Dalam membangun agile organization, penting bagi pemimpin untuk menemukan keseimbangan antara manajemen absen dan micromanagement. Kedua pendekatan ini, jika dilakukan secara ekstrem, tentu bisa merusak budaya kerja yang adaptif dan kolaboratif—elemen utama dari organisasi yang gesit🙌

Manajemen jadi absen terjadi ketika pemimpin terlalu pasif, tidak terlibat, dan gagal menyediakan arahan atau dukungan yang dibutuhkan tim. Akibatnya, anggota tim merasa terabaikan dan kurang terarah, yang pada akhirnya menghambat inovasi dan respons cepat terhadap perubahan. Di sisi lain, micromanagement menciptakan suasana yang menekan, di mana pemimpin terlalu terlibat dalam setiap detail, menghambat otonomi, dan merusak kepercayaan anggota tim. Dalam konteks agile organization, kedua pendekatan ini bertentangan dengan prinsip empowerment dan self-organization🌶️

Sebaliknya, pemimpin dalam organisasi gesit harus berperan sebagai mitra yang aktif. Ini berarti mendengarkan dengan empati, menunjukkan rasa ingin tahu, serta menyediakan konteks dan dukungan yang relevan tanpa mengambil alih pekerjaan tim. Melalui kolaborasi dalam penetapan tujuan, mengidentifikasi hambatan, dan mencari solusi bersama, pemimpin membantu tim berkembang dengan tetap memberikan ruang untuk pengambilan keputusan mandiri.

Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai utama dalam agile, seperti transparansi, adaptabilitas, dan kolaborasi lintas fungsi. Pemimpin yang menghindari micromanagement, tetapi tetap terlibat secara strategis, dapat menciptakan lingkungan di mana tim merasa diberdayakan untuk bereksperimen, belajar dari kegagalan, dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan💫

Dengan menjaga keseimbangan ini, organisasi dapat mencapai kecepatan, fleksibilitas, dan inovasi yang diperlukan untuk bertahan dan tumbuh dalam dunia yang dinamis.

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *