Ditempat Kamu Bekerja, Kamu Dibayar Karena Apa?

Hari ini saya berdiskusi dengan beberapa kolega dan mengajukan pertanyaan penting: “Apakah ada kesempatan untuk belajar dalam keseharian Anda bekerja?” Pertanyaan ini ditujukan kepada institusi yang sering menuntut karyawan bekerja 100% tanpa memberi ruang untuk pengembangan diri.

Pola kerja seperti ini tidak hanya menciptakan tekanan tinggi, tetapi juga melemahkan potensi individu dan organisasi dalam jangka panjang.

Dalam dunia kerja saat ini, bekerja seharusnya mencakup dua hal utama: bekerja dan belajar. Tanpa kesempatan belajar, tim kehilangan peluang untuk meningkatkan kompetensi, memperluas wawasan, dan merespons tantangan dengan inovasi. Akibatnya, individu menjadi stagnan, sementara perusahaan kehilangan daya saing karena sumber daya manusianya tidak berkembang.

Menurut Self-Determination Theory (Deci & Ryan), individu membutuhkan tiga elemen psikologis utama untuk berkembang optimal: autonomy, competence, dan relatedness. Kesempatan belajar di tempat kerja memenuhi ketiga elemen ini.

Autonomy tercapai ketika tim diberi ruang untuk belajar sesuai minatnya. Competence meningkat melalui tantangan yang mendorong keterampilan baru. Relatedness tumbuh dari kolaborasi dan interaksi selama proses belajar, menciptakan keterhubungan yang kuat dengan rekan kerja dan organisasi.

Tanpa ruang belajar, tim kehilangan relevansi, inovasi terhenti, dan organisasi gagal menyiapkan talenta masa depan. Sebaliknya, dengan mendukung pembelajaran, organisasi tidak hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga membangun keberlanjutan, daya saing, dan inovasi untuk masa depan. Memberi ruang belajar berarti berinvestasi pada aset terpenting: manusia✨

Agile Leaders: Harus Bagaimana Mengelola Timnya?

Dalam membangun agile organization, penting bagi pemimpin untuk menemukan keseimbangan antara manajemen absen dan micromanagement. Kedua pendekatan ini, jika dilakukan secara ekstrem, tentu bisa merusak budaya kerja yang adaptif dan kolaboratif—elemen utama dari organisasi yang gesit🙌

Manajemen jadi absen terjadi ketika pemimpin terlalu pasif, tidak terlibat, dan gagal menyediakan arahan atau dukungan yang dibutuhkan tim. Akibatnya, anggota tim merasa terabaikan dan kurang terarah, yang pada akhirnya menghambat inovasi dan respons cepat terhadap perubahan. Di sisi lain, micromanagement menciptakan suasana yang menekan, di mana pemimpin terlalu terlibat dalam setiap detail, menghambat otonomi, dan merusak kepercayaan anggota tim. Dalam konteks agile organization, kedua pendekatan ini bertentangan dengan prinsip empowerment dan self-organization🌶️

Sebaliknya, pemimpin dalam organisasi gesit harus berperan sebagai mitra yang aktif. Ini berarti mendengarkan dengan empati, menunjukkan rasa ingin tahu, serta menyediakan konteks dan dukungan yang relevan tanpa mengambil alih pekerjaan tim. Melalui kolaborasi dalam penetapan tujuan, mengidentifikasi hambatan, dan mencari solusi bersama, pemimpin membantu tim berkembang dengan tetap memberikan ruang untuk pengambilan keputusan mandiri.

Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai utama dalam agile, seperti transparansi, adaptabilitas, dan kolaborasi lintas fungsi. Pemimpin yang menghindari micromanagement, tetapi tetap terlibat secara strategis, dapat menciptakan lingkungan di mana tim merasa diberdayakan untuk bereksperimen, belajar dari kegagalan, dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan💫

Dengan menjaga keseimbangan ini, organisasi dapat mencapai kecepatan, fleksibilitas, dan inovasi yang diperlukan untuk bertahan dan tumbuh dalam dunia yang dinamis.

Cara Mengembangkan Pola Pikir Agile

Apa Itu Pola Pikir Agile?🙌
Pola pikir agile adalah cara berpikir yang terbuka terhadap ide baru, berani mencoba hal-hal baru, & menerima bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ini harus diterapkan oleh semua orang di organisasi, dari atasan sampai bawahan.

Gimana Cara Mengembangkan Pola Pikir Agile?
Cobain langkah-langkah ini:

1. Kepemimpinan yang Mendukung:
Pemimpin organisasi harus tidak hanya mendukung cara kerja agile, tapi juga harus menunjukkan dengan contoh dalam tindakannya sehari-hari🤗

2. Belajar Terus Menerus:
Organisasi harus jadi organisasi pembelajar, berikan pelatihan & kesempatan belajar terus menerus agar terus mengupdate pengetahuan & keterampilannya🫨

3. Memberi Kewenangan kepada Tim:
Tim diberi kesempatan untuk membuat keputusan, hingga mereka lebih terlibat & kreatif dalam menghadapi masalah🙄

4. Umpan Balik & Komunikasi yang Baik:
Harus ada sistem yang baik untuk komunikasi & umpan balik agar semua orang bisa terus memperbaiki cara kerjanya🙂‍↔️

5. Mengadaptasi Alat & Proses Kerja:
Gunakan metode kerja agile seperti Scrum / Kanban yang membantu tim agar bekerja lebih fleksibel & cepat😎

Menurut McKinsey, ada 5 ciri khas yang membuat organisasi agile:

1. Strategi yang Jelas & Bersama:
A Shared Vision and Purpose 🎯
Perusahaan harus memiliki tujuan yang jelas & semua orang harus mengerti & mendukung tujuan tersebut.

2. Struktur Tim yang Kuat:
Network of Empowered Teams🎖️
Organisasi harus terdiri dari tim-tim yang bisa bekerja secara mandiri tapi tetap dalam pengawasan & koordinasi yang baik.

3. Proses Cepat & Sederhana:
Rapid Decision Making & Learning Cycles🚴‍♀️
Cara kerja harus sederhana & memungkinkan keputusan cepat untuk menghadapi perubahan atau tantangan baru.

4. Model Karir Menarik:
Dynamic People Model that Ignites Passion🏄🏻‍♂️
Perusahaan bisa menarik & mempertahankan orang-orang yang punya semangat wirausaha & sesuai dengan nilai perusahaan.

5. Teknologi:
Next-generation Enabling Technology💻
Menggunakan teknologi terkini yang mendukung kerja sama tim & aliran informasi yang baik.

Memang perjalannnya akan panjang, untuk melakukan proses transformasi ini, namun hasilnya akan sangat menyenangkan🚀

Doing Agile tapi Being Agile

Jangan salah, dikira kita udah Agile, taunya malah lelah karena chaotic:) Di era digital, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat sangat penting. Ada tiga cara berpikir, atau “mindset,” yang bisa membantu kita tetap inovatif dan tangkas: Lean Mindset, Design Thinking Mindset, dan Agile Mindset, agar kemudian kita engga terjebak dengan sekedar “Doing Agile” tapi “Being Agile,” yang jadi fundamental penting menguasai agility!🔆

Sangat penting memiliki kemampuan beradaptasi. Tiga “mindset” ini bisa membantu proses inovasi seperti Lean Mindset, Design Thinking Mindset & Agile Mindset. Mengadopsi ketiga mindset ini bukan hanya tentang “Doing Agile” tetapi juga tentang “Being Agile,” yang merupakan kunci utama untuk menguasai agility dan menghindari kekacauan yang hanya menguras energi🤩

Pernah dengar Lean Mindset? pendekatan ini fokus pada efisiensi dengan mengurangi pemborosan. Pendekatan ini menekankan pentingnya mengeliminasi kegiatan yang tidak menambah nilai, sehingga produktivitas dapat meningkat. Dengan menerapkan konsep “kaizen” / perbaikan berkelanjutan, memperbaiki proses kerja🔃

Kemudian apa yang dimaksud Design Thinking Mindset? Nah kalo ini menempatkan pengguna di pusat proses inovasi. Mindset ini mengharuskan kita untuk memahami kebutuhan dan keinginan pengguna secara mendalam. Melalui proses yang melibatkan penggalian ide, pemahaman masalah, pembuatan prototipe, dan pengujian, kita diarahkan untuk menghasilkan solusi yang kreatif dan relevan dengan pengguna🤩

Nah terakhir, Agile Mindset. Hal ini akan mengutamakan bagaimana melakukan proses adaptasi cepat terhadap perubahan dan kompleksitas. Dalam praktiknya, Agile tidak hanya tentang mengadopsi metode tertentu; lebih dari itu, Agile adalah tentang mengadopsi cara berpikir yang memungkinkan fleksibilitas, kolaborasi, dan iterasi cepat. Di sinilah muncul perbedaan antara “doing Agile” dan “being Agile”:

Menggabungkannya akan membantu individu & organisasi agar bisa mengikuti perubahan tapi menjadi pelopor dalam inovasi dan adaptasi. Ini memungkinkan kita untuk lebih efektif dalam merespons tantangan dan memanfaatkan beragam peluang dimasa datang!🚀🚀

Agile Mindset

Bukan cuma metodologi kerja, mengenal Agile as a Mindset. Belajar untuk menguasai “Agile Mindset” memang cukup menantang, belajar menguasai interaksi antara empat jenis kelincahan: kognitif, sosial, pribadi & profesional, serta perubahan.

Setiap aspeknya mewakili satu aspek kelincahan dan berisi elemen-elemen yang mendukung aspek tersebut:

✅ Kelincahan Kognitif (Cognitive Agility)
Melibatkan “Analytical & Divergent Thinking”, yang menunjukkan kemampuan untuk menganalisis informasi dan berpikir secara kreatif atau ‘out of the box’.

✅ Kelincahan Sosial (Social Agility)
Termasuk “Communication & Career Networking”, menekankan pentingnya komunikasi yang baik dan membangun jaringan untuk kemajuan karir.

✅ Kelincahan Pribadi & Profesional (Personal & Professional Agility)
Diwakili oleh “Reflection & Adaption”, yang mengacu pada kemampuan untuk merefleksikan tindakan dan beradaptasi dengan perubahan.

✅ Kelincahan Perubahan (Change Agility)
Terdiri dari “Innovation & Collaboration”, menyoroti pentingnya inovasi dan bekerja sama dengan orang lain.

Di tengah, di mana keempat area tersebut berpotongan, terletak “Agile Mindset”. Ini menyiratkan bahwa memiliki pola pikir yang gesit melibatkan integrasi dari semua area ini, yaitu seseorang yang memiliki pola pikir gesit mampu berpikir secara analitis dan kreatif, berkomunikasi dan membangun jaringan dengan baik, merefleksikan dan menyesuaikan diri dengan perubahan, serta berinovasi dan berkolaborasi secara efektif.

Jika melihat diagram terkait Agile Mindset ini bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk memahami bagaimana berbagai keterampilan dan sikap berkontribusi terhadap kesuksesan dalam lingkungan yang cepat berubah.

Selamat belajar🚀

team of teams

Membentuk sebuah “team of teams” yang efektif, agile, dan dinamis dimulai dengan langkah fundamental: ✅ mengubah mindset. Perubahan mindset ini menjadi kunci utama dalam membentuk fondasi tim yang kuat. Sebelum melangkah ke aspek-aspek praktis seperti keragaman, komunikasi, dan kolaborasi, penting untuk memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai inti yang diusung.

Mindset ini meliputi ✅ pengakuan akan pentingnya keragaman dan inklusivitas, bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai kekuatan yang mendorong inovasi dan kreativitas. Anggota tim harus memahami bahwa perbedaan bukanlah hambatan, melainkan sumber daya berharga yang memperkaya diskusi dan pemecahan masalah.

Selanjutnya, ✅ mindset terbuka terhadap komunikasi yang transparan dan jujur adalah kunci. Hal ini mencakup kesediaan untuk berbagi informasi, memberikan dan menerima umpan balik, serta mendengarkan dengan empati. Ini memastikan bahwa aliran informasi tidak terhambat, dan setiap anggota tim merasa dihargai dan dipahami.

Pentingnya adaptabilitas dan pembelajaran berkelanjutan juga harus tertanam dalam mindset tim. Dunia yang berubah cepat membutuhkan tim yang bisa bergerak dengan kecepatan yang sama, belajar dari kegagalan, dan terus berevolusi. Tim harus menerima bahwa perubahan adalah norma & fleksibilitas serta ketangkasan adalah aset.

Pemberdayaan dan kepercayaan menjadi bagian penting dari mindset ini. ✅ Anggota tim perlu merasa diberdayakan untuk mengambil inisiatif dan membuat keputusan, dan ini harus didukung oleh kepercayaan dari rekan-rekan dan pemimpin tim.

Terakhir, ✅ pemahaman bersama tentang tujuan & visi tim harus menjadi bagian dari mindset kolektif. Semua anggota tim perlu berkomitmen pada tujuan bersama dan bekerja dengan cara yang sinergis untuk mencapainya.

Dengan mindset yang telah berubah & selaras ini, tim bisa membangun fondasi yang kuat untuk keragaman, komunikasi efektif, kolaborasi, adaptabilitas, dan fokus pada tujuan bersama. Ini menciptakan lingkungan di mana “team of teams” ngga hanya mampu mencapai tujuannya dengan lebih efisien, tetapi juga mampu beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan yang terus berubah🚀

Perubahan dan agility

Perubahan dan agility;
Pendekatan Kotter dan Agile dalam change management tentu akan memperkaya proses transformasi organisasi😙

Kotter menekankan delapan langkah: menetapkan urgensi, membentuk koalisi kuat, menciptakan visi, mengkomunikasikan visi, memberdayakan tindakan, menciptakan kemenangan jangka pendek, memperkuat perubahan, dan menggabungkan perubahan dalam budaya. Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan dan komunikasi dalam mengelola perubahan😎

Di sisi lain, pendekatan Agile lebih menekankan fleksibilitas dan adaptasi cepat terhadap perubahan. Dalam konteks manajemen perubahan, Agile memfasilitasi iterasi, kolaborasi tim, dan respons cepat terhadap umpan balik, membuat proses perubahan lebih responsif dan dinamis🥇

Menggabungkan kedua pendekatan ini dalam manajemen perubahan organisasi akan membawa sinergi yang kuat. Pendekatan Kotter menyediakan kerangka kerja yang terstruktur untuk memimpin perubahan, sementara Agile menambahkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi. Ini memungkinkan organisasi tidak hanya merencanakan dan mengimplementasikan perubahan secara efektif, tapi juga cepat beradaptasi dengan perubahan kondisi atau tantangan yang tak terduga🥸

Dengan memanfaatkan kekuatan kedua metodologi ini, organisasi dapat memastikan bahwa perubahan tidak hanya terencana dan terukur, tapi juga cukup fleksibel untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan yang berubah. Gabungan pendekatan ini membantu meminimalisir resistensi, memaksimalkan keterlibatan, dan memastikan bahwa perubahan yang diimplementasikan benar-benar membawa manfaat jangka panjang bagi organisasi🥳

Selamat berproses🚀

The Keys To Organizational Agility

Agar sebuah organisasi bisa bergerak lincah dan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan, ada dua kunci utama yang penting dipegang:

✅Dynamic Capability, yakni kecepatan dalam mengambil tindakan, dan
✅Stable Foundation, artinya punya dasar yang stabil yang tidak goyah oleh perubahan.

Bayangkan saja organisasi seperti kapal; desain dan strukturnya haruslah punya blue-print yang baik sehingga kapal bisa berlayar dengan mulus. Kru kapalnya juga harus bersemangat dan terlibat, siap bekerja sama dan menjaga kapal tetap berjalan dengan baik🚢🚢🚧

Proses yang ada di organisasi itu seperti ✅ rute pelayaran yang harus jelas dan terarah, ✅ memastikan kapal mencapai tujuan dengan efisien. Untuk mengetahui seberapa baik kapal berlayar, ✅ kita perlu alat ukur atau metrik yang memberi tahu kita apakah kita berada di jalur yang benar.

Dan ngga ketinggalan, ✅ budaya organisasi yang unik itu seperti semangatnya awak kapal, yang mencerminkan identitas dan nilai yang kita pegang bareng-bareng. Ini yang membedakan satu kapal dengan yang lainnya.

Jadi, agar organisasi kita gesit, agile, kita perlu
⛴️ fondasi yang kuat,
⛴️ desain yang tepat,
⛴️ kru yang kompak,
⛴️ proses yang efisien, dan
⛴️ budaya yang mempersatukan.
Ini semua adalah bagian dari navigasi kita menuju keberhasilan🚀

Tapi inget yaa, ini adalah proses, ngga bisa disulap untuk jadi besok hari! Pelan-pelan berubah, tapi terukur dan semakin matang, lebih dekat dengan tujuan🥇

Situational leadership

Pikirkan tentang organisasi layaknya perahu di lautan badai. 🌊🌊🌊🌊🚢 Gimana caranya untuk tetap aman dan sampai hingga tujuan, perlu ada seorang kapten yang pintar. Kapten 🧑‍✈️ini perlu bisa berubah-ubah sesuai dengan cuaca dan kondisi laut, hal ini menggambarkan situational leadership.

Situational leadership adalah cara kepemimpinan di mana pemimpin perlu menggunakan gaya berbeda-beda tergantung pada situasi dan orang-orang di sekitarnya. Ini seperti mengganti baju sesuai dengan cuaca. Jadi, dalam cuaca cerah, kita mungkin memakai baju ringan, tetapi jika hujan turun, kita akan memakai mantel hujan.

Situational leadership sangat penting untuk membuat organisasi menjadi tangkas / agile atau siap beradaptasi dengan cepat. Inilah mengapa:

🚢 Cepat beradaptasi:
Pemimpin bisa cepat berubah sesuai dengan situasi. Ini seperti kapten yang bisa mengubah arah perahu dengan cepat jika badai mendekat.

🚢 Kinerja Tim yang Lebih Baik:
Dengan gaya kepemimpinan yang sesuai, tim akan bekerja lebih baik bersama. Ini seperti orang yang bermain sepak bola yang tahu kapan harus menendang dan kapan harus menjaga gawang.

🚢 Pengembangan Kepemimpinan:
Situational leadership membantu pemimpin jadi lebih baik. Mereka belajar bagaimana mengenali situasi dan apa yang perlu dilakukan. Ini seperti berlatih untuk menjadi pemain yang lebih baik.

🚢 Motivasi & Keterlibatan:
Pemimpin yang baik bisa membuat tim tetap semangat dan bekerja dengan baik. Mereka tahu kapan harus memberikan dukungan atau memberikan arahan.

🚢 Pengelolaan Risiko yang Lebih Baik:
Dalam situasi berisiko, pemimpin bisa memberi tanggung jawab kepada orang-orang yang kompeten. Ini seperti mempercayai teman untuk mengemudi ketika Anda lelah.

Jadi, situational leadership adalah alat penting untuk bikin organisasi jadi siap menghadapi perubahan dan berhasil dalam dunia yang cepat berubah. Itu membantu pemimpin untuk menjadi kapten yang cerdas dan membimbing organisasi menuju tujuan dengan aman.

Sudah seberapa dekat kita sama tujuan?🧭

Agile

Seharian bareng Agile Coach @putiretno_ CEO @agilitytransformation dapet banget insight yeay!

Dalam mengerti “Agile”, diperlukan pemahaman mendalam. Agile adalah pendekatan kerja yang fokus pada kolaborasi, adaptabilitas, dan respons cepat terhadap feedback pelanggan. Tidak ada istilah “agile banget” secara harfiah. Frasa ini bisa memberi kesan over-commitment pada fleksibilitas, yang berisiko menciptakan kekacauan. Fleksibilitas dalam Agile selalu dalam kerangka kerja tertentu untuk mencegah kekacauan.

Ketika orang menggunakan “agile banget,” ini seharusnya dipahami sebagai ekspresi informal, bukan definisi dari Agile. Yang vital adalah bagaimana menerapkan prinsip dan nilai Agile dengan benar.

Beberapa alasan konsep “agile banget” dianggap keliru:

1. Tidak Ada Tingkatan dalam Agile:
Agile memiliki kerangka kerja tertentu. Menambah “banget” bisa memberi kesan ada “agile biasa” dan “agile ekstra”. Padahal, tim bisa mengadopsi Agile sepenuhnya atau tidak.

2. Risiko Over-Adaptasi:
“Agile banget” bisa membuat tim terlalu siap beradaptasi, bahkan pada perubahan kecil, sehingga kehilangan fokus.

3. Kekacauan dan Ketidakpastian:
Tanpa pemahaman yang benar, tim bisa kesulitan menentukan prioritas dan membuat keputusan efektif.

4. Menyimpang dari Nilai Inti:
Agile berdasar pada nilai seperti kolaborasi dan prioritas pelanggan. Terlalu fokus pada fleksibilitas bisa menyimpang dari esensi Agile.

5. Potensi Burnout:
Fokus berlebih pada adaptasi bisa membuat tim terbebani.

Dalam praktik, istilah “agile banget” bisa menyesatkan. Penting bagi tim untuk memahami dan menerapkan prinsip serta nilai Agile dengan benar demi kesuksesan proyek.

Balajar lagii🚀