Duduk di pojok kebun lebah, memandangi bunga warna warni hasil semai sejak awal tahun. Sebuah topik menguat ketika kami merasa WFH juga begitu banyak membawa kebaikan, namun tak terasa dinamika organisasi yang tak saling sapa sejak lama juga berujung pada mulai longgarnya ikatan kami sebagai keluarga.
Sore ini juga kami mencoba merancang kemenangan, mendiskusikan bagaimana caranya? Kemudian timbul pertanyaan lain, “Mengapa perlu menjadi pemenang?, “Menang untuk apa?”, “Definisi kemenangan itu apa?” Diskusi yang menarik, tak terasa 2,5 jam berlalu. Kami mulai memeta‑metakan kembali siapa berperan apa, bagaimana kita bisa melihat sekeliling. Menaklukan egosentris kelompok agar mau bertanya “Siapa yang dapat memperkaya pergerakan kita kala kita merasa kita bisa melakukannya sendiri? Sudah bisa dilakukan sendiri, mengapa perlu mengajak pihak lain?”, mengapa harus tetap berkolaborasi?
Mungkin sebagian mulai lupa atas apa mimpi yang sempat tertuliskan atau pada semangat kolaborasi yang sempat dibangun. Menjadi biasa bekerja sendiri, mulai lupa melihat sekeliling, mulai terasa terbiasa mandiri ternyata juga menumbuhkan bibit‑bibit ketidakpekaan untuk melihat sekeliling bahwa ada yang tercecer. Padahal era ini adalah era kolaborasi, bukan lagi kompetisi yang lazim meninggalkan keterceceran.
John Duval menuliskan “Collaboration in the workplace brings people with different backgrounds, skills, expertise, and perspectives together to brainstorm ideas, overcome obstacles, and utilize creative problem solving for the betterment of the company” Semua tim paham ini, hanya memang menginternalisasinya menjadi bagian paling menantang dalam jiwa & skills keseharian.
Penutup pertemuan sore ini, mengingatkan lagi untuk melatih tegur sapa, menawarkan bantuan, membangun pembicaraan & menemukan irisan bersama hingga yakinkan bahwa kemenangan itu adalah kala kita dapat berjalan bersama, tak satupun tertinggal.
“two heads are better than one”
No comment yet, add your voice below!