Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar

Melesatkan kembali kapal oleng adalah pembelajaran mahal, namun prosesnya memunculkan banyak hal baru yang justru semakin dicintai karena prosesnya membuahkan banyak hal yang beyond! Banyak kegagalan justru jadi modal mahal menjadikan “creative muscle” makin bersar.

Perjalanan bersama tim menuju Jakarta hari ini mengemukakan dinamika dalam sebuah organisasi adalah hal penting. Justru jika organisasi terasa dingin dan senyap bisa jadi Ia dalam keadaan genting, karena tak ada lagi yang perlu digagas dan dituju. Hipotesa yang menarik!

Dalam perjalanan membuahkan kebaruan kegagalan-kegagalan sudah pasti perlu dilewati, menjadikannya lesson learn berharga. Lihat saja usaha sekelas Google, begitu banyak kegagalan sebelum sebuah produk meluncur sukses. Hanya saja aktivitas mencari kesalahan itu mereka namai sebagai eksperimen.

Eksperimen tak mencari keberhasilan, juga tak mencari keberhasilan, Ia menuntun pada sesuatu yang baru, persistensi pengulangannya membuat hal menjadi beyond & luar biasa!

Eksperimen yang semakin terpola, mengarahkan pada “creative confidence” yang membesar. Jadi teringat kisah Thomas Alva Edison yang diundang berbicara dalam pertemuan para ilmuwan & bangsawan Inggirs, ia mendapat sindiran;

“Hai Thomas ku dengar engkau gagal sampai 1448 kali dalam mengadakan uji coba menemukan bola lampu listrik ya?” Tanya seorang bangsawan

“Tuan maaf saya tak pernah gagal ,saya hanya menemukan cara yang tak bisa menbuat bola lampu menyala lewat listrik sebanyak 1448 kali & hingga kali ke 1449 kali saya temukan cara untuk menyalakan bola lampu dengan listrik”

Dalam konsep inovasi, Alex Osterwalder menjelaskan untuk mendapatkan satu inovasi, ada explorasi yang intens dilakukan dibaliknya dalam jumlah yanh banyak. Bukan gagal, tapi eksperimen yang mendatangkan pembelajaran hingga hadir kesempurnaan inovasi yang semakin baik dan semakin baik lagi. Proses ini tak akan berakhir, ujungnya adalah keberlanjutan yang terpelihara.

Selamat bereksplorasi!

Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lain

Gagal paham lintas generasi, kerap terjadi karena era digital begitu cepat mengubah landscape kehidupan.  Setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya, apalagi di era ini dimana ledakan ketidaksepahaman sering terjadi dan menguras energi.

Dalam sesi diskusi hari ini bersama kawan-kawan calon-calon pemimpin sebuah BUMN, mengulas bagaimana organisasi kita sebaiknya menjadi wadah berpadunya perbedaan. Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lainnya. 

Golongan senior tentu membawa nilai-nilai berbeda, idealnya juga ia membawa big picture yang lebih kayak karena dengan pengalamannya Ia memiliki pemahaman tidak semata-mata di permukaan, tapi Ia bisa melihat yang tak tersembunyi dibawah permukaan sehingga ia kerap mengernyitkan dahinya jika Ia menemukan hal-hal yang tak sesuai dengannya.

Disisi lain adalah terkait generasi kekinian yang paham konteks kekinian, paham cara deliver yang paling pas dengan penguasaan teknologinya membawanya menguasai kebaruan-kebaruan andal yang bisa dijadikan alat kemajuan. 

Transformasi yang sering dilewati untuk beradaptasi dengan perubahan justru terletak pada wadahnya, karena wadah organisasi muncul tak berwujud fisik, tapi nyawa yang hadir di dalamnya. Kedua generasi ini perlu mencairkan diri bersama dalam melting pot yang sehat. Mencipta ruang-ruang diskusi yang penuh dengan ritual kreativitas yang inklusif, mewadahi berbagai ide dan tidak hadir sebagai blockers. 

Keterbukaan, umpan balik, perbaikan berkelanjutan menjadi penting. Dalam setiap fasenya memastikan keterlibatan juga sering kali menjadi kendala, membangunnya menjadi nyata adalah proses tumbuh. Artinya tak tiba-tiba ada, ada siklus berulang yang semakin baik dan matang.

Keterlibatan setiap pihak menjadi penting, menumbuhkannya menjadi semangat kepemilikan bersama. Melting pot ini menjadi wadah meluruhnya kesenjangan generasi, melakukan proses transformasi yang baik, melahirkan wadah yang transformatif membuka pintu-pintu perubahan dan melompatkan pada keberhasilan dimasa datang. Melting pot ini menjadi tempat-tempat gagasan didiskusikan, diracik dan dieksekusi hingga menjadi dampak yang terjaga keberlanjutannya.

Jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es

Menyimak beberapa influencer muda beramai-ramai ditangkap Bareskrim. Kasus para afiliator muda Binary Options yang mencuat belakangan melibatkan anak-anak muda DS, IK juga belakangan ada ADG bukan afiliator, tapi influencer dengan usia 23-26 tahunan yang sesungguhnya mereka ini cerdas, punya keleluasaan mendapatkan akses pada dunia digital sesuai dengan jaman para Gen Z saat ini. Bukan maksud mengeneralisir, hanya saja memang perlu dicermati, jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es.

Ketiga orang diatas memang sangat intens di dunia digital, dua diantaranya intens dengan aktivitas finansial digital, ADG yang terakhir menyalah-gunakan keterampilan komunikasi & politiknya di dunia media sosial. Anak-anak muda ini cerdas secara substansi, tapi di era digital ini, tampaknya mereka tak tumbuh dengan nilai-nilai hidup & sosialnya.

Saya jadi berhipotesa, bahwa era digital memang membuat setiap individunya untuk menjadi sangat mudah memiliki akses pada ilmu pengetahuan. Namun sayangnya penumbuhan pengetahuan ini tak memastikan juga membawa serta nilai-nilai hidupnya.

Proses akuisisi pengetahuannya berjalan terus, tapi nilai-nilainya tak terbangun sepanjang proses tumbuh pengetahuannya. Pada akhirnya Ia menumbuhkan pengetahuannya yang terpisah dengan nilai-nilai luhur hidup. Jika kita amati IK, DS & ADG, mengapa dari ketiga orang ini ketika Ia melanggar hukum pun justru merasa tak bersalah? Bahkan bersikeras bahwa Ia tak juga melanggar nilai.

Kasus merasa benar, sah & benar dengan polosnya, terlebih dengan kasus ADG terkini cukup mencengangkan. Bagaimana seseorang cerdas tumbuh menjadi pemfitnah & pengadudomba profesional dengan memanfaatkan media digital & menganggapnya sebuah kelaziman demi uang.


Tantangan era digital ini sejatinya bukan hanya pertanyaannya terkait akuisisi pengetahuannya saja, karena sumber pengetahuan sangat luas dan mudah didapat, tapi bagaimana kemudian kita berstrategi menumbuhkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, etika dan empati yang dapat terinternalisasi dengan baik mejadi fundamental hidup manusia yang beradab dalam peradaban di era digital.

Mengapa Sekolah itu Penting?

Seorang kolega bertemu dan berdiskusi tentang mengapa sekolah itu penting. Seperti sudah umum dialami oleh setiap pengajar, terlebih dosen, melanjutkan sekolah ke jenjang tertinggi adalah sebuah kewajiban. Hanya saja setiap individu yang memulainya memang memiliki latar belakang yang berbeda.

Kerap kali ditemui memulai sekolah lagi adalah karena sudah usianya yang mendekati tenggat waktu, atau karena kewajiban yang tak bisa dielakkan, untuk bekal naik pangkat atau agar kemudian bisa mencapai jabatan tertinggi sebagai Guru Besar nantinya. Lalu apa sebenarnya alasan kita melanjutkan sekolah? Sama seperti yang ditanyakan kolega saya diatas?

Tentu Big Why bersekolah penting berupa sesuatu yang positif & membangun energi untuk belajar sepajang prosesnya & kemudian menjadi pembelajar sepanjang hayatnya. Sekolah pada dasarnya bukan saja tentang mendalami ilmu tertentu, tapi juga memberikan pemahaman berpikir yang lebih baik. Kualitas berpkir akan melahirkan kualitas hidup yang lebih baik.

Oleh karena itu, pastikan bahwa keputusan melanjutkannya adalah karena “the healthy urgency”, karena dalam prosesnya bukan tentang bagaimana mengakhirinya dengan cepat. Namun bagaima prosesnya bisa membangun kualitas berpikir yang baik, menjadikan kualitas hidup menjadi lebih baik karena kemampuan menerjemahkan keilmuannya dalam peranan hidupnya masing-masing & memiliki dampak bagi sekeliling.

Dilain pihak, memilih sekolah juga perlu jeli, karena bukan tentang gelar atau akreditasinya saja, tapi apakah lembaganya memiliki nilai-nilai pendidikan yang unggul, apakah menghubungkan dengan ekosistem untuk tumbuh kembang bersama, apakah terbuka dengan beragam perubahan, apakah dipastikan ketika lulus kelak jadi individu dengan memiliki kualitas berpkir lebih baik serta keleluasaan akses pada ekosistem yang sehat?

Apakah kemudian kita bertransformasi menjadi individu yang memaknai setiap proses belajar adalah untaian aktifitas yang mindful? Idealnya, gelar yang didapat tercermin dari sikap hidupnya sehari-hari.

Sekolah yang baik memberikan kita wadah bertransformasi dengan memperbesar peluang untuk memiliki kualitas hidup baik dari hasil pemikiran berkualitas. Bgmn dengan kamu?

Digital Mindset

Ada 2 kasus, katakanlah Ibu Rita & Ibu Nina. ibu Rita adalah contoh kasus yang sering kali viral karena Ia adalah pengguna aplikasi penjualan Oranye yang digunakannya berbelanja. Suatu saat Ia menggunakan COD & komplain pada kurir karena pesanan tak sesuai usai membukanya. Ia pun marah & mengembalikan barangnya pada kurir pengantar.

Kasus 2. Ibu Nina tak kunjung bisa menggunakan aplikasi taksi online. Ia meminta bantuan secara rutin pada anaknya untuk memesankannya, hingga Ibu Nina berhasil hingga tujuannya.

Kedua contoh diatas kerap kita temukan dalam keseharian, diantara ibu Rita & ibu Nina yang memiliki Digital Mindset yang baik? Contoh ini adalah contoh sederhana ketika sering kali kita menidentikkan transformasi digital dengan hanya fokus pada digitasi atau digitalisasi, atau kemampuan yang lebih jauh seperti coding atau programming. Padahal transformasi digital itu titik beratnya adalah pada penguasaan individu untuk memiliki pergeseran perilaku atas dasar memiliki Digital Mindset.

Dua komponen utama Digital Mindset, komponen kognitif & tindakan. Komponen kognitif mengacu pada pengetahuan & komponen tindakan terkait penerimaan atau penolakan serta penggunaan teknologi digital.

Keputusan tersebut didasarkan pada komponen kognitif yang dimiliki individu tentang teknologi digital. Di dalam digital mindset, faktor keyakinan jadi salah satu faktor yang membuat seseorang mampu & mau belajar teknologi baru.

Ciri utama digital mindset ialah fleksibilitas & kemampuan mengadopsi teknologi dengan beragam cara kolaboratif agar tujuannya tercapai.

Contoh ke dua, walau sang Ibu tak bisa menggunakan teknologi Ia mampu melakukan proses kolaborasi hingga Ia dapat mencapai tujuannya.Ia bisa dikatakan sukses di era digital, sesuai dengan semangat Digital Mindset yakni individu/kelompok yang dapat menjalankan hidupnya dengan baik di era digital.

Sedangkan Ibu Rita, kita tak perlu ikut-ikutan menghujat kegagal-pahamannya memahami dunia digital meski Ia bisa menggunakan aplikasinya. Tugas kita adalah menjadi fasilitator perubahan, hadir untuk menemani proses transformasi sekeliling hingga kita bersama dapat beriringan bersama mengarungi keberhasilan era digital.

Memulai proses perubahan budaya sebagai urgensi tinggi bagi organisasi

Berkeliling, berdiskusi dinamis dengan beberapa instutusi yang kini besar dengan dinamika yang hangat. Pada umumnya para penggeraknya mendamba proses inovasi yang unggul, sudah tentu! Namun, pada umumnya mengemukakan kesulitannya dalam proses transformasinya.

Kesulitan melihat aspek budaya adalah hal lazim untuk organisasi besar yang senang dizona nyaman, ketika ukuran besar dan dominasi masih menjadi ukuran utama kerberhasilan. Padahal ukurannya sukses kini bergeser menjadi yang terdekat, termudah, paling dicintai & paling tangkas berkolaborasi.

Biasanya organisasi zona nyaman membiasakan proses bisnisnya ditanggung pihak lain semisal pemerintah, masyarakat atau dibuai dengan jaminan hingga terbiasa karenanya. Zona nyaman ini membuainya & perlahan membuatnya semakin jauh tertinggal dengan organisasi-organisasi baru yang kian lincah. Gejalanya cukup umum, turunnya omzet, peminat, cashflow yang berat atau purpose yang memudar.

Kemarin, sebuah percakapan dengan sebuah organisasi yang individu-individunya lebih memilih ruang-ruang estetik bagi tempatnya bekerja, padahal fundamental budaya kerjanya sedang kritis. Memang ini tak terlihat, ketimbang ruang-ruang estetik yang indah dinikmati mata. Memulai proses perubahan budaya belum dirasakan sebagai urgensi tinggi bagi organisasi tradisional ini. Urgensi tinggi akan perubahan budaya memang sangat terasa jika kita bertemu organisasi yang mampu jauh melihat kedepan, hingga ia mampu menakar kapabilitasnya apakah ia mampu melompat dengan budaya yang ia miliki saat ini?

Membawa perubahan paradigma memang menantang, menggiringnya pada hal-hal baru ketika sebuah organisasi berdekade-dekade terbiasa dengan hal yang membuatnya besar di masa lalu. Masa depan tentunya lain cerita, zona nyaman dengan keterbiasaan tsb terdisrupsi dengan sangat cepat. Tak mungkin juga dengan sekali presentasi langsung memahaminya.

Hal terbaik memang lead by example, membukar ruang-ruang diskusi yang kontinu dan menerapkan strategi difusi inovasi yang terukur. Segera tersadar, bahwa kita ini merubah individu, organisasi dan kemudian ekosistemnya. Bukan merubah benda mati yang bisa cepat dilebur dan dibentuk baru dengan singkat.

Output belum tentu menghasilkan, yang dikejar adalah outcomes

Suatu sore kami berbincang dengan kawan-kawan startup baru, kira-kira baru sekitar enam bulan mereka dirikan.

Dalam perjalanannya, dinamiknya cukup kencang, apalagi memasuki puncak pandemik gelombang ke III silih berganti menjadi positif. Terlebih belum juga membudaya etos kerja yang diturunkan menjadi manajemen kerja yang baik. Kegiatan menjadi kurang terstruktur dan tak jua menghasilkan outcomes, karena prinsipnya asal berkegiatan.

Satu hal lain, pada hari yang sama. Sebuat organisasi menyampaikan program kerjanya. Kemudian saya amati, wah ternyata yang dituliskannya itu adalah kegiatan, bukan program. Orientasinya adala output, jauh dari outcomes.

Membedakan output dan outcomes serta kegiatan dan program adalah hal yang kerap terjadi dalam banyak organisasi. Alih-alih kita bekerja keras sertiap harinya, namun tak kunjung menghasilkan.

Apalagi pada organisasi yang Silo, dimana keselarasan atau Business Acumen pada setiap individunya tak terbangun kerap terjadi hal seperti ini. Setiap individu memiliki target masing-masing, tapi tak selaras, tak juga dilatih bersinergi satu sama lainnya. Hingga akhirnya semua merasa bekerja namun tak jua menghasilkan.

Pada kesempatan itu, saya sampaikan pula sebuah statement karena momentumnya adalah tanggal mereka menerima gaji, saya ingatkan “‘memang perlu kedewasaan yang cukup, kita menerima gaji itu karena kerjaan kita menghasilkan (Outcomes), bukan kerjaan itu sekedar dikerjakan Output)”

Dalam dunia bisnis, untuk mencapai hasil/outcomes tak bisa kita bekerja silo, satu sama lainnya tak kolaboratif, tak juga cross fucntional. Setiap individunya perlu memastikan bahwa mereka berinteraksi dan membentuk tim yanh self-managing team. Bagaimana dengan kamu, kerapkah kamu melalukan penyelarasan dengan yang lain, memastikan bahwa kita punya sense of Business Acumen yang baik?

Bukan bekerja sekeras-kerasnya ya, tapi pastikan kita merancang program berisi kegiatan-kegiatan yang sinergis. Memastikan bahwa setiap langkah dan tahapnya juga menghasilkan. Output belum tentu menghasilkan, yang dikejar adalah outcomes yang dalam jangka waktu tertentu berbuah hasil, selamat berproses🎉

Sistem pendidikan yang menjamin proses pendidikan yang baik, tentunya akan melahirkan masyarakat dengan karakter & kualitas berpikir baik

Berbincang dengan sesama kolega tentang pendidikan kita mau dibawa kemana. Mengapa kerap kali kita terjerumus menjalankan proses pendidikan yang bermuara pada output-output pengukuran yang justru variable ukurannya terlepas dari individunya. Lupa bahwa objek utamanya adalah manusianya, bukan produknya. 

Produk adalah hasil dari manusianya, hasil kemampuan mengorganisirnya hingga lahirlah produk-produk yang hasilnya baik. Hanya saja, kita sering lupa, & lompat logika, bahwa hasil yang baik berasal dari proses yang baik. Proses yang perlu waktu, perlu ekosistem yang mendukung & mengakselerasinya, hingga menghasilkan produk yang justru akan berdampak pada kemampuan memberikan dampak baik lainnya. Sustainability.

Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia setelah Cina & Hongkong. Finlandia tidak menempati posisi pertama dalam indeks PISA, tetapi jadi satu-satunya negara di mana siswa punya kemampuan membaca yang tinggi serta kepuasan hidup. 

Bukan cuma punya kehidupan sekolah & waktu luang yang seimbang, tapi pendidikannya memberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan gratis, inklusif & komprehensif. Model-model pembelajarannya adalah surga! wadah dimana tiap pembelajar bisa mengeksplorasi kreativitasnya. Pembelajaran dipersonalisasi & memberdayakan kemampuan tiap siswa, memantiknya berperan aktif dalam apa & bagaimana mereka belajar membuka potensi dirinya & diberikan kesempatan melakukan kontekstual diluar kelas.

Ketika kita heboh dengan standarisasi, disana tak ada ujian standarisasi. Pembelajaran banyak dinilai dengan berbagai metode kualitatif, fokus pada pengembangan & pembelajaran soft skill, fokus pada karakter berkualitas, Didukung pula teknologi, melengkapi pembelajarannya yang mengutamakan pengalaman belajar yang unik melalui pengajaran hingga melahirkan lifelong learners.

Sistem pendidikan yang menjamin proses pendidikan yang baik, tentunya akan melahirkan masyarakat dengan karakter & kualitas berpikir baik, dampaknya pada kualitas hidup, tercermin juga hasilnya sebagai negara paling bahagia versi World Happiness Report. 


Ada proses yang serius, dikawal dalam mensejahterakan rakyatnya. Pendidikan berkualitas.

Proses Transformasi yang Tepat bagi Organisasi yang Mendambakan Proses Inovatif yang Baik

Berdiskusi seru lintas generasi.
Kali ini membawa anak-anak muda penuh talenta bergagasan bersama dengan para leaders di Pasca Sarjana Unpad. Kawan-kawan muda ini sengaja saya bawa dan mengakanya berdiskusi dan bergagasan bagaiman cara saat ini yang tepat mengupayakan proses transformasi yang tepat bagi organisasi yang mendambakan proses inovatif yang baik dan membawa organisasinya melesat dan terjaga keberlanjutannya.

Kreativitas sering kali kita identikan dengan produk kreatif yang kerap muncul hilir mudik di depan mata kepala kita sendiri. Namun yang sering dilupakan justru dibalik sebuah produk kreatif, ada upaya inovatif yang kasat mata, yakni membangun perilaku, budaya dan organisasinya. Kami lebih senang bilang sebagai membangun model bisnis & mengimplementasikan proses bisnisnya yang melesatkan organisasinya lebih tinggi.

Merancang model bisnis, yang sering kali hanya dipahami sebagai 9 kotak sederhana, justru pada kenyataannya membutuhkan kreatifitas ekstra, apalagi membumikannya dalam kehidupan nyata dalam proses bisnisnya, perlu persistensi. Kreatifitas menjadi ujung tombak penting dalam melakukan proses perubahan, apalagi terkait budaya, perilaku yang semua bermula dari pola pikir maju yang perlu disemai perlahan-lahan. Meskipun kita paham, dalam kenyatyaannya menyemai cara pandang baru perlu waktu dengan persistensi kita melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Persistensi juga perlu strategi menerapkannya, terukur pula seberapa jauh langkah sudah terwujud menuju visi, seberapa besar kapabilitas dan kapasitas kita tumbuh, dan seberapa cepat kita melangkah serta seberapa baikkah kita beradaptasi.

Terimakasih kawan-kawan SPS Unpad, dengan sesi berbaginya bagaimana membumikan proses perubahan yang inovatif, hingga tangga perubahan menjadi makin tampak membuncahkan optimisme untuk menghadirkan mimpi terbaik🎉🎉

“Sepakat Membangun Ekosistem!”

Salah satu titik kritis transformasi digital adalah bagaimana kita memaknai bahwa yang perlu dirancang bukan hanya semata-mata model bisnis, tapi juga upaya dalam merancang ekosistem bisnis, memetakan, menginisiasi, menghubungkan, menguatkan keterhubungan kepingan puzzlenya & melompat bersama melalui kesamaan visinya.

Hari ini kami di Malang, kali ini The Local Enablers bersama SEAL.ID bersama-sama beberapa komunitas  memulai inisiasi merajut kolaborasi. Hadir disini menjadi learning partner memahami karakter era digital yang sering kali salah memaknainya. 

Sebuah kalimat tercetus hari ini, “Sepakat membangun ekosistem!” Seringkali terlupakan bahwa ekosistem adalah pilar paling penting yang bisa membantu sebuah pergerakan terjaga keberlanjutannya. Karena simpulnya saling terhubung, saling keterkaitan dan membawa pengaruh untuk saling memajukan maka Ia tidak akan tergantung secara khusus pada seseorang sosok atau organisasi yang superior. Membangun ekosistem walau penting, tapi justru hal ini pula yang sering terlupakan, karena kita fokus membangun diri sendiri dengan menggunakan model bisnisnya masing-masing kemudian terjun dalam pertempuran.

Apalagi di era digital, membangun keterhubungan adalah pilar kekuatan yang tak bisa dielakkan.  Merancang bagaimana sebuah ekosistem dirancang adalah strategi penting memastikan keberlanjutan.  Beberapa  jenis ekosistem yang penting untuk dirajut antara lain;

1. Ekosistem Bisnis, kolaborasi yang ditujukan untuk membuat fokus dalam penciptaan nilai di mata konsumen.

2. Ekosistem Inovasi. Pilar penting dimana kita perlu menginvestasikan waktu, pikiran & sumber daya bersama mengintegrasikan eksplorasi pengetahuan serta eksploitasi ekosistem bisnis. 

3. Ekosistem Pengetahuan. Ini menjadi penting, ketika kita terhubung dengan pihak-pihal yang juga fokus dalam menghasilkan kebaruan-kebaruan pengetahuan dan teknologi.


Tak semata-mata berdiri sendiri, maka usaha akan kuat jika bersama-sama merangkul ekosistemnya. Memiliki kekuatan lompatan yang kuat jika terhubung dengan pelaku inovasinya, serta senantiasa menjadi inisiatif yang terjaga keberlanjutannya jika memastikan kita juga terhubung dengan ekosistem pengetahuannya.