Innovator’s dilemma – Part II

Innovator’s dilemma, sebuah kondisi dimana pada saat market leader menjadi gamang, ragu-ragu atau bahkan menjadi tak mau melakukan inovasi radikal. Kondisi inii dipicu oleh karena institusinya sudah merasa besar, unggul & tak tersaingi hingga ada rasa cinta & rasa percaya diri yang muncul secara berlebihan.

Menjadi besar & memimpin pemimpin pasar, memang kerap kali berimbas pada munculnya arogansi & rasa percaya diri yang berlebihan. Banyak usaha atau organisasi besar justru terjebak dalam innovator dilemma. Sejarah banyak mencatat, yang mati justru usaha-usaha besar populer seperti halnya Nokia – terseok, kemudian mati dengan cepat dalam kesunyian ditinggal marketnya yang tiba-tiba beralih cepat & senyap. Kecepatan perubahan begitu signifikan, tren yang cepat berganti & usang & tidak relevan, kemudian suatu saat waktu tiba-tiba duduk terdiam dalam tatap kosong menyesali keterlambatan yang harganya sangat mahal.

Dilema inovator ini juga bisa diakibatkan oleh ketakutan bahwa inovasi yang telah diciptakan pada masa lalu ini kelak justru akan berakibat buruk dengan mengkanibal produknya sendiri. Beberapa perusahaan yang pernah mengalami ini dengan kepercayaan dirinya yang berlebih contoh saja Nokia yang dulu pernah menyebut Android sebagai semut kecil merah yang mudah digencet & mati.

Disaat yang sama, kebiasaan trial & error para Startup sebelum masa pandemik di era digital justru menjadi wadah berlatih paling jitu, mereka menemukan momentum untuk menyalip para raksasa yang nyaman dengan kebesarannnya terlena berjaya dalam perbagai bidang, padahal pelan-pelan terjebak innovator dilemma, terbuai & lengah atas begitu dramatis kecepatan kemajuan era digital ini. Organisasi kecil-lincah kemudian menggurita karena menemui momentum distrupsinya.

Era saat ini musuh yang menakutkan bisa datang dari arah atau wujud yang sama sekali tak terduga, atau bukan sama sekali yang apple to apple. Mereka bisa datang dari jenis industri lain, tiba-tiba memaksa masuk membuat pelaku lama goyah & dipaksanya berhenti. Pada akhirnya, bagi yang mampu melakukan constant innovation akan melenggang di era baru dengan beragam produk yang inovatif.

Innovator’s dilemma – Part I

Buku Clayton Christensen, Innovator’s Dillema mengungkap banyak hal menarik. Jika dikisahkan dengan sebuah kisah anggaplah Budi, Product Engineer usaha besar & lama jadi pemimpin pasar. Tapi, pada satu masa, usaha ini terpaksa tutup & kehilangan pekerjaannya. Dalam 1 tahun terakhir, perusahaannya hampir kehilangan seluruh konsumennya karena kompetitornya hadir dengan Disruptive Innovation (DI). Tentu Budi sangat sedih, karena rasanya perusahaannya tidak melakukan kesalahan apapun, namun seketika kalah dalam kompetisi. Budi tak paham mengapa perusahaannya gagal karena RASANYA mereka melakukan segala sesuatunya dengan BENAR!

Jadi sebenarnya apa yang terjadi dengan perusahaan Budi?

Ada 2 tipe inovasi, Sustaining Innovation (SI) vs Disruption Innovation (DI). SI mengembangkan performa produk yang didasarkan pada fitur-fitur yang dinilai baik oleh konsumen mainstream yang mendominasi pasar, biasanya memaksanya untuk bergerak maju. Beda dengan DI yang kerap kali melibatkan hal-hal yang performanya awalnya lebih rendah terus melakukan trial & error, dilahirkan pada niche market & mengabaikan pasar mayoritas saat ini. Dititik-titik ceruk pasar yang sempit inilah kebanyakan pelaku DI memulai pergerakannya.

SI biasanya dipandu permintaan pasar eksisting, tapi perlahan dapat membuat usahanya gagal total dikemudian hari. Sedangkan usaha baru dengan pendekatan DI menggunakan peluang masa datang yang belum terbukti, tapi bisa jadi masa depan yang cerah. Inilah yang jadi inti dari dilema sang inovator.

Mengapa perusahaan besar pasar kehilangan peluang mendapatkan pasar DI-nya, walau selalu mengerjakan berbagai perbaikan & pengembangan, menyasar pangsa pasar besar & profit margin terbesar & memvalidasi konsumennya sebagai kriteria proyek-proyek terbaiknya? Mereka memang melakukannya dengan benar, tapi pada saat yang sama kompetitor justru melakukan DI.

DI hadir dengan presistensi trial & errornya. Strategi ini membuat produknya berkembang seiring waktu. Ketika kompetitor besar beralih ke pasar niche & basis kustomer baru, mereka terlambat! Di pasar yang baru, perusahaan besar jadi tak mampu mengejar ketertinggalan membangun keunggulan kompetitifnya!

Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar

Melesatkan kembali kapal oleng adalah pembelajaran mahal, namun prosesnya memunculkan banyak hal baru yang justru semakin dicintai karena prosesnya membuahkan banyak hal yang beyond! Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar.

Perjalanan bersama tim menuju Jakarta hari ini mengemukakan dinamika dalam sebuah organisasi adalah hal penting. Justru jika organisasi terasa dingin dan senyap bisa jadi Ia dalam keadaan genting, karena tak ada lagi yang perlu digagas dan dituju. Hipotesa yang menarik!

Dalam perjalanan membuahkan kebaruan kegagalan-kegagalan sudah pasti perlu dilewati, menjadikannya lesson learn berharga. Lihat saja usaha sekelas Google, begitu banyak kegagalan sebelum sebuah produk meluncur sukses. Hanya saja aktivitas mencari kesalahan itu mereka namai sebagai eksperimen.

Eksperimen tak mencari keberhasilan, juga tak mencari keberhasilan, Ia menuntun pada sesuatu yang baru, persistensi pengulangannya membuat hal menjadi beyond & luar biasa!

Eksperimen yang semakin terpola, mengarahkan pada “creative confidence” yang membesar. Jadi teringat kisah Thomas Alva Edison yang diundang berbicara dalam pertemuan para ilmuwan & bangsawan Inggirs, ia mendapat sindiran;

“Hai Thomas ku dengar engkau gagal sampai 1448 kali dalam mengadakan uji coba menemukan bola lampu listrik ya?” Tanya seorang bangsawan

“Tuan maaf saya tak pernah gagal ,saya hanya menemukan cara yang tak bisa menbuat bola lampu menyala lewat listrik sebanyak 1448 kali & hingga kali ke 1449 kali saya temukan cara untuk menyalakan bola lampu dengan listrik”

Dalam konsep inovasi, Alex Osterwalder menjelaskan untuk mendapatkan satu inovasi, ada explorasi yang intens dilakukan dibaliknya dalam jumlah yanh banyak. Bukan gagal, tapi eksperimen yang mendatangkan pembelajaran hingga hadir kesempurnaan inovasi yang semakin baik dan semakin baik lagi. Proses ini tak akan berakhir, ujungnya adalah keberlanjutan yang terpelihara.

Selamat bereksplorasi!

Membangun Budaya Kreativitas

Pak baca ini!”, sahut bu Intan salah satu sahabat dan mitra terbaik saya. Oh rupanya tautan penting tentang kreativitas.

Dalam artikel itu dijelaskan mengapa organisasi memiliki begitu banyak kesulitan dalam menggerakkan kreativitas karyawan? Jawabannya ternyata terletak pada perilaku yang sudah mendarah daging yang mencegah perusahaan membangun budaya kreatifnya.

Makan siang tadipun kami bersua dengan salah satu mitra yang mengungkapkan tampaknya insitusi kami terjebak KPI mas, “KPInya sih ngisi, tapi kok bisnisnya ngga bergerak nih!” ujar salah satu timnya, kemudian Ia menambahkan, “Masa sih hal-hal tak substansi tadi KPI? kami jadi sangat rigid dibuatnya!”

Nah hal ini balik lagi terkait dengan kenyataan ternyata perusahaan atau instusi memang banyak yang salah dalam memahami kreatifitas yang seringkali dibenturkan dengan produktifitas.

HBR mengulas beberapa penyebabnya;

1.The Productivity Fallacy
Mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan kompleks yang diselesaikan terlalu cepat dapat menyebabkan kerugian bagi proses inovasi itu sendiri.

Beberapa solusi terbaik justru membutuhkan periode inkubasi yang panjang. Memaksakan hasrat untuk melahirkan kesimpulan yang cepat dapat mengarah pada kreatitas dan solusi yang semakin jauh tercapai.

2.Intelligence Fallacy
Menganalisa gagasan memang lebih mudah daripada mensintesa hal-hal yang baru. Lesatkan kretivitas dengan menaruh atensi yang dalam pada proses bagaimana gagasan didiskusikan dalam kelompok.

Biasakanlah bergagasan hal-hal baru dari pada mencari-cari kelemahannya. Hal ini bukan berarti mengatakan setuju atau membantah sebuah ide, tapi fokus pada upaya memperkayanya.

3.The Brainstorming Fallacy
Nominal brainstorming (ketika individu memikirkan gaagsannya sendiri sebelum bergagasan) akan menjadi lebih baik dari pada sesi bergagasan yang tradisional. Khususnya bagi tim yang memiliki keragaman sudut padang.

Sebuah studi dari Yale, menemukan bahwa jumlah gagasan yang dihasilkan oleh individual dan kemudian diagregasi hasilnya, kualitasnya akan dua kali lipat dari gagasan yang hanya dihasilkan dari kelompok yang bekerja bersama secara tradisional.

Jangan ragu bergagasan!

6 Sisi Out of The Box?

Ketakutan sering kali membunuh kreativitas. Salah satu diskusi semalam, bahwa memang ketakutan sering kali menjadi momok busuk mengapa kita tak jua melompat. Tak disadari memang ketakutan akan membunuh kemampuan berpikir kreatif. Ketakutan ini dapat hadir dalam beragam bentuk, namun yang paling sering muncul adalah ketakutan atas ketidaktahuan, “fear of the unknown”.

Fear of the unknown” adalah hal yang paling umum terjadi, yang sering kali menghantui individu, perusahaan atau organisasi yang ada. Ketakutan atas sesuatu yang belum diketahui justru menjadi kendala dalam melahirkan banyak inovasi, sering kali justru gagasan yang diutarakan justru diamati dari sisi ancamannya, peluangnya justru dikesampingkan jadi nomor dua.

Jika kamu punya iklim itu di organisasi kamu, maka iklim itulah yang akan menggilas kreatifitas yang seyogyanya justru membawa pada optimisme, kepercayaan diri dan komitmen. Di lain sisi, ada juga ketakutan pribadi yang dapat menghentikan aliran kreatifitas, dan ketika ini hadir pada diri kita yang muncul adalah ketakutan diri untuk tampak bodoh.

Ketika kita duduk bergagasan juga adalah hal yang lazim ditemukan kita melakukan pergulatan dengan inner critic, suara kecil dari hati yang senang menghembuskan justifikasi negatif, keraguan atau kegagalan bahkan sebelum ide itu dikeluarkan dalam forum.

Sesungguhnya, kita sangat lekat dengan gagasan pada diri dan pikiran kita. Nick Souter penulis buku Breakthrough Thinking bahkan mengungkapkan bahwa Ideas are the children of our minds. Tapi sayangnya sering kali kita terlalu protektif atau bahkan over protektif pada mereka. Ide dalam kepala sangatlah bisa kita identifikasi dengan sangat dekat, sering juga timbul rasa jika gagasan kita tak diterima, ditolak atau direndahkan kita nggak kasihan pada gagasannya, tapi justru jadi merasa tersakiti “pride”nya sebagai individu.

Kreativitas selalu membawa kita pada wilayah dan waktu dimana kita tak pernah berada sebelumnya dan terlihat berbahaya. Sekalipun fakta menunjukkan apa yang dijalankan selama ini tak kunjung membuatnya melompat.

Ideas are like electricity. They contain tremendous energy but are only harmful when handled carelessly. -Souter-

Jangan Pernah Bingung!

Kerap mengatakan ini pada kawan-kawan, kalimat ini sebaiknya mulai beralih pada kalimat “Bagaimana caranya?” Atau “Yok kita bergagasan cari jalan keluarnya”

Atau juga kerap kita terjebak dengan melontarkan kata “sulit!” yang sesungguhnya yang perlu kita lakukan adalah beberapa tahapan yang menjadi ihktiar membukakan berbagai solusi.

  1. Memanjangkan horison waktu, kesulitan timbul karena kita tak memberikan keleluasaan waktu yang panjang, memberikan waktu untuk menguraikannya. Kebingungan juga muncul karena seolah-olah hal yang menantang perlu diselesaikan dengan sempurna kala itu juga.
  2. Meninggikan pijakan berpandangan, dengan ini kita dapat melihat padangan yang lebih luas, memahami masalah menjadi lebih utuh.
  3. Memperdalam wisdom, pada aspek ini percaya pada gagasan besar, mimpi dan trust akan menjadi pijakan pada hal-hal yang belum pernah terjadi, hingga proses perbaikan terus menerus dapat dijalankan. Kesalahan bukan hal yang ditakuti, melainkan proses memvalidasi hasil yang akan semakin baik dikemudian hari.
  4. Mempertajam cara berpikir dengan melatihnya dengan beragam kontekstualisasi. Membingkai permasalahan dengan ruang dan waktu, hingga pandai memilah sesuai konteksnya.

Panjangkan horisonnya,
Tinggikan pijakan-pandangnya,
Dalamkan wisdomnya,
Tajamkan kontesktualisasinya.

Selamat berproses!

8 Tahap Creative Confidence

Kreatifitas ga sebatas pada hal-hal artistik, kreatifitas adalah tentang bagaimana menggunakan imajinasi untuk mencipta.

Dalam bisnis, kreatifitas memanifestasikan dirinya sebagai inovasi yang mendatangkan perubahan. Seberapa percaya pada kemampuan diri untuk mencipta perubahan ini dinamakan “Creative Confidence”


8 tahap Creative Confidence dari bukunya Tom & David Keley adalah sbb;

1.Flip!
(From Design Thinking to Creative Confidence)
Design Driven Innovation bermula dari empati, pintu masuk inovasi, menghubungkan dengan kebutuhan, keinginan & motivasi user untuk menginspirasi & menghadirkan ide-ide segar kemudian cepat menguji-coba & iteratif.⁣

2.Courage!
(From Fear to Courage)⁣
Takut gagal adalah faktor penghambat utama pembelajaran dalam mendapatkan keterampilan & tantangan baru.

3.Spark!
(From Blank page to Insight)⁣
Mengasah cara berpikir untuk mampu mendapatkan insight, menghubung-hubungkannya, mereframingkannya & membangun jejaring pendukungnya.⁣

4.Leap
(From Planning to Action)⁣
Stop wacana & mulailah beraksi. Ga semua tiba-tiba sempurna, tapi komitlah pada perbaikan yang cepat & berkelanjutan. “Action catalysts”nya bisa berupa meminta bantuan, tekanan dari pihak lain & feedback.⁣

5.Seek!
(From Duty to Passion)⁣
Kamu perlu merasakan passion, purpose & meaning dalam apapun yang kamu lakukan. ⁣

“When people go for the heart — when they seek out passion in their work — they can tap into and unleash inner reserves of energy & enthusiasm”

6.Team
(Creatively Confident Groups)⁣
Untuk membuka potensi kreatif kita perlu tim, kombinasi leadership, aktivitas & coaches , kebebasan berkreasi & menggabungkan perbedaan tapi saling melengkapi dalam suasana menyenangkan.⁣

7.Move
(Creative Confidence to Go)⁣
Banyak banget tools yang bisa digunakan, spt empathy map, mindmapping, notetaking, speeddating, user journey, ideasi dll.⁣

8.Next
(Embrace Creative Confidence)⁣
Bereksperimenlah dengan pengalaman, Kelilingi dengan jaringan yang mendukung, Jelajahi komunitas dengan aneka Inovasi terbukanya, embarce diri untuk selalu belajar.⁣

Langkah2 ini layak dicoba agar semakin percaya diri bahwa perubahan itu bisa terwujud⁣!

Selamat mencoba!

Kreativitas nyentrik?

Kreativitas memang tak terbatas nyentrik. ⁣⁣⁣
Kreativitas justru memadukan banyak hal dalam menghadirkan solusi bagi banyak permasalahan. Kreativitas juga memberikan pemikiran-pemikiran bagaimana seharusnya sebuah solusi dihadirkan dan terjaga keberlanjutannya.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Keterbukaan berelaborasi adalah salah satu karakter penting yang membuatnya senantiasa menjadi kaya dan kuat. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Salah satu teori baru yang di tahun 2016, Krebs Cycle of Creativy yang ditulis Neri Oxman menjelaskan bahwa kita biasanya menganggap bahwa⁣⁣⁣
1. Seni untuk ekspresi, ⁣⁣⁣
2. Sains untuk eksplorasi, ⁣⁣⁣
3. Rekayasa untuk penemuan dan ⁣⁣⁣
4. Desain untuk komunikasi. ⁣⁣⁣


Dalam Siklus Kreativitas Krebs, Ia menjelaskan bahwa;⁣⁣⁣
-Sains-lah yang mengubah informasi menjadi pengetahuan; ⁣⁣⁣
-Rekayasa (Engineering) yang membantu mengubah pengetahuan menjadi utilitas; ⁣⁣⁣
-Desain mengubah utilitas menjadi perilaku dan konteks budaya; dan ⁣⁣⁣
-Seni mengambil konteksnya dan mempertanyakan persepsi kita tentang dunia.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Dalam artikelnya yang berjudul The Age of Entanglement terbitan perdana Journal of Design and Science (JoDS) oleh MIT Press pada tahun 2016 tsb, Ia membuktikan bahwa Neri sains, desain, teknik, dan seni saling terkait satu sama lain saat ini. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Empat ranah eksplorasi kreatif secara menarik dan mudah dipahami bagaimana visualisasi energi kreatif dalam The Krebs Cycle of Creativity. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Di balik teori ini terletak gagasan bahwa pengetahuan tidak dapat semata-mata dianggap berasal, atau diproduksi di dalam, batas-batas disiplin, tetapi harus terkait dengan disiplin ilmu yang berbeda. Berelaborasi!⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Ada keterkaitan antara sains, desain, teknik/rekayasa dan seni, di mana satu disiplin dapat mengubah yang lain.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Saatnya sungguh-sungguh berkolaborasi!

Tacit Knowledge

Tacit knowledge, pengetahuan yang tak secara eksplisit terkemukakan, biasanya berada kepala-kepala individu dengan segudang pengalaman sehingga Ia memiliki keluasan ilmu seiring pengalamannya. Hanya saja pengetahuan ini bisa jadi tak tertuliskan, atau tak dapat diuji kesahihannya untuk direplikasi di tempat atau konteks lainnya. ⁣

Pada satu waktu pengalaman-pengalamannya yang kaya ini akan hilang seiring waktu tak terterjemahkankan pada media-media literasi dimana pengetahuannya diperlukan lebih luas lagi.⁣

Sebuah energi tersendiri, terutama yang sangat suka berperan menjadi pendidik, salah satunya adalah bagaimana untuk mampu memproduksi pengetahuan. ⁣

Jika profesi dan peranan lain banyak melakukan upaya produksi beragam hal fisik atau pun jasa yang disampaikan pada khalayak konsumennya, peranan pendidik yang penting selain menyampaikan pengetahuan adalah juga kemampuannya memproduksi pengetahuan dan membumikannya, kemudian diedarkan luas melalui beragam jurnal ilmiah sehingga menjadi banyak rujukan penelitian lain dalam upayanya mengembangkan pengetahuan lebih luas lagi. ⁣

Kedepan kemapuan ini tidak lagi ekslusif pada Guru dan Dosen, setiap individu memiliki peranan untuk memproduksi pengetahuan, yang tentunya memiliki bahan baku.⁣

JIka kamu di bangku kuliah belajar banyak tentang metodologi, kekuatan metodologi ilmiah akan menjadi sebuah bekal penting agar kita memiliki kapasitas memproduksi pengetahuan hingga dapat direplikasi ditempat lain membawa manfaat lebih luas menjadi amal jariah yang tak pernah padam.⁣

Era Tsunami Digital saat ini, kita banyak menemukan pengalaman baru, sangat baru! kebaruan ini adalah ilmu-ilmu baru sesungguhnya, tinggal bagaimana kita mampu mencerna fenomenanya, menuliskan pengetahuan barunya dan bermanfaat bagi khalayak ramai. ⁣

Semakin banyak perubahan semakin banyak kesempatan untuk menuliskannya menjadi pengetahuan bermanfaat apalagi dengan bahasa yang mudah dimengerti banyak orang.⁣

Membahasakan dengan bahasa sehari-hari agar riset mudah dipahami adalah tantangan besar, buat saya terutama 😀 namun saya coba memberanikan diri membumikanya dengan laman dwiindrapurnomo.id, selamat berselancar!⁣🏋🏻‍♀️

Fuzzy Front End

Seringnya bertemu Mang Roiz & Kang Indra, kawan dekat yang seringkali mengerjakan project IOT bareng, selalu dekat dengan kata “ iterasi”. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Diawal sebuah project sering kali merasa sungguh berantakan, tidak jelas & berat. Hal ini ternyata memang lazim terjadi, fase dinamakan sebagai “Fuzzy Front End”. yeaay! artinya kita ga aneh2 amat dong selama ini! ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣

Fase memusingkan adalah awal baik dalam sebuah proses inovasi, apalagi jika dikelola baik! Berkaca dari beberapa proses menghilirkan riset menjadi implementable & memberikan dampak, beberapa kejadian ini tampak serupa polanya. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Pagi ini saya mencari literatur yang merujuk apakah fase kusut diawal project ini memiliki dasar teoritisnya? Apa saja titik kritisnya hingga bisa berhasil? Ah ternyata ada 17 faktor bagaimana fase ini agar berhasil dikonversi menjadi pengetahuan & keberhasilan (Henrik Florén). ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣

1. Coba saja gagasan yang visioner!
2. Bumikan agar memungkinkan dieksekusi⁣⁣⁣
3. Perbaiki idenya & pilah-pilah gagasannya
4. Libatkan konsumennya dari awal
5. Ekplorasi data dengan tim & tetap libatkan konsumennya
6. Kerjasama tim lintas fungsi yang kompak
7. Libatkan juga senior / atasan
8. Pre tes dulu teknologi yang akan digunakan
9. Selaraskankan dalam strateginya
10. Definisikan produk dengan baik
⁣⁣⁣11. Kerja sama eksternal agar dapat insight yang bagus
12. Belajar dari pengalaman tim
13. Prioritaskan proyek⁣⁣⁣nya
14. Hadirkan manajemen proyek & manajer proyek
15. Tumbuhkan budaya organisasi yang kreatif⁣⁣⁣
16. Cross-functional team!
17. Renacanakan portofolio produk!
⁣⁣⁣
Kondisi fuzzy ini selalu hadir, tinggal komitmen berproses melaluinya, bukunya Kevin Duncan “Smart Thinking” menuliskan ⁣”The Fuzziness never really leaves as long as you are attempting to do something new”.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
fase pusing itu selalu ada, kecuali memilih hal-hal “Business as usual” aja. Jadi jika menemukan kesulitan santai aja!⁣ Budaya kreatif terbaik adalah melatih untuk terbiasa nyaman pada aneka ragam ambiguitas.