang sama✨

Program Profesi ini bukan sekadar kebutuhan individu, meskipun masih banyak yang mempertanyakan relevansinya. “Buat apa? Toh tanpa itu tetap bisa kerja.” Argumen seperti ini umum terdengar, terutama di bidang industri yang belum menempatkan keinsinyuran sebagai kriteria utama. Tetapi kenyataannya, langkah konkret ini tidak dapat ditawar lagi. Indonesia butuh generasi profesional yang mampu merancang dan membangun masa depan industri pertanian secara terencana untuk terus berkontribusi di bidang pertanian melalui inovasi berbasis keinsinyuran yang relevan dengan tantangan jaman. Bismillah.

Mengapa Menulis Bisa Bikin Pikiran Makin Lega

Rasanya, makin sering bertemu mahasiswa yang tak mampu menulis. Banyak dari mereka tak terlatih mengurai sebuah kondisi dengan tulisan, karena saat ini sudah sangat terbiasa mengetik singkat di ponsel, hanya berupa pointers atau catatan tanpa uraian yang jelas🤯

Padahal, menulis adalah keterampilan penting yang melatih kita punya daya pikir yang kritis, menyusun ide, dan menyampaikan gagasan dengan jelas. Bagi mereka yang aktif mengeksplorasi, setiap pengalaman dan wawasan adalah sumber ilmu yang sebaiknya diabadikan dalam tulisan, agar tak mudah terlupakan.

Menulis bukan cuma soal mencatat, tetapi juga cara untuk memproses dan menguraikan pikiran, perasaan, serta pengalaman. Bahkan kita bisa luapkan emosi yang sulit diungkapkan secara lisan tanpa khawatir dihakimi. Ini menjadi ruang aman untuk memahami diri sendiri lebih baik dan mengurangi kecemasan atau overthinking🥳

Overthinking yang menumpuk bisa terasa kusut, tetapi menulis bisa bantu kita mengurainya dan membuat langkah-langkah yang lebih realistis.🤗
Menulis juga memberi waktu untuk pause di tengah kesibukan sehari-hari, memberi kita kesempatan untuk merenung dan memperhatikan hal-hal penting yang mungkin terlewat. Selain itu, menulis melatih fokus dan konsentrasi; saat menulis, kita belajar menyusun kata dan ide secara mendalam, yang berdampak positif pada kemampuan kita mengerjakan hal lain dengan lebih terstruktur🧐

Dengan menulis, kita dapat mengubah pengalaman masa lalu (Hindsight) menjadi Insight, Foresight, dan Oversight. Saat meninjau Hindsight, kita dapat belajar dari keberhasilan atau kesalahan masa lalu, menghasilkan Insight yang lebih tajam. Insight ini kemudian membuka peluang untuk Foresight, yaitu pandangan atau rencana yang lebih baik untuk masa depan berdasarkan pola yang terlihat🥳

Dalam prosesnya, kita juga melatih Oversight, yakni kemampuan menjaga fokus pada hal-hal penting dan menghindari detail yang kurang relevan. Melatih diri untuk menulis rutin membuat kita semakin mudah merangkai kata dan menyampaikan gagasan, juga melatih diri untuk berpikir lebih dalam, bijak, dan gagasan masa depan yang bisa jadi gambaran visi hidupanya🎉

Prinsip Pareto

“Berakit-rakit dahulu,
berenang-renang kemudian;
bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian.”

Ungkapan ini sangat relevan dalam upaya kita mencapai kondisi 20/80 yang ideal sesuai Prinsip Pareto.

Selama ini, kita sering terjebak dalam aktivitas yang menyita seluruh waktu dan energi hanya untuk mengejar hasil langsung. Meski hasil instan terkadang penting, jika terus menjadi fokus utama, kita tak akan pernah mencapai efisiensi kerja yang sesungguhnya. Prinsip Pareto mengajarkan bahwa 20% dari usaha seharusnya mampu menghasilkan 80% hasil. Untuk mencapai kondisi ideal ini, kita harus terlebih dahulu merancang dan membangun sistem yang kokoh—sesuatu yang tidak bisa dicapai hanya dengan fokus pada hasil jangka pendek🥳

Dalam proses ini, kita perlu beralih dari pola kerja tanpa arah (100% usaha) menuju pola 80/20 yang lebih terencana dan terstruktur. Pada tahap awal, fokus utama kita bukan pada hasil instan, tetapi pada pembangunan fondasi kerja yang kuat: sistem, proses bisnis, dan struktur organisasi yang andal. Ini berarti bahwa 80% usaha kita diarahkan untuk membangun sistem yang dapat menopang produktivitas jangka panjang, sementara 20% sisanya dialokasikan untuk pencapaian target-target sementara. Strategi ini memungkinkan kita untuk mengurangi upaya sambil tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan hasil di masa depan🤗

Namun, perlu berhati-hati—kita harus memahami betul apa yang dimaksud dengan “bekerja 80%” pada tahap awal ini. Fokus 80% usaha bukan berarti mengejar hasil finansial instan, melainkan membangun sistem dan proses yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Sistem ini akan menjadi fondasi keseimbangan ideal di mana 20% usaha cukup untuk mencapai 80% hasil🤩

Inilah saatnya berhenti terjebak dalam proyek-proyek kecil yang hanya memberikan kepuasan sementara. Kapan kita akan membangun sistem yang memungkinkan kita bekerja cerdas, bukan sekadar bekerja keras? Dengan memprioritaskan pembangunan sistem, kita menciptakan peluang untuk beralih dari kerja keras ke kerja efisien, yang akan terus mendukung kita dalam mencapai hasil optimal dengan usaha minimal di masa depan🥳

Jadi Founder Harus Ngapain?

Kegagalan seorang founder adalah ia kerap kali tergesa-gesa merekrut tim, apa yang Ia lewatkan?

Dalam semangat untuk segera memulai bisnis dan mewujudkan ide-ide besar, banyak founder yang kerap kali tergesa-gesa dalam merekrut tim. Namun, langkah ini sering dilakukan tanpa landasan yang kuat, seperti visi yang terarah dan proses bisnis yang matang. Ketergesaan ini sering kali menyebabkan masalah serius di kemudian hari, seperti ketidaksinkronan dalam eksekusi dan kekacauan operasional di dalam organisasi🤯

Apa yang sering dilewatkan oleh founder adalah menuliskan dan mengkomunikasikan visi dengan jelas. Visi bukan cuma sekadar impian atau tujuan jangka panjang, melainkan panduan strategis yang memberi arah bagi seluruh anggota tim. Tanpa visi yang terdefinisi dengan baik, tim yang direkrut mungkin tidak memiliki pemahaman yang seragam mengenai arah dan tujuan perusahaan. Hal ini menciptakan kebingungan dan berujung pada tim yang bekerja tanpa kesatuan arah🥲

Selain visi, proses bisnis yang terdokumentasi juga sering kali diabaikan. Founder yang terburu-buru merekrut tim sering lupa bahwa proses bisnis adalah tulang punggung operasional perusahaan. Tanpa proses bisnis yang jelas dan terdokumentasi, tim baru tidak memiliki panduan yang tepat mengenai alur kerja, tanggung jawab, dan prioritas yang harus mereka fokuskan. Hasilnya, banyak waktu dan energi yang terbuang untuk hal-hal yang seharusnya bisa dihindari jika ada struktur yang kuat🎉

Founder yang mengabaikan penyusunan visi dan proses bisnis yang matang berisiko mengalami kekacauan dalam organisasi. Mereka mungkin menemukan bahwa tim yang telah direkrut tidak dapat bekerja secara efektif karena ketidakjelasan tujuan dan arah.😝

Oleh karena itu, penting bagi seorang founder untuk memastikan bahwa sebelum melakukan rekrutmen, visi dan proses bisnis sudah terdokumentasi dan dipahami secara jelas oleh dirinya sendiri. Langkah ini akan mempermudah proses rekrutmen dan memastikan bahwa tim yang dibangun benar-benar selaras dengan visi perusahaan, sehingga dapat berkontribusi optimal menuju kesuksesan🎉🎉✈️

Transformative leaders

Di dunia yang terus berkembang, kepemimpinan bukan lagi sekadar punya peran untuk mengawasi tugas; ini tentang bagaimana Ia menciptakan dampak yang berkelanjutan.

Transformative leaders punya keinginan mewujukan keotentikanya, haus akan kolaborasi, dan menggeser mindsetnya dari kontrol ke proses empowerment. Mereka bergerak dari sekadar manager menjadi seorang visionary yang sebisa mungkin menginspirasi timnya untuk mencapai potensi paling tinggi.

Seorang transformative leader, perannya tentu melampaui kepemimpinan tradisional. Alih-alih hanya fokus pada profit dan kontrol, mereka punya tugas menciptakan lingkungan yang penuh abundance dan membangun kemitraan didalamnya. Mereka menginspirasi dengan membangun hubungan yang tulus dengan tim, paham kekuatan individu, dan mendorong open communication. Kepemimpinan seperti ini bertujuan membangun trust, mendorong personal growth, dan membuat anggota tim merasa valued serta empowered.

Hasil dari kepemimpinan seperti ini terbukti nyata. Studi menunjukkan bahwa transformative leadership tidak hanya meningkatkan profitability hingga 21%, tetapi juga mengurangi employee absenteeism hingga 41% dan employee turnover hingga 59%. Ketika pemimpin beralih dari director menjadi coach, dan dari controller menjadi catalyst, mereka membuka jalan bagi tenaga kerja yang lebih resilient, creative, dan motivated.

Untuk menjadi pemimpin yang menginspirasi, penting untuk bersikap authentic dan approachable. Ini berarti memulai perjalananan panjangnya untuk jadi individu yang punya keterampilan actively listening, menghargai diverse perspectives, dan memimpin dengan contoh tindakan nyata. Saat pemimpin berkomunikasi dengan efektif dan menunjukkan empathy, mereka menciptakan lingkungan kerja di mana orang ingin berkontribusi dan berkomitmen pada shared goalsnya.

Di era perubahan yang konstan, transformative leadership adalah kunci menuju sustainable success. Dengan menginspirasi orang lain, punya authenticity, dan berproses membangun budaya untuk trust, pemimpin engga cuma hanya mencapai business results tetapi juga membangun legacy yang penuh meaning dan purpose.

Transactional Leader VS Transformative Leader

Oleh-oleh dari materi Pak Wamen BUMN dalam program BUMN Muda bersama kawan-kawan-kawan Binar!

Potongan slidesnya beliau mengungkapkan bahwa dunia yang terus berkembang, kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar manajemen tugas dan pencapaian hasil.

Seorang pemimpin yang hebat mampu melangkah dari peran Transactional Leader, yang fokus pada tugas dan aturan, menuju Transformative Leader—pemimpin yang menginspirasi dan memotivasi tim untuk mencapai potensi terbaik mereka.

Transactional Leaders memang efektif dalam situasi yang membutuhkan keteraturan. Namun, menghadapi perubahan yang kompleks memerlukan lebih dari itu. Di sinilah Transformative Leaders berperan, dengan mendorong perubahan dari dalam diri dan dalam tim. Mereka peduli pada apa yang dikerjakan serta bagaimana dan mengapa itu dilakukan.

Menjadi Transformative Leader memerlukan pengembangan diri dan sikap strategis yang kuat. Pertama, memiliki ketahanan (resiliency) untuk bertahan di tengah tantangan. Kedua, keberanian (courage) untuk mengambil risiko demi inovasi. Ketiga, dorongan untuk kesempurnaan (strive for excellence), memastikan tim selalu memberikan yang terbaik. Mereka juga memiliki GRIT atau kegigihan, yang membuat mereka pantang menyerah dalam mencapai tujuan jangka panjang. Terakhir, kesadaran diri (personal awareness) penting untuk memahami kekuatan dan kelemahan pribadi, membantu mereka terus berkembang.
Pemimpin yang bertransformasi tidak berhenti belajar.

Mereka menerapkan Continuous Learning agar selalu siap beradaptasi dengan perubahan. Dengan Self-Awareness, mereka memahami kapan perlu berubah dan bagaimana melakukannya. Selain itu, Self Alertness membuat mereka peka terhadap situasi kompleks, siap mencari solusi yang tepat.

Transformasi menjadi Transformative Leader memungkinkan pemimpin menciptakan perubahan positif bukan hanya dalam pencapaian, tetapi juga dalam kualitas perjalanan bersama tim. Pemimpin seperti ini menginspirasi, mendorong tim untuk terlibat aktif, dan memastikan kesuksesan organisasi melalui kepemimpinan yang efektif dan inspiratif.

Terimakasih kesempatannya Binar & BUMN Muda!