KOMINFO memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan

Kominfo memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan. Eranya sudah maju tapi tampaknya pemerintah masih juga tergagap-gagap memahami era digital.

Dunia digital menghadirkan peranan baru, pekerjaan baru. Tumbuh banyak para Gig Economy – Contingent Workers yang memberikan banyak fleksibilitas. Pekerjaan ini bisa berupa independent contractors, freelancers, konsultan bahkan gamers!

Bekerja dengan cara-cara baru yang kerap kali tak pernah dibayangkan. Punya keleluasaan eksplorasi beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan & melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak. Gig menawarkan fleksibilitas yang begitu maksimal baik bagi perusahaan ataupun bagi pekerjanya. Selain itu juga menawarkan efisiensi yang sangat menarik bagi para pelakunya hingga dapat memastikan akselerasi yang baik.

Kegagalan paham kerap terjadi karena tak juga mampu melihat secara holistik, juga sistematika kerjanya yang silo kerap kali menimbulkan korban di masyarakat terutama terkait potensi tumbuhnya teknologi baru yang melahirkan ekonomi baru dengan cara-cara baru dianggap melanggar, aturan dijadikan senjata, “unintended consequences”nya tidak banyak dipikirkan

Kebijakan yang tidak pro digital ini memang diakibatkan kesenjangan digital yang masif, tertinggal paham bagaimana proses bisnis berjalan sekarang. Coba lihat dari generasi mana pengambil kebijakan vs siapa pelaku ekonominya. Alih-alih harus lapor, kebijakan ini malah menghancurkan industri secara menyeluruh juga ekositemnya. Walau misal PayPal dibuka lagi sementara, karena tekanan publik & memberikan kesempatan publik untuk pindahkan saldo (?) lalu bagaimana kepastian jangka panjangnya?

Ruang digital yang aman & kondusif itu dipahami dengan kerangka pikir yang tepat, pahami dulu proses bisnisnya, tarik garis waktu penyelesain elaboratifnya. Perusahaan-perusahaan digital yang jadi tempat para Gig ini bekerja umumnya adalah perusahaan global yang reputasi & kegunaanya jelas. Pendekatan-pendekatan merangkul ekosistem inovatif seringkali kontradiksi dengan inovasi. Inilah yang perlu jadi pembelajaran lebih lanjut, agar kita tak terjebak cara-cara lama di era yang baru.

Tipe organisasi bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Perbincangan menarik dengan sahabat saya malam ini, teman yang sering kali jadi lawan bicara terkait mimpi masa depan. Mungkin mimpi kita memang kadang kala ngga muat dengan organisasi yang kita diami saat ini.

Wadah yang seperti apa sebenarnya yang membuat kita bisa begitu energik dalam melakukan setiap langkah karya kita dengan bahagia? Dimana kita bisa sebebas mungkin membawa mimpi & membumikannya. Tipe organisasi ini bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Difference – “I want to work in a place where I can be myself.” Ketika tempat bekerja kita menjadi tempat yang mewadahi diri kita apa adanya. Bisa menjadi diri sendiri dan saling melengkapi dengan kawan lain.

Radical honesty – “I want to know what’s really going on.” Jujur, tak banyak drama hingga segala sesuatu tentang proses berkarya menjadi terang benderang, kejujuran ini sering kali menghilang atas nama menghormati pimpinan atau rasa segan sesama tim.

Extra value – “I want to work in an organization that makes me more valuable.” Tempat bekerja bukanlah hanya sekedarnya jadi tempat biasanya bekerja, tapi justru menjadi wadah yang membuat setiap individunya menjadi lebih bernilai.

Authenticity – “I want to work in an organization that truly stands for something.” Tempat bekerja yang otentik adalah tempat dimana kita memang bekerja karena kesungguhan mencapai tujuan, fokus dengan goalsnya, teguh karena purposenya.

Meaning – “I want my day-to-day work to be meaningful.” Setiap harinya memberikan banyak pembelajaran, menumbuhkan nilai yang berarti & memberikan semangat yang meletup karena banyak makna baru hadir.

Simple rules – “I do not want to be hindered by stupid rules.” Poin terkakhir ini banyak terjadi di beragam organisasi, kala banyak aturan mengekang. Saat ini, justru nilai-nilai dan integritaslah yang menjadi dasar segala eksperimen inovatif yang diperlukan untuk melompatkan inovasi jauh diatas harapan. Nilai ditumbuhkan dengan membangun budayanya.

Buat kamu yang punya tempat kerja belum ideal mewadahi mimpi kamu, yang sabar yaa! Ada kalanya memang seorang agen perubahan menjalani mimpinya terlebih dahulu dari pada yang lainnya, proses petualangannya akan seru dan menantang!

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Melihat penggusuran beragam Aset PT. KAI membuat ingatan kembali ke tahun 2009 kala Kereta Api Indonesia memulai transformasinya dibawah tokoh transformatif Ignatius Jonan. Juga teringat konsep “Innovator’s Dillema”, yang besar akan kalah meski Ia merasa berinovasi, kalah dari mereka yang melakukan inovasi disruptif.

Sebagai penduduk di

Kota tempat PT.KAI berpusat, kami melihat langsung perubahannya, yang sangat terasa diawal adalah perubahan mindset orang-orangnya, jelas bergerak dari product oriented jadi customer oriented. Bisnisnya berkembang pesat setelah menjadi sebuah User Centric Company.

Sebelumnya KAI bekerja berdasarkan produk yang dimiliki & tidak memikirkan apa yang dibutuhkan pelanggan. Perubahan mindset adalah proses panjang, bukan sulap yang bisa dikerjakan dalam semalam. Dirawat dalam kesehariannya, & dikerjakan tiap hari, maka perubahan lain yang terlihat adalah kumpulan action setiap hari.
Melahirkan outcomes!

Lanjutnya adalah konsistensi, upaya paling memantang sambil menemukan ramuan model bisnis yang menyeimbangkan Desirability – Feasibility – Reability yang pas menjadi perjalanan perbaikan panjang melahirkan keberhasilan transformasinya.

Hal menarik juga adalah Agile Leadership yang diterapkan, Action speaks louder than words, tidak boleh ada kepentingan pribadi dalam tugas. Leader langsung tampil di lapangan, turun ke lapangan & merasakan persoalan yang ada & memberi contoh.

Jika merujuk pada proses difusi inovasi, contoh KAI persis sama yakni terdiri dari tiga kelompok besar pegawainya 1) Enggan berubah, 2) Bingung, dan 3) Ingin berubah.

Transformasi diurai dalam roadmap perubahan selama lima tahun, dan konsistensinya membuahkan 95% jadi pegawai mau berubah.

Kepemimpinan adalah tentang memberi contoh, merasakan pada setiap aspek teknis yang bermasalah, hingga dibungkus menjadi kebijakan. Hal yang lebih menarik sebenernya adalah keberhasilannya memastikan keberlanjutan, melahirkan legacy organisasi yang tidak tergantung pada pihak lain & kaderisasi profesional. Jadi ketika perlahan asset-asset KAI menjadi jauh lebih baik, ini adalah buah kerja keras transformasinya.

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Bincang bersama @daarut.tauhiid@smkdaaruttauhiid tentang pendidikan yang transformatif, mengemukakan lagi betapa pentingnya kita menyegerakan proses pendidikan yang kontekstual dengan jaman, yang relevan dengan perkembangan teknologi namun tetap dengan benang merah nilai-nilai luhur yang menjadi landasan setiap insan untuk menggali beragam kreatifitasnya menghadirkan dampak positif bagi sekelilingnya.

Tantangan jaman yang berbeda, perubahan yang cepat memiliki problematika yang berbeda pula. Begitu pula dengan cara-cara memahami permasalahan, cara berpikir kritis. Ditambahkan dengan cara-cara baru bersolusi, creative thinking. Solusi yang benar-benar membawa dampak baik karena benar-benar paham terkait masalah yang dihadapi.

Pendidikan kewirausahaan, sering kali jadi jargon banyak sekolah, tujuannnya jadi pebisnis. Padahal kewirausahaan itu sebenarnya adalah wadah belajarnya saja. Justru yang dituju adalah jiwa, keterampilan dan nilainya yang penting untuk diambil. Kemampuannya berpikir kritis, kreatif dalam bersolusi dan menjaga dirinya untuk tetap konsisten mencapai tujuannya hingga Ia mendatangkan kebermanfaatan.

Dalam menggiring seseorang dalam proses pendidikan, bentuk kewirausahaan itu dapat diaktualisasikan dalam minimum tiga peran;

1. Berwirausaha; Jika Ia Ingin berwirausaha, mengembangkan usaha mandiri, inovatif berdampak bagi lingkungan sekitar

2. Intrapreneur; Jika Ia ingin memiliki profesi sesuai dengan kompetensinya, memiliki leadership dan Business Acumen yang baik bagi organisasi tempatnya bekerja.

3. Gig, Contingent workers, jika Ia ingin memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi dengan beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan dan melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak

Ujung dari pendidikan adalah manusia bermanfaat. Untuk itu menjadi tugas bersama jadi ekositem yang saling sinergi memastikan proses pendidikan melahirkan manusia bermanfaat yang terencana, hingga memperbesar peluang keberhasilan mewujudkannya. Tantangan saat ini tentu sangat besar, mengubah paradigma, membawa paradigma yang lebih relevan & mencipta solusi-solusi yang lebih baik.

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Satu hari saya kesulitan menghubungkan bluetooth saya hingga imusic tak kunjung menyala di kendaraan, akhirnya menyerah. Kemudian ditelusurilah saluran radio yang sudah lama sekali tak disentuh ketika berkendara.

Kebetulan seorang kawan radio yang lama tak jumpa, menghubungi melalui Whatsapp berkabar tentang nomor barunya, kemudian Ia bercerita tentang sebuah stasiun radio yang tempat Ia bekerja saat ini. Ternyata radio itu adalah saluran yang saya sering kali saya setel tak sengaja & jadi ketagihan.

Dari pembicaraan itu kemudian lihat webnya, ada kalimat menarik terkait purpose radio itu hadir, di halaman pertamanya dituliskan “Menyajikan musik yang memberikan perasaan senang, sehingga memberikan pendengarnya energi/vibe positif” terus terang saya kaget! Mengapa, karena jarang sekali sebuah usaha menuliskan konsep “The Jobs To Be Done” dengan lengkap dan tepat!

Jika dalam penetapan segmen konsumennya bukan mengarah pada genre lagu, atau usia dan gender apa, tapi lebih ke outcomes customer. Di radio ini didefinisikan sebagai “perasaan & mood pendengarnya setelah mendengar lagu di radio ini”. Lebih nyentrik lagi karena ungkapan “gak perlu jadi radio nomor 1….yang penting kalo bosen sama radio nomor 1 di channel kamu, bisa kali dengerin Voks!” keren!

Dibalik kalimat ini saya duga ada model bisnis menarik, karena biasanya usaha menggunakan TJBD yang baik berasal dari ide & organisasi yang inovatif. Nama radio ini VOKS!  salah satu inovasi bagaimana menghidupkan lagi radio dan me-relatekannya di era digital.

Pas dilihat, dari sudut pandang model dan proses bisnis ternyata unik banget! Model bisnisnya sebagai corong Kutus-kutus, sebuah produk Minyak Balur. makanya namanya VOKS, Voice of Kutus-Kutus! Dibuat sebagai radio jaringan untuk mendistribusikan Kutus-kutus.. jadi biaya iklan rupanya berputar jadi corong marketing inovatif pada jejaringnya sendiri, keren!

VOKS Radio jika di Jogja masih terdengar baru ini sebenarnya sudah dulu bernama Rakosa yang kemudian diakuisisi oleh pemilik PT. Kutus Kutus Herbal yakni Bambang Pranoto. Sekarang ada dibanyak kota! Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Kemampuan Critical Thinking

Terburu-buru menilai, memutuskan & menyimpulkan. Proses ini biasanya disebut sebagai fast thinking, menyebabkan seseorang kehilangan objektifitasnya & kemampuan berpikir kritisnya seketika jadi lenyap. Hal ini juga terjadi ketika ternyata mayoritas berkata sama hingga jadi ukuran kebenaran. Apalagi orang-orang ternama juga yang juga tergesa menyimpulkan menjadi rujukan pembenaran.

Kasus Baim mendaftarkan Haki Citayam Fasion Week menjadi menarik dari kacamata critical thinking apalagi dari kacamata proses bisnis, ketika sebagian besar tokoh justru terburu-buru menghakimi seperti “Created by the poor, stolen by the rich”, “serakah!” dan atau “tak beretika”. Komen-komen ini memenuhi jagad dunia maya ketika sebuah media membawa berita berita dengan judul “ Perusahaan Baim-Paula mendaftarkan Brand Citayam Fashion Week” .

Kemampuan critical thinking kita memang diuji, ketika media-media kita sering memberitakan hal-hal yang konteksnya hilang dari judul. Menghilangkan konteks dari judul tentunya akan membawa polemik besar karena memancing keributan karena menuai perdebatan, ya mereka berhasil sih karena tujuan media tsb ya itu. Dibaca banyak orang!

Sebagai pegiat kreatif tentunya kemampuan kita membaca konteks menjadi krusial. Apalagi manganalisis kejadian, keterhubungan simpul-simpul pelaku, meninggikan cakrawala jadi penting dalam menarik kesimpulan. Sesungguhnya trending topic Baim & CFW ini menarik dibahas dari sisi kolaborasinya, terlepas dari etika ya krn CFW sudah jadi milik umum.

Baim X Bonge adalah kasus menarik, kolaborasi jika boleh dibilang, bagaimana Baim berkomunikasi dengan Bonge CS, bagaimana Baim memvaluasinya dengan membayar 500juta pada inisiatornya, bagaimana mereka menangkap momentum dan bagaimana menjadikan Hak Kekayaan Intelektual menjadi nilai ekonomi serta mendistribusikan keuntungannya secara adil dalam model bisnisnya adalah tema menarik ketimbang tergesa menyimpulkan.

Bentuk-bentuk kolaborasi yang makin gila ini tentu makin banyak orang tak paham. Selalu ada 6 topi berpikir jika menurut Edward de Bono, jangan menyimpulkan dari sisi topi hitam, karena ada 5 topi lain untuk menyimpulkan lebih luas. Kapan nih kita bahas?

Bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Seseorang bercerita pada saya, suatu saat Ia pernah mengemukakan kegelisahannya pada pimpinan, yang pada awal asumsinya Ia akan didukung pimpinan dalam memegang teguh prinsip manjemen perubahan. Biasanya Pimpinan akan berperan jadi sponsor dalam perubahan, dan Ia sangat percaya itu.

Namun tampaknya realita tak sesuai dengan kenyataan, membukakan matanya ketika ternyata masih jadi peer panjang berharap seorang pemimpin yang menjadi bumper perubahan ketika ada dinamika hadir dalam prosesnya.

Budaya yang suportif memang menjadi tantangan masif terutama pada organisasi-organisasi konvensional yang masih mengharap zona nyaman dalam menghadapi era perubahan.

Pemimpin yang sadar betul bahwa proses perubahan itu penting maka Ia perlu melatih dirinya dengan sungguh-sungguh menjadi “Visionary Leaders”, punya mimpi yang kuat menghadirkan gagasan baru di masa datang. Dibalik proses tranformasi, agile leaders adalah salah satu kunci penting, Agile comes from the top. Mengarahkan Ia dan timnya menjadi “Being Agile” dengan memahamkan pentingnya;

1. Urgensi
2. Koalisi
3. Visi
4. Komunikasi
5. Aksi dan Pembedayaan
6. Kemenangan-kemenangan
7. Konsolidasi
8. Institusionalisasi
Membangun kedelapan hal ini adalah proses transformasi, dibangun dan dirawat yaa, karena ini bukan sulap.

Dalam prosesnya, yang terbaik adalah menumbuhkan budaya yang suportif, ini yang kerap kali tak ditumbuhkan tapi ingin segera menghasilkan. Pimpinan mendorong dukungan atas perubahan dengan menumbuhkan Awareness, Desire, Ability, Promote & Transfer. Ingat lagi bahwa ini transformasi, bukan sulap! Lakukan inspeksi pada setiap perubahan dan adaptasi secara terus menerus.

Setelah hal ini dilakukan, maka bantulah dengan perangkat-perangkat bantuan. Melengkapi Being Agile dengan Doing Agile dengan memandu tim untuk paham bahwa proses adopsi dipastikan berawal dari 1) Problem Driven, 2) Adopsi Praktek Agile dan 3) Memastikan increment2nya terwujud.

Perubahan dilakukan diatas perubahan memang memancing dinamika, disini perlu hadir para pemimpin yang menjadi sponsor perubahannya, bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Gimana dengan kamu, kamu tim Output atau Outcomes?

Menantang sekali tiap kali menerangkan apa beda output & outcomes. Ini jadi topik hangat setiap kali bertemu & bergagasan dengan banyak kalangan. Secara harfiah jika dibahas dalam konteks bisnis, output menggambarkan hasil dari sebuah aktivitas yang diselenggarakan namun belum menunjukkan dampak terukur pada pada konsumennya. Sedangkan outcome, adalah nilai tambah yang terjadi / terbentuk yang dihasilkan dari sebuah output yang ditargetnya.

Sederhananya, outcomes adalah kemapuan yang terjadi dan atau terbentuk seteleh sebuah kegiatan (output) terlaksana. Biasanya berupa tercapai kemampuan yang diharapkan, setelah ini akan menimbulkan dampak yang diharapkan.

Dalam setiap kegiatan yang dilakukan memang hendaknya yang perlu fokus justru pada outcomesnya yakni pencapaian kemampuannya, bukan semata-mata pada outputnya atau apa seberapa seringnya kita berkegiatan. Fokuslah pada “Kemampuan yang timbul dan akan berakibat apa?” Hal ini memang menantang, karena ukuran kesuksesannya bukan hanya pada terlaksana saja, tapi suksesnya diukur dari “menjadi bisa apa” & “mendatangkan akibat apa” kemudian.

Setelah lama sekali berhubungan dengan banyak lembaga, sebagian besar lembaga yang kesulitan memahami perbedaan output vs outcomes. Biasanya adalah institusi-institusi yang kerap melupakan Big Why nya, melompati untuk paham secara mendalam fundamental sebuah program.

Ini kerap terjadi karena inisiator yang biasanya pimpinan menuangkan gagasannya di level atas kemudian terterjemahkan sekedar kegiatan di tim-tim teknis. Kesalahan fatal ini membuat gagasan besar jadi hambar ditataran teknis.

Kegiatan yang sekedar berkegiatan bisa jadi bukan kesalahan tim teknis, tapi pesan kuatnya tak tersampaikan. Dalam manajemen modern seperti Scrum, kegiatan-kegiatan selalu memastikan pada setiap tahapannya untuk mendatangkan outcomes.

Untuk memastikannya, pada setiap tahap dilajukan sesi review apakah produknya mencapai definisi sukses yang diharapkan, dan retrospektif yang memastikan bahwa timnya bekerja semakin baik, & tetap paham fundamental serta filosofi dari Big Why nya yang diturunkan dalam aktivitasnya sehari-hari.

Gimana dengan kamu, kamu tim Output atau Outcomes?

Top 3 Barriers to Innovation in Higher Education

Dua hari bersama kawan-kawan Unsoed merancang kurilukum agar dapat menjadi wadah pembelajaran transformatif. Sesi-sesi ini selalu menjadi bahan retrospektif yang baik untuk menghasilkan beragam cara baru menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan jamannya.

Menyitir sebuah tulisan di Forbes, 2018 “Mengapa dibanyak institusi pendidikan dimana banyak diisi oleh para individu brilian yang bermotivasi tinggi dalam mengelola pendidikan tinggi justru menghambat inovasi yang semestinya tumbuh subur di institusi ini?”

Pada sebuah riset, ternyata jika institusi pendidikan mengalami kesulitan menggelorakan inovasi dilingkungannya disebabkan karena 1) sistem internal, struktur proses pengambilan keputusan, 2) organisasi silo, 3) budaya & startegi. Hasil ini menggambarkan situasi mengapa institusi pendidikan justru kerap kali menghambat proses inovasi?

Jika dipikirkan memang beberapa tipe universitas justru kerap bangga dengan aturan, persyaratan, politik & tradisinya sendiri ketimbang apakah institusinya melahirkan inovasi yang by-design.

Banyak juga perguruan tersesat dimana pendidikannya tak berpusat pada pembelajar, karena lebih menghargai penelitian daripada proses pembelajaran. Tantangan ini banyak memicu kegelisahan. Kala dunia industri ingin menjadi lebih inovatif & responsif, tapi kebanyakan universitas justru tak mengajarkan cara ini, atau menumbuhkan kualitas seperti ini pada siswanya.

Mengajarkan cara berinovasi kebanyakan tak mendapat tempat dalam kurikulum formal, kondisi ini memaksa mahasiswa harus mencari suatu tempat antara kuliah & aktualisasi diluar kuliah untuk mengembangkan kemampuannya berinovasinya secara “ajaib”. Pendidikan yang berpusat pada pembelajar perlu jadi prioritas, ini akan mengarahkan proses pada prevalensi yang lebih tinggi pada hadirnya inovasi dari praktek-praktek pembelajaran yang user-centric, membuat pembelajaran yang menyenangkan, menantang & memberi ruang eksplorasi yang membuahkan inovasi.

Sebuah kerinduan melihat lebih banyak contoh pemikiran inovatif di kampus-kampus, memberi siswa lebih banyak ruang mengembangkan kemampuan bawaannya, lebih banyak fleksibilitas untuk siap menghadapi dunia yang menanti mereka dimasa depan.

Big to Small Thinking Framework

Dalam postingan terdahulu ada sebuah analogi menarik terkait Design Thinking dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Ungkapan ini begitu relevan & bagaimana cara menurunkannya dalam sebuah strategi teknis bagi para pelanggan kita. Jika kita kaitkan lagi dengan framework Golden Circle-nya Simon Sinek yang mengungkapkan tahapan-tahapan Why-How-What. Analogi Banfield sesungguhnya merujuk pada pentingnya kita mengemukakan Why hingga seseorang tau mengapa Ia perlu menginisiasinya atau memulai sesuatu dengan mengetahaui kenapa hingga tumbuh pula energinya.

“Detail is important, but the big picture is what counts” Menyampaikan “resepnya” ketimbang “kuenya” pada pelanggan bisa bermula dengan menjelaskan dari Big Picture & kita mau kemana? Hal ini sering terlewati karena langsung terjerembab pada What, langsung menikmati “kue”nya.

Mengapa Big Picture?
-Memungkinkan untuk melihat peluang
-Membawa Big Picture untuk dikomunikasikan pada tim
-Memperkuat alasan sebenarnya untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari

“Having a big-picture perspective can help you prioritize effectively, set better goals & improve time management. By developing a complete perspective of a situation, making decisions that drive long-term results, which can help you advance in achieving your goals”

Hari ini,di Unsoed Purwokerto, saya menemani kawan-kawan bergagasan mencipta kurikulum transformatif. Melahirkan proses pembelajaran yang kaya. Biasanya lokakarya semacam ini langsung pada barangnya berupa kurikulum, namun kami biasa membawa kawan-kawan membaca gambar besarnya, menggambarkan masa depan & kesenjangannya dalam mencapainya.

Mendahuluinya dengan memberikan Big Picture memungkinkan mendapatkan cakrawala lebih luas & dalam prosesnya membantu pembelajar menemukan alasan positif untuk mulai mencari dan menginisiasi. Itu mengapa memberikan resep jadi penting, karena pembelajar mampu meracik kuenya yang kontekstual pada diri & lingkungannya. Tidak dapat kue yang sama untuk semua 🙂