Saatnya Shifting!

Dalam sesi para calon pemimpin BNI kemarin, beberapa hal yang perlu dipahami terkait paradigma yang relevan sangat berbeda dengan era lalu. Beberapa hal yang shifting misalnya berada pada istilah-istilah berikut ;

Ada -> Connected👋
Ini muncul karena era ini adalah era dimana kita perlu merasa connected, banyak terjadi, meski ada kita tak connected, jadi zombie. Secara fisik ada, hati dan pikiran dialam lain.

Jauh -> Terhubung🫶
Tidak semua yang jauh perlu didekatkan, apalagi jika menimbulkan banyak kebutuhan sumberdaya baru. Pastikan terkoneksi, era digital membuat kita bisa terhubung dengan konsumen seolah-olah kita melayaninya personal

Lama -> Dipastikan👌
Jika dulu istilah lama obatnya cepet, tapi tidak lagi dengan saat ini. Konsumen tidak melulu minta cepat, tapi minta kepastian. Memastikan kapan datang, kapan selesai, seberapa lama menunggu atau seberala cepat tuntas.

Lelah -> Eksplorasi👐
Gladly report 2019 mengungkapkan “Experience Matter More Than Channel” orang justru senang berlelah-lelah, berkeringat demi sesuatu. Orang tak melulu mencari santai, dekat / mudah, Produk yang membawanya bereksplorasi justru membawanya bersedia membayar lebih mahal karena membawanya pada banyak value & insight baru👏

Selain hal di atas, banyak sekali redefinisi baru hasil reevaluasi perjalanan konsumen di era digital yang merubah beragam perilaku hidupnya. Redefinisi ini juga diungkap banyak tokoh bisnis dunia seperti;

🍧Data yang bernilai adalah data yang dimonetisasi (MIT IDE 2018 Platform Strategy Summit);

🍧Jangan habiskan waktumu ditempat dimana informasi yang kamu dapat dikontrol oleh algoritma (Ian Myers, CEO, NewsPicks)

🍧Inovasi adalah hasil dari arsitektur & organisasi yang mengamplifikasi kekuatan mekanisme & budaya. (Dirk Didascalou, Amazon)

🍧Walau bisa kita jualan via telpon, chart, email / sekedar bersua sesaat. Ada konteks fisik, mental-emosional yang dibentuk dimata client yang menentukan kita berhasil atau tidaknya.
(Megan Burns, Experience Enterprises)

🍧Pastikan connected! Keterhubungan antara kreator & konsumen. Keterlibatan antar komunitas konsumen & kreator yang kemudian berdampak pada bisnis & societynya (Kotler-Sarkar, 2019)👌

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Ekplorasi Pembuka Inovasi

“Pak kami harus ngapain?” Pertanyaan yang sering muncul dalam tiap permulaan proses. Dalam Design Thinking, kita mengenal istilah eksplorasi di tahap pertama. Tujuannya berempati memahami keadaan.

Dilakukan dengan mencari tahu & menemukan beragam bentuk temuan di lapangan. Keterampilan utama yang diperlukan adalah mendengar hingga bisa menangkap beragam sudut pandangnya dari proses experiencenya. Pengalaman akan membawa pada kepekaan untuk mendengar keberagaman sudut pandang user, sekaligus cara pandang orang lain, kemudian melakukan proses sintesa temuannya.

DT akan berhasil jika dilakukan bukan dengan memaksa, tapi dilakukan & dimiliki oleh seluruh aktor dalam organisasi. Semua aktor berperan sebagai Desainer sebagai sebuah cara berpikir, bukan peranan, dalam perjalanannya Ia tak akan berhenti belajar dari interaksi langsungnya bersama konsumen & lingkungannya.

Sesungguhnya sangat menarik menjadikan pendekatan ini untuk menguatkan kemampuan tim berinovasi. Tiap individu adalah perancang yang diberi tanggung jawab & hak untuk mensintesis semua simpul koneksi yang ditemuinya.

Neri Oxman menyebutkan bahwa “The role of Design is to convert utility into behavior” Ia mendetailkan penjelasan yang memilah antara peranan ilmu, keteknikan, desain dan seni seperti ini;

1)Science
The role of Science is to explain & predict the world around us; it ‘converts’ information into knowledge.

2)Engineering
The role of Engineering is to apply scientific knowledge to the development of solutions for empirical problems; it ‘converts’ knowledge into utility.

3)Design
The role of Design is to produce embodiments of solutions that maximize function and augment human experience; it ‘converts’ utility into behavior.

4)Art
The role of Art is to question human behavior and create awareness of the world around us; it ‘converts’ behavior into new perceptions of information.

Kembali ke ekplorasi, empati & mendengar. Inovasi hadir jika tau persis masalah, validitasnya tergantung kemampuan menangkap kenyataan & sintesanya. Maka sebelum berbicara solusi, maka eksplorasi akan membawa kita paham dengan baik kemudian menentukan titik mula gagasan jadi solusi jitu.

Mengapa Penting Memahami Design Thinking (DT) ?

Mengapa penting memahami Design Thinking (DT) ? Bagi kami framework ini membawa banyak kemajuan yang signifikan bagi cara pandang, budaya kerja & pola pikir yang membuat setiap individunya punya kapasitas kreativitas yang lebih tinggi, adaptif terhadap perubahan dan kemampuan berpikir kritsinya yang semakin baik.

Kemampuan empati yang diasah dalam kesehariannya mencipta ekosistem yang semakin matang dan membahagiakan. DT sesungguhnya bukan semata-mata framework, tapi ini adalah mindset penting yang mengawali inovasi.

Jika dikatakan mengapa penting kemudian banyak juga pihak yang masih ragu akan pentingnya memahami barang ini, coba kita lihat fakta dan data. Siapakah yang menggunakan pendekatan ini dan berhasil mencipta beragam inovasi bagi kemajuan masyarakatnya?

Singapura, contoh terkenal tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat dan pemikiran inovatif telah mendorong pertumbuhan ekonominya. Dengan menekankan & mengadopsi pendekatan yang “citizen-centric”, pemerintahnya menerapkan pendekatan desain dalam upayanya untuk meningkatkan kehidupan masyarakatnya.

Negara yang berawal dari serba keterbatasan, sejak tahun 2008, pemerintah Singapura datang ke IDEO, perusahan konsultan inovasi yang terkenal dengan pendekatan IDEO Design Thinking untuk menjadikan negaranya dengan pemerintahan yang Human-centered.

Beragam pendekatan DT kemudian diterapkan diberbagai bidang seperti pelayanan kesehatan  yang “patient-centric” untuk menekan subsidi kesehatan dengan membuat sistem prediksi biaya kesehatan& asuransinya yang menguntungkan bagi warganya. Juga pada bidang lainnya seperti di bidang ketenagakerjaan, SDM agar orang Singapura mau memiliki anak lebih banyak, perumahan, sistem hukum, pendidikan, kebun binatang, bandara bahkan tentara yang memiliki 1000 insinyur yang memahmai Design Thinking dengan baik.

Bukan cuma pemerintah, perusahaan swasta di Singapura menggunakan Design Thinking untuk mengerjakan strategi bisnisnya & mengembangkan organisasinya dengan pesat. Jadi tak heran bahwa negara kecil ini kemudian punya Creative Confidence yang sangat besar, secara konsisten mengembangkan Creative Musclenya & membuat the Red Dot ini cepat sekali berinovasi.

Big to Small Thinking Framework

Dalam postingan terdahulu ada sebuah analogi menarik terkait Design Thinking dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Ungkapan ini begitu relevan & bagaimana cara menurunkannya dalam sebuah strategi teknis bagi para pelanggan kita. Jika kita kaitkan lagi dengan framework Golden Circle-nya Simon Sinek yang mengungkapkan tahapan-tahapan Why-How-What. Analogi Banfield sesungguhnya merujuk pada pentingnya kita mengemukakan Why hingga seseorang tau mengapa Ia perlu menginisiasinya atau memulai sesuatu dengan mengetahaui kenapa hingga tumbuh pula energinya.

“Detail is important, but the big picture is what counts” Menyampaikan “resepnya” ketimbang “kuenya” pada pelanggan bisa bermula dengan menjelaskan dari Big Picture & kita mau kemana? Hal ini sering terlewati karena langsung terjerembab pada What, langsung menikmati “kue”nya.

Mengapa Big Picture?
-Memungkinkan untuk melihat peluang
-Membawa Big Picture untuk dikomunikasikan pada tim
-Memperkuat alasan sebenarnya untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari

“Having a big-picture perspective can help you prioritize effectively, set better goals & improve time management. By developing a complete perspective of a situation, making decisions that drive long-term results, which can help you advance in achieving your goals”

Hari ini,di Unsoed Purwokerto, saya menemani kawan-kawan bergagasan mencipta kurikulum transformatif. Melahirkan proses pembelajaran yang kaya. Biasanya lokakarya semacam ini langsung pada barangnya berupa kurikulum, namun kami biasa membawa kawan-kawan membaca gambar besarnya, menggambarkan masa depan & kesenjangannya dalam mencapainya.

Mendahuluinya dengan memberikan Big Picture memungkinkan mendapatkan cakrawala lebih luas & dalam prosesnya membantu pembelajar menemukan alasan positif untuk mulai mencari dan menginisiasi. Itu mengapa memberikan resep jadi penting, karena pembelajar mampu meracik kuenya yang kontekstual pada diri & lingkungannya. Tidak dapat kue yang sama untuk semua 🙂

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Ekosistem ini bagi kami adalah tempat yang menyenangkan berbicara terkait mimpi, salah satu perangkat membumikan gagasan adalah Design Thinking (DT).

Jauh sebelum mengenal DT, saya diajarkan terkait Visioning sebagai tahapan penting dalam melakukan sesuatu. Kala itu Dosen pembibing saya di Teknik Industri ITB, tahun 2004 Bapak Gatot Yudoko mengemukakan betapa pentingnya kekuatan Visi dari sebuah kebijakan yang ingin dilaksanakan.

Seiring waktu, mengenal DT yang berorientasi user & diperuntukkan bagi pengembangan produk. Sejalan dengan itu, justru saya sering kali dipertemukan dengan cita-cita masa depan yang sukar bagi orang-orang lain membayangkannya.

Vision First-Design Thinking, ternyata membantu membumikan imajinasi agar bisa masuk akal. Hal ini juga dilakukan banyak StartUp teknologi seperti iPhone yang mengenalkan cara baru berkomunikasi, Uber dengan cara baru betransportasi, atau Tesla yang menginspirasi solusi energi dari science-fiction.

Dengan memvisualisasikan mimpi masa depan kemudian memvalidasinya dengan temuan-temuan baru, sebuah tim dapat meracik sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Hal ini secara pribadi sering kali kami lakukan terutama dalam meracik kurikulum-kurikulum pendidikan atau produk bagi proses transformasi organisasi.

Sangat menarik kemudian membicarakan Vision First – Design Thinking, agak beda dengan yang biasa kita lakukan dengan pendekatan User First – Design Thinking. Kira-kira begini urutannya;

1. Petakan Big Picture-nya.
2. Petakan masalah yang menjadi kendala dalam mewujudkan mimpi tsb.
3. Cari ragam potensi solusi dengan membuka peluang secara divergen.
4. Racik gagasan dalam produk solusi dan mengujicobanya (MVP).
5. Uji berulang hingga mencapai outcomesnya
6. Validasi bersama konsumennya apa memecahkan masalahnya.
7. Pastikan struktur tim cross-functional collaboration
8. Buat peta jalan, untuk menunjukkan skala ekonominya
9. Rawat dengan umpan balik & skilus ujinya.

Tahapan ini perlu kaya dengan komunikasi & perbincangan tim dengan konsumennya. “Without those conversations, they are designing in a bubble”-Banfield, 2017.

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Design Thinking : Mengapa Penting?

Design Thinking (DT) merupakan strategi berpikir kreatif,digunakan dalam proses merancang solusi. Saat ini digunakan oleh lebih banyak orang untuk menyelesaikan masalah dalam bisnis atau sosial.

Selama ini, kekhawatiran yang muncul karena DT lebih disukai teorinya ketimbang prakteknya. Makanya muncul istilah daripada “Design Thinking” mending “Design Action”! Hal ini karena sebagian besar kelompok yang melakukan DT memusatkan semua perhatian dengan “memikirkannya”, tapi sayangnya “berpikir” tak secara alamiah mengarahkan manusia ke bagian “doing”. Untuk mendapatkan hasil praktis dari DT, kita perlu menyeimbangkan proses berpikir & melakukannya.

DT digunakan di awal pekerjaan, masalahnya kemudian adalah terlalu banyak orang menggunakannya dengan harapan mendapatkan solusinya ke pasar, tetapi ternyata tidak. Padahal menghubungkan prinsip-prinsip DT dengan hasil praktis sesungguhnya sangat sederhana, tapi melibatkan proses bicara & komunikasi intensif dimana sebagian besar kesulitan melakukannya.

Pada dasarnya DT adalah perpanjangan metode ilmiah. Mengarah pada menemukan solusi dimulai pengamatan, membuat hipotesis & menguji validitasnya. Hasilnya menghasilkan teori untuk mencerminkan kenyataan yang jadi dasar untuk hampir semua penemuan ilmiah. Prosesnya tidak mengubah validasi jadi solusi praktis, justru DT meminjam dari ketelitian ilmiah tsb & memberi cara yang andal untuk beralih dari konsep yang belum terbukti ke solusi tervalidasi.

Oleh karena itu mengapa DT baik bagi pemecahan masalah. Secara organisasi pun membuat tim lebih matang, bekerja secara inklusif dalam tahapan sprint hingga akhirnya tidak hanya melahirkan artefak berupa luaran, tapi juga outcomes yang bermanfaat & memberikan pelanggannya nilai pembeda yang berharga.

DT layaknya seperti resep. Berisi panduan apa saja yang perlu dilakukan, bukan hasilnya. Resep ini berisi instruksi untuk menghasilkan outcomes & mengiterasinya. Ada analogi bagus dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Era Vuca atau Bani saat ini saat banyak keadaan makin cepat, tak jelas, kompleks dan ambigu. Jadi belajar banyak di era pandemik ini saat perubahan dilakukan diatas perubahan menjadi kebiasaan baru. Beberapa hal juga berubah, cara bekerja dan segala sesuatu terkaitnya berubah total. Coba deh DURT, frameworknya Jon Mertz di tahun 2014.
Direct, Understandable, Reliable, and Trustworthy

Be Direct.
Langsung dan berterusterang dalam situasi yang kompleks menjadi cara yang ampuh untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dalam situasi yang kompleks. Informasi dalam komunikasi yang transparan serta membangun mutual trust / rasa saling percaya dan membagun upaya yang kolaboratif. Ingat kata kuncinya, transparan, saling percaya dan upaya kolaboratif. Semuanya yaa bukan satu-satu 🙂

Be Understandable
Situasi yang ambigu, memang sangat banyak dimungkinkan untuk terjadi saat ini dan kedepan. Menjadi jelas itu adalah sesuatu yang penting, namun bukan jelas caranya ya, tapi jelas tujuanya, jelas purposenya. Karena cara justru senantiasa berubah, hingga dimungkinkan membuka inisiatif dengan cara-cara baru. Kejelasan akan purpose, arah, peran dan tanggung jawab akan memberdayakan setiap indvidu didalamya.
JIka tak paham, ruang gagasan yang frekwentif menjadi wadah baik mematangkan tim dengan pemahaman-pemahaman baru yang kompleks.

Be Reliable
Era yang serba cepat, menjadi reliable adalah sebuah tantangan lain. Ikuti sesuatu yang dikatakan dan disepakati, pegang nilai-nilai dasarnya akan mempercepat momentum positf untuk tumbuh. Situasi cepat menghadirkan kesempatan untuk belajar banyak, belajar banyak artinya mengalami kegagalan yang banyak pula yaa! Hanya jangan gagal pada lubang yang sama, kesalahanpun bisa belajar dari orang lain 🙂

Be Trustworthy
Dapat dipercaya di era yang tak jelas adalah hal penting. Bersandar pada nilai-nilai yang disepakati. Investasi pada manusia, memelihara tim agar tetap enggaged berpadu dan kompak, melibatkan mitra dan tetap mau belajar untuk mau memahami hal-hal baru hingga bertindak dengan tindakan yang saling menghargai.

Selamat mengarungi dunia yang lebih dinamis!

Jangan tergesa, nanti jadi chaos!

Tergesa bisa jadi racun paling hebat dalam sebuah proses inovasi. Walau banyak pembenaran ketika hal-hal cemerlang biasa ditemukan ketika tenggat waktu tersisa sangat terbatas, biasa jadi validasi kaum Deadliners.

Dekade ini semakin banyak para organisasi unggul yang muncul dengan kecepatan inovasinya. Namun sering kali bagi mereka yang jarang berlatih, melihat fenomena ini hanya dipermukaan, bahwa mereka terlihat punya cara & produk canggih! Yang sering tak terlihat adalah bagaimana ketekunannya melahirkan inovasi & melakukan proses memahami masalah, proses trial & error yang frekuentif, proses komunikasi yang intens, bagaimana timnya intens memvalidasi & meramunya dalam tahapan proses dalam beberapa sprint hingga idenya tervalidasi.

Ketergesaan adalah tantangan paling nyata, apalagi jika tim mendamba proses inovasinya bisa bertahan lama & sustain hingga prosesnya melahirkan sebuah inovasi disruptif kelak. Yang kerap muncul terutama di pegiat startup adalah merasa idenya paling cemerlang, solusinya paling jitu & tepat. Ketergesaan ini sering identik dengan Fast Thinking.

Para Fast Thinkers sering melupakan tahapan bergagasan, lupa memvalidasi masalah, lupa apa sebenarnya yang ingin dituju hingga kebenaran berpusat pada dirinya. Padahal dalam sebuah inovasi, tahapan mencari insight akan sangat membantu pemahaman kontekstual. Insight yang membantu solusi menjadi beyond jutsu berasal dari bagaimana meramu gagasan-gagasan dari berbagai sudut pandang. 

Kebalikan Fast Thinkers adalah Slow Thinkers. Slow tidak identik dengan lama & lamban! Karena slow ini diidentikan dalam proses inovasi sebagai tahapan memahami & menggagas tujuan mencari insight & cakrawala seluas-luasnya & memvalidasi gagasan pada objek permasalahannya. Walau Slow, justru inovasi bisa berlangsung cepat dan beyond.

Kenapa? Framework-framework modern sudah banyak tersedia dengan kerangka waktu yang terukur, Scrum, Agile, Design Thinking misalnya. Namun memang, budaya Slow Thinkers ini perlu dilatih, karena ini adalah wujud nyata “melting pot”-nya inovasi dari mindset, skillset hingga toolset. Sebuah organisasi perlu berlatih mematangkannya dari waktu ke waktu. Jangan tergesa, nanti jadi chaos!

Digital Mindset

Ada 2 kasus, katakanlah Ibu Rita & Ibu Nina. ibu Rita adalah contoh kasus yang sering kali viral karena Ia adalah pengguna aplikasi penjualan Oranye yang digunakannya berbelanja. Suatu saat Ia menggunakan COD & komplain pada kurir karena pesanan tak sesuai usai membukanya. Ia pun marah & mengembalikan barangnya pada kurir pengantar.

Kasus 2. Ibu Nina tak kunjung bisa menggunakan aplikasi taksi online. Ia meminta bantuan secara rutin pada anaknya untuk memesankannya, hingga Ibu Nina berhasil hingga tujuannya.

Kedua contoh diatas kerap kita temukan dalam keseharian, diantara ibu Rita & ibu Nina yang memiliki Digital Mindset yang baik? Contoh ini adalah contoh sederhana ketika sering kali kita menidentikkan transformasi digital dengan hanya fokus pada digitasi atau digitalisasi, atau kemampuan yang lebih jauh seperti coding atau programming. Padahal transformasi digital itu titik beratnya adalah pada penguasaan individu untuk memiliki pergeseran perilaku atas dasar memiliki Digital Mindset.

Dua komponen utama Digital Mindset, komponen kognitif & tindakan. Komponen kognitif mengacu pada pengetahuan & komponen tindakan terkait penerimaan atau penolakan serta penggunaan teknologi digital.

Keputusan tersebut didasarkan pada komponen kognitif yang dimiliki individu tentang teknologi digital. Di dalam digital mindset, faktor keyakinan jadi salah satu faktor yang membuat seseorang mampu & mau belajar teknologi baru.

Ciri utama digital mindset ialah fleksibilitas & kemampuan mengadopsi teknologi dengan beragam cara kolaboratif agar tujuannya tercapai.

Contoh ke dua, walau sang Ibu tak bisa menggunakan teknologi Ia mampu melakukan proses kolaborasi hingga Ia dapat mencapai tujuannya.Ia bisa dikatakan sukses di era digital, sesuai dengan semangat Digital Mindset yakni individu/kelompok yang dapat menjalankan hidupnya dengan baik di era digital.

Sedangkan Ibu Rita, kita tak perlu ikut-ikutan menghujat kegagal-pahamannya memahami dunia digital meski Ia bisa menggunakan aplikasinya. Tugas kita adalah menjadi fasilitator perubahan, hadir untuk menemani proses transformasi sekeliling hingga kita bersama dapat beriringan bersama mengarungi keberhasilan era digital.